“SMS apa ya, Kang, yang
ditulis orang sambil nyetir motor begitu?”
“Oh, itu. Dia lagi
mengirim pesan singkat kepada malaikat maut agar segera datang menjemput...”
BEGITU saya
pernah up date status pada Facebook dengan, seperti biasa,
menggunakan dua tokoh rekaan saya; Mas Bendo dan Kang Karib. Status itu saya
buat berdasar pengamatan saya akan kenyataan di jalan raya yang saban hari saya
selalu melihat ada saja orang yang bernyali besar ber-SMS-ria sambil
berkendara.
Perilaku itu, tentu Sampeyan
setuju, bukan hanya berpeluang sebagai awal sebuah kecelakaan bagi si
pengendara itu sendiri, tetapi juga akan bisa mencelakai orang (pengendara)
lain. Bukankah telah pernah kita dengar ada sebuah kecelakaan yang diakibatkan
oleh perilaku semacam itu? Di sebuah lampu merah, ketika semua pengendara
berhenti, ada kendaraan di belakang yang (karena pengemudinya tengah asyik
berponsel ria) nyelonong saja. Dan, brakkk!
Kendaraannya menggasak pengguna jalan lain yang sedang mematuhi rambu
lalu-lintas. Lantas?
Ya tentu saja peristiwa macam itu perlu dijadikan pelajaran
bahwa, berponsel ria sambil berkendara (apalagi menulis SMS) adalah suatu tindakan yang oleh
pembalap kelas dunia macam Valentino Rossi atau Sebastian Vettel sekalipun tak
akan pernah dilakukannya. Tetapi di masyarakat kita, hal berisiko tinggi itu
bisa saban hari ditemui.
Secara iseng, pagi tadi saya menghitung pengendara motor
yang melaju di jalanan padat Surabaya di saat jam berangkat kerja. Saya mencari pengendara bertipe nekad
begitu.
Dari rumah saya di Rungkut, saya mengambil rute Tenggilis
depan apartemen Metropolis, lalu masuk kampung tembus Raya Jemursari, lanjut
Raya Margorejo Indah. Nihil, tiada pengendara yang saya pergoki menulis SMS sambil
nyetir. Tetapi ketika saya melintas di depan RSI Wonokromo dengan kecepatan 40
km/jam (maklum, jam berangkat kerja begitu, lalin Surabaya sangat padat
merambat), ada pengendara Supra bernopol L 6329 HW menyalip saya sambil ber-SMS-ria.
Seperti pernah Sampeyan
tahu, mengendarai motor sambil menulis SMS begitu, mata dan kepalanya sesaat
melihat ke depan, sesaat kemudian melihat layar ponsel. Berulang-ulang. Benar, dengan
berkendara cara begitu, konsentrasi tentu menjadi tak menentu. Saya terus mengikuti
si pengendara itu sampai di dekat bonbin. Bayangkan, ia mempertaruhkan keselamatannya
(juga keselamatan orang lain) dengan cara yang sama sekali tidak bijaksana
sepanjang nyaris dua ratus meter!
Karena ia terus lurus menuju Raya Darmo sementara rute saya
via jalan Diponegoro, saya tentu tidak tahu apakah di depan ia mengulangi
kelakuannya itu. Tetapi, tepat di bawah jalan tol setelah bunderan Satelit,
saya disalip oleh cewek yang mengendarai Honda Beat nopol AE 3783 YX dengan bodi
motor yang sudah dibalut warna pink. Saya lihat speedometer motor saya; 50 km/jam. Artinya, cewek yang menyalip
saya itu memacu motor matic-nya diatas kecepatan saya. Itu adalah hal wajar
seandainya ia melakukannya tidak sambil menulis SMS. Gila.
Agar data nopol yang akan saya tulis ini tidak keliru, tentu
saya tidak dapat mencatatnya dalam keadaan sambil berkendara. Setelah menyalakan
lampu riting arah kiri, saya menepi di pinggir jalan tidak jauh dari kantor
cabang Bank BRI di jalan HR Muhammad. Saya berhenti di belakang seorang lelaki
pengendara Supra berplat S 6439 CT yang sedang menulis SMS. Saya tidak bertanya
ia sedang membalas pesan singkat dari siapa, tetapi yang dilakukannnya itu membuat
saya berkesimpulan; di antara orang-orang yang nekat ber-SMS ria sambil
berkendara (seolah yang ditulisnya adalah hal maha penting yang mengalahkan
keselamatannya), masih lebih banyak pengendara yang berakal sehat. Menepi dan
berhenti di tempat yang aman, dan membalas pesan singkat dengan cara bijak.
*****
nggak di mana-mana ternyata, di desa, di kota, di blog, di facebook, orang SMS sambil mengemudikan kendaraan ternyata membuat banyak inspirasi tulisan
BalasHapusSEBAGAIMANA, bagi Sampeyan, naik bis juga selalu bisa melahirkan catatan.
HapusRencana, besok saya akan 'pulkam' ke Jember. Sedang menimbang, enak pakai R2, apa pakai bis? Si bumel kalau sudah selepas Lumajang, lajunya bikin hati geregetan. Lain halnya dengan yang lewat utara (Jatiroto, Tanggul), yang lewat Kencong sudah sering ngetem, jalannya ogah-ogahan pula.
Ada saran?