SAYA kurang tahu
pasti di mana letak menara pemancar stasiun-stasiun televisi di Jember. Di desa
asal saya (Mlokorejo-Puger), yang jelas semua sinyal terresrial televisi tidak
bisa ditangkap dengan jelas. Semua kepyur,
semua gambarnya kabur. Menonton siaran televisi dengan bonus gambar semut
begitu tentu tidaklah nyaman. Apalagi setelah bekerja seharian, para petani di
desa saya tentu membutuhkan hiburan. Dan televisilah hal termurah untuk itu. Namun,
dengan kondisi siaran yang demikian, hiburan itu menjadi kurang menghibur.
Solusi atas kelemahan sistem analog itu, di mana ketika
semakin jauh jarak pesawat televisi dari antena pemancar gambar diterima
menjadi tidak sempurna, adalah dengan sistem digital. Dan ketika di sebuah situs
web saya membaca salah satu daerah di zona 7 (Jawa Timur) yang beberapa stasiun
televisinya sudah juga bersiaran secara digital adalah Jember, saya pun lalu
menjajal menangkap sinyal digital itu menggunakan perangkat set top box DVB-T2 yang jauh-jauh saya
bawa dari Surabaya. Hasilnya?
Foto: Riza Kurniawan |
Kondisi itu, oleh beberapa orang yang kreatif, ditangkap sebagai
peluang bisnis. Buktinya adalah, rentangan panjang kabel coaxical yang beberapa nunut
bergelayut dari tiang listrik satu ke tiang listrik berikutnya. Kalau tidak,
karena menjangkau rumah pelanggan tidak ada tiang listrik, dahan-dahan pohon
waru atau randu pun jadi. Ya, sebagaimana di desa-desa tetangga, di desa saya
pun ada layanan televisi berbayar sistem kabel laiknya First Media.
“Di Grenden ini saja,” kata saudara misan saya, “operatornya
ada dua; satu melayani wilayah timur sungai, satunya lagi menjangkau pelanggan
barat sungai.”
Tentang tarif bulanannya, beberapa orang dari tiga desa
berbeda, menjawab kisaran harga yang sama. Yakni antara 12 ribu sampai limabelas
ribu rupiah. Namun, “Kalau di tempatku sebulan sepuluh ribu rupiah untuk
channel berjumlah 17. Tiga di antaranya saluran tivi asing,” teman saya yang tinggal
di desa Wringintelu, yang saya tanya melalui SMS, memberi penjelasan.
Penjelasannya itu tentu bagi saya kurang jelas. 17 channel? Apa
saja?
Nah, untuk kepentingan itu, saya pagi-pagi (karena agak siangnya
harus segera balik ke Surabaya) bertamu ke rumah seorang famili dalam rangka
mencari tahu channel apa saja yang
disediakan oleh penyedia layanan tivi kabel di kampung saya. Dengan famili saya
itu yang memegang remote control,
saya mencatat siaran apa saja yang ada.
Sumber gambar: Google Images |
“Itu belum seberapa,” kata famili saya tadi. “Malah ada dua
saluran asing yang tidak pantas ditonton oleh kita, apalagi anak-anak.”
Sekalipun, karena olehnya dua saluran itu diprogram agar
tidak muncul di pesawat televisinya, ia tidak tahu apa nama stasiun televisi
itu, namun saya tentu paham apa yang dia maksudkan. Inilah bedanya, saya kira,
antara televisi kabel sungguhan yang dilelola dengan profesional, dengan tivi
kabel kelas rendahan di desa asal saya, dan di beberapa desa sekitarnya.
Dengan 'uang pendaftaran' 150 ribu untuk biaya penyambungan instalasi,
plus iuran bulanan yang dipukul rata paling banter limabelas ribu rupiah, harga
itu tentulah murah. Namun efeknya, bisa jadi, akan berharga mahal. Tontonan-tontonan
yang sama sekali tidak menuntun, aurat-aurat yang diumbar vulgar sekalipun
masih waktu sholat Asyar. Dsb, dst.
Saya tidak sempat mencari tahu berapa modal yang dibutuhkan
untuk mendirikan usaha tivi kabel itu, tetapi ketika saudara misan saya di
Grenden berkata bahwa hampir seluruh warga desa yang mempunyai televisi sebagai
pelanggan, tentu jumlahnya sangat lumayan. Taruh kata, dengan seribu pelanggan
saja, dalam sebulan ada income
sebesar antara sepuluh sampai limabelas juta!
Ini seperti usaha ‘main-main’ dengan hasil yang bukan main. Persoalannya
adalah, ya itu tadi; ketika stasiun televisi ‘resmi’ diharuskan mematuhi
rambu-rambu yang ditetapkan oleh pembuat regulasi, tivi kabel di desa yang makin hari
makin menjamur itu, sepertinya, berjalan dengan seenaknya.
Saya bukan praktisi atau pemerhati televisi sungguhan, namun
dengan munculnya logo Telkomvision di
saluran tivi kabel kelas ekonomi itu, apakah itu bukan telah ‘menjual ulang’
(dengan harga murah pula) siaran yang seharusnya tidak boleh begitu saja
diobral? *****
Di desa mojosari puger juga gitu besarnya iuran bulanan tak di imbangi dengan pelayanan yang baik saluran tv kabel sering terjadi masalah kpyur dan tak ada gamabar namun pelanggan tak tau dimana harus menyampaikan keluhan
BalasHapus