Senin, 08 April 2013

Berkendara Sambil Ber-SMS-ria


“SMS apa ya, Kang, yang ditulis orang sambil nyetir motor begitu?”

“Oh, itu. Dia lagi mengirim pesan singkat kepada malaikat maut agar segera datang menjemput...”


BEGITU saya pernah up date status pada Facebook dengan, seperti biasa, menggunakan dua tokoh rekaan saya; Mas Bendo dan Kang Karib. Status itu saya buat berdasar pengamatan saya akan kenyataan di jalan raya yang saban hari saya selalu melihat ada saja orang yang bernyali besar ber-SMS-ria sambil berkendara.

Perilaku itu, tentu Sampeyan setuju, bukan hanya berpeluang sebagai awal sebuah kecelakaan bagi si pengendara itu sendiri, tetapi juga akan bisa mencelakai orang (pengendara) lain. Bukankah telah pernah kita dengar ada sebuah kecelakaan yang diakibatkan oleh perilaku semacam itu? Di sebuah lampu merah, ketika semua pengendara berhenti, ada kendaraan di belakang yang (karena pengemudinya tengah asyik berponsel ria) nyelonong saja. Dan, brakkk! Kendaraannya menggasak pengguna jalan lain yang sedang mematuhi rambu lalu-lintas. Lantas?

Ya tentu saja peristiwa macam itu perlu dijadikan pelajaran bahwa, berponsel ria sambil berkendara (apalagi menulis SMS) adalah suatu tindakan yang oleh pembalap kelas dunia macam Valentino Rossi atau Sebastian Vettel sekalipun tak akan pernah dilakukannya. Tetapi di masyarakat kita, hal berisiko tinggi itu bisa saban hari ditemui.

Secara iseng, pagi tadi saya menghitung pengendara motor yang melaju di jalanan padat Surabaya di saat jam berangkat  kerja. Saya mencari pengendara bertipe nekad begitu.

Dari rumah saya di Rungkut, saya mengambil rute Tenggilis depan apartemen Metropolis, lalu masuk kampung tembus Raya Jemursari, lanjut Raya Margorejo Indah. Nihil, tiada pengendara yang saya pergoki menulis SMS sambil nyetir. Tetapi ketika saya melintas di depan RSI Wonokromo dengan kecepatan 40 km/jam (maklum, jam berangkat kerja begitu, lalin Surabaya sangat padat merambat), ada pengendara Supra bernopol L 6329 HW menyalip saya sambil ber-SMS-ria. 

Seperti pernah Sampeyan tahu, mengendarai motor sambil menulis SMS begitu, mata dan kepalanya sesaat melihat ke depan, sesaat kemudian melihat layar ponsel. Berulang-ulang. Benar, dengan berkendara cara begitu, konsentrasi tentu menjadi tak menentu. Saya terus mengikuti si pengendara itu sampai di dekat bonbin. Bayangkan, ia mempertaruhkan keselamatannya (juga keselamatan orang lain) dengan cara yang sama sekali tidak bijaksana sepanjang nyaris dua ratus meter! 

Karena ia terus lurus menuju Raya Darmo sementara rute saya via jalan Diponegoro, saya tentu tidak tahu apakah di depan ia mengulangi kelakuannya itu. Tetapi, tepat di bawah jalan tol setelah bunderan Satelit, saya disalip oleh cewek yang mengendarai Honda Beat nopol AE 3783 YX dengan bodi motor yang sudah dibalut warna pink. Saya lihat speedometer motor saya; 50 km/jam. Artinya, cewek yang menyalip saya itu memacu motor matic-nya diatas kecepatan saya. Itu adalah hal wajar seandainya ia melakukannya tidak sambil menulis SMS. Gila.

Agar data nopol yang akan saya tulis ini tidak keliru, tentu saya tidak dapat mencatatnya dalam keadaan sambil berkendara. Setelah menyalakan lampu riting arah kiri, saya menepi di pinggir jalan tidak jauh dari kantor cabang Bank BRI di jalan HR Muhammad. Saya berhenti di belakang seorang lelaki pengendara Supra berplat S 6439 CT yang sedang menulis SMS. Saya tidak bertanya ia sedang membalas pesan singkat dari siapa, tetapi yang dilakukannnya itu membuat saya berkesimpulan; di antara orang-orang yang nekat ber-SMS ria sambil berkendara (seolah yang ditulisnya adalah hal maha penting yang mengalahkan keselamatannya), masih lebih banyak pengendara yang berakal sehat. Menepi dan berhenti di tempat yang aman, dan membalas pesan singkat dengan cara bijak. *****

2 komentar:

  1. nggak di mana-mana ternyata, di desa, di kota, di blog, di facebook, orang SMS sambil mengemudikan kendaraan ternyata membuat banyak inspirasi tulisan

    BalasHapus
    Balasan
    1. SEBAGAIMANA, bagi Sampeyan, naik bis juga selalu bisa melahirkan catatan.

      Rencana, besok saya akan 'pulkam' ke Jember. Sedang menimbang, enak pakai R2, apa pakai bis? Si bumel kalau sudah selepas Lumajang, lajunya bikin hati geregetan. Lain halnya dengan yang lewat utara (Jatiroto, Tanggul), yang lewat Kencong sudah sering ngetem, jalannya ogah-ogahan pula.

      Ada saran?

      Hapus