Minggu, 14 April 2013

Siaran Terrestrial 'Kepyur', TV Kabel Menjamur


SAYA kurang tahu pasti di mana letak menara pemancar stasiun-stasiun televisi di Jember. Di desa asal saya (Mlokorejo-Puger), yang jelas semua sinyal terresrial televisi tidak bisa ditangkap dengan jelas. Semua kepyur, semua gambarnya kabur. Menonton siaran televisi dengan bonus gambar semut begitu tentu tidaklah nyaman. Apalagi setelah bekerja seharian, para petani di desa saya tentu membutuhkan hiburan. Dan televisilah hal termurah untuk itu. Namun, dengan kondisi siaran yang demikian, hiburan itu menjadi kurang menghibur.

Solusi atas kelemahan sistem analog itu, di mana ketika semakin jauh jarak pesawat televisi dari antena pemancar gambar diterima menjadi tidak sempurna, adalah dengan sistem digital. Dan ketika di sebuah situs web saya membaca salah satu daerah di zona 7 (Jawa Timur) yang beberapa stasiun televisinya sudah juga bersiaran secara digital adalah Jember, saya pun lalu menjajal menangkap sinyal digital itu menggunakan perangkat set top box DVB-T2 yang jauh-jauh saya bawa dari Surabaya. Hasilnya?

Foto: Riza Kurniawan
Berkali-kali saya melakukan pencarian dengan auto search, sama sekali tidak terdeksi adanya sinyal digital. Sekali lagi, saya tidak tahu pasti, apakah memang di Jember belum ada satu stasiun televisi pun yang bersiaran secara digital, atau memang daerah tempat tinggal ortu saya itu termasuk area blank spot.

Kondisi itu, oleh beberapa orang yang kreatif, ditangkap sebagai peluang bisnis. Buktinya adalah, rentangan panjang kabel coaxical yang beberapa nunut bergelayut dari tiang listrik satu ke tiang listrik berikutnya. Kalau tidak, karena menjangkau rumah pelanggan tidak ada tiang listrik, dahan-dahan pohon waru atau randu pun jadi. Ya, sebagaimana di desa-desa tetangga, di desa saya pun ada layanan televisi berbayar sistem kabel laiknya First Media.

“Di Grenden ini saja,” kata saudara misan saya, “operatornya ada dua; satu melayani wilayah timur sungai, satunya lagi menjangkau pelanggan barat sungai.”

Tentang tarif bulanannya, beberapa orang dari tiga desa berbeda, menjawab kisaran harga yang sama. Yakni antara 12 ribu sampai limabelas ribu rupiah. Namun, “Kalau di tempatku sebulan sepuluh ribu rupiah untuk channel berjumlah 17. Tiga di antaranya saluran tivi asing,” teman saya yang tinggal di desa Wringintelu, yang saya tanya melalui SMS, memberi penjelasan. 

Penjelasannya itu tentu bagi saya kurang jelas. 17 channel? Apa saja?

Nah, untuk kepentingan itu, saya pagi-pagi (karena agak siangnya harus segera balik ke Surabaya) bertamu ke rumah seorang famili dalam rangka mencari tahu channel apa saja yang disediakan oleh penyedia layanan tivi kabel di kampung saya. Dengan famili saya itu yang memegang remote control, saya mencatat siaran apa saja yang ada.

Sumber gambar: Google Images
Saya dapati di tivi kabel itu tersedia semua siaran televisi swasta nasional kita, plus beberapa siaran televisi lokal macam Jtv dan BaliTV. Untuk lebih jelasnya, inilah yang sempat saya catat; Fox Movies, Celestial Movies, Nat Geo –Wild-, SFI (Saluran Film Indonesia – Telkomvision), Arena (Telkomvision), MNC Sport, Star Sport, Fight Sport (saluran tinju dan sejenisnya), Orange TV, Matrix TV, SpaceToon, Nickelodeon, B1V (saluran musik India), B-Channel, LBS Music , LBS-TV9 (drama Korea), MGM Channel, RodjaTV (siaran agama Islam), TV5 Monde, plus satu saluran diisi khusus lagu-lagu yang direkam dari panggung-panggung dangdut sebagaimana bisa didapati pada CD-CD yang dijual di lapak-lapak PKL. Lagu-lagu yang (kadang) bersyair agak jorok, dengan penyanyi yang tampil agak seronok.

“Itu belum seberapa,” kata famili saya tadi. “Malah ada dua saluran asing yang tidak pantas ditonton oleh kita, apalagi anak-anak.”

Sekalipun, karena olehnya dua saluran itu diprogram agar tidak muncul di pesawat televisinya, ia tidak tahu apa nama stasiun televisi itu, namun saya tentu paham apa yang dia maksudkan. Inilah bedanya, saya kira, antara televisi kabel sungguhan yang dilelola dengan profesional, dengan tivi kabel kelas rendahan di desa asal saya, dan di beberapa desa sekitarnya.

Dengan 'uang pendaftaran' 150 ribu untuk biaya penyambungan instalasi, plus iuran bulanan yang dipukul rata paling banter limabelas ribu rupiah, harga itu tentulah murah. Namun efeknya, bisa jadi, akan berharga mahal. Tontonan-tontonan yang sama sekali tidak menuntun, aurat-aurat yang diumbar vulgar sekalipun masih waktu sholat Asyar. Dsb, dst.

Saya tidak sempat mencari tahu berapa modal yang dibutuhkan untuk mendirikan usaha tivi kabel itu, tetapi ketika saudara misan saya di Grenden berkata bahwa hampir seluruh warga desa yang mempunyai televisi sebagai pelanggan, tentu jumlahnya sangat lumayan. Taruh kata, dengan seribu pelanggan saja, dalam sebulan ada income sebesar antara sepuluh sampai limabelas juta!

Ini seperti usaha ‘main-main’ dengan hasil yang bukan main. Persoalannya adalah, ya itu tadi; ketika stasiun televisi ‘resmi’ diharuskan mematuhi rambu-rambu yang ditetapkan oleh pembuat regulasi, tivi kabel di desa yang makin hari makin menjamur itu, sepertinya, berjalan dengan seenaknya. 

Saya bukan praktisi atau pemerhati televisi sungguhan, namun dengan munculnya logo Telkomvision di saluran tivi kabel kelas ekonomi itu, apakah itu bukan telah ‘menjual ulang’ (dengan harga murah pula) siaran yang seharusnya tidak boleh begitu saja diobral? *****

1 komentar:

  1. Di desa mojosari puger juga gitu besarnya iuran bulanan tak di imbangi dengan pelayanan yang baik saluran tv kabel sering terjadi masalah kpyur dan tak ada gamabar namun pelanggan tak tau dimana harus menyampaikan keluhan

    BalasHapus