Tampilkan postingan dengan label Shameless Stories. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Shameless Stories. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 Juli 2023

Pepaya Bahaya

BUAH yang relatif rutin dikonsumsi Ibu Negara adalah pepaya. Nyaris saban hari. Untunglah buah ini harganya murah. Delapan ribu rupiah dapat separuh. Itu kalau pepayanya besar. Perkata manis dan tidak itu lain soal. Kadang, saya belikan yang ranum, buah terlihat merah merona, eh rasanya bikin merana. 

Dengan membeli separuh, buah utuh yang telah dibelah, saya jadi tahu penampakannya. Isinya sudah hitam pertanda tua, buahnya sudah merah menyala dengan rasa yang belum tahu juga🥹. Namanya juga tidak dikasih tester

Tempo hari, sepulang ngantar Ibu Negara ngantor (baca: kerja di pabrik) di setelah lampu merah pertigaan Kalirungkut, ada pepaya utuh jatuh di pinggir jalan. Pepatah bilang, buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya. Tetapi di dekat situ tiada pohon pepaya, tiada pula toko Papaya. Lalu pepaya ini punya siapa? 

Pepaya ini kelihatan tua bukan karena kulitnya keriput dan ubanan, tetapi ada semburat kuning kemerahan di kulitnya. Kalau di tukang buah langganan, pepaya segede itu seharga lima belas ribu. 

Tolah toleh tidak ada orang di dekatnya, saya duga pepaya itu jatuh dari keranjang penjual pepaya. Kasihan? Tentu saja. Tetapi apa daya, kepada siapa saya mengembalikan? Bisa jadi si pembawa pepaya langsung bablas dan tak menyadari pepayanya jatuh. Jadi? Kalau tak saya ambil bisa bahaya. Bisa diambil orang lain! Ya itu rezeki saya, pikir saya --yang kalau saya minta pendapat bos Jarwo pastilah ia sependapat dengan saya. Entah kalau bertanya ke Bang Haji Udin. 

Singkat cerita, saya bawa pepaya itu. Lumayan, bisa saya kasihkan ke Ibu Negara. 

Belum dua ratus meter saya bawa, di depan saya lihat ada bapak-bapak penjual pepaya menghentikan motor dengan keranjang penuh pepaya. Waduh

Rupanya ia dikasih tahu orang kalau pepayanya ada yang jatuh. Untunglah dia gak tahu pepaya itu sudah saya ambil. Dengan lagak sok berbudi luhur, saya kembalikan pepaya itu. Saya bilang, "Tadi saya nemu di dekat lampu merah, makanya saya uber hendak saya kembalikan."

Padahal...🫢****

Senin, 20 Desember 2021

Kebelet Kiblat

Saat saya makan di warung gudeg Jogja
jalan Teuku Umar, Denpasar.

WALAU
saya ini sudah puluhan tahun bekerja di sebuah tempat --yang management kami acap menancapkan faham kepada setiap karyawan bahwa--berkelas bintang lima (padahal menurut saya --setuju tidak setuju-- sudah amat sangat pantas naik kasta menjadi bintang tujuh, karena tiap awal bulan telah berjasa membuat saya tidak terlalu sakit kepala, walau di tanggal empat uang gaji saya tinggal seperempat), saya ini tetap saja orang katrok. Ndesit. Dan, belum pernah menginap di hotel berbintang. Kalau makan di hotel berbintang sih pernah. Saat menjadi 'pemain pengganti' (karena kabag yang kudunya hadir, berhalangan) untuk menghadiri sebuah forum membahas suatu program atau semacam pelatihan.

Acara training-nya sih biasa, saat makan ala hotel itu yang luar biasa. Luar biasa canggung, maksud saya. Pernah sih, setelah lirak-lirik kanan-kiri, nyontek menu yang diambil orang-orang, saya ikutan. Namun apa daya, lidah saya ini adalah lidah ndedo-kesakeso, makanan ala hotel yang saya bayangkan semua mak-nyus, malah terasa pating klenyit tak karuan di lidah saya. Tahu gitu, tadi saya memilih nasi goreng atau sate saja. Menu makanan yang menurut lidah saya adalah pemuncak abadi klasemen dari semua jenis makanan di alam fana ini.

Kamis, 21 Februari 2019

Kartunis

SEMASA sekolah, selain menulis, juga ada kegemaran saya yang lain. Menggambar. Bukan menggambar seperti pelukis bergaya realis. Karena, untuk urusan melukis, prestasi tertinggi saya sejak SD adalah ketika menggambar pemandangan. Yaitu, membuat gunung dua, di tengah ada matahari, lalu ada sawah, dan ada jalan yang membelah persawahan itu. Juga ada dua pohon kelapa, satu tinggi-satunya pendek, di tepi jalan. Kompak. Karena nyaris anak satu kelas menggambar yang sama.

Makanya, saya kagum sekali ketika membaca cerita bergambar di majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat karya mendiang Teguh Santosa. Gambarnya hidup. Sehingga saya bisa dengan gampang dan gamblang mencerna cerita yang digambarkan. Selain Teguh Santosa, ilustrator yang saya kagumi kepiawaiannya dalam menggambar di majalah yang sama adalah Budiono. Nama yang saya sebut belakangan tadi sampai kini karyanya masih bisa kita nikmati di Jawa Pos (Grup?)

Menurut saya, coretan tangan Budiono khas. Baik saat menggambar sosok 'manusia normal', atau saat bikin karikatur. Yang juga bikin kagum adalah saat ia membuat ilustrasi untuk rubrik Wayang Opo Maneh yang (sayangnya kini rubrik itu sudah tidak ada lagi di Jawa Pos) tokoh wayang macam Cakil, atau Arjuna, atau Sengkuni dll digambarkan dengan jenaka. Pakai sepatu kets atau pakai jam tangan. Jan mbois tenan, khas Budiono pokoknya.

Minggu, 09 September 2018

Karcis Parkir

MAKIN banyak saja tempat parkir yang memakai sistem terkini. Bukan lagi saat masuk nopol dicatat tukang parkir lalu kita diberi selembar karcis. Celakanya, tidak jarang karcis itu sudah lecek. Sudah sekian kali digunakan. Dari sini, ada kecurigaan yang masuk akal; bila selembar karcis parkir digunakan berkali-kali sedangkan secara resmi ia hanya boleh digunakan sekali, kemana dong uang parkir selebihnya?

Dengan sistem yang sekarang, yang saat masuk kita secara swalayan bisa nutul tombol di pintu masuk tempat parkir, dan sejurus kemudian kita mendapat print out 'karcis parkir', semua serba simpel. Juga canggih. Karena saat berhenti ketika nutul tombol tadi, wajah kita juga sedang dipotret; sehingga saat keluar, sambil melihat layar monitor petugas bisa tahu, sama nggak penunggang kendaraan anu dengan nopol sekian antara saat masuk dan keluar. Tentu ini bisa meminimalisir pencurian kendaraan dari tempat parkir.

Belum lama ini suatu pagi, saya pergi ke sebuah ATM bank yang terletak di sebuah pertokoan. Seperti biasa, saat masuk saya nutul tombol untuk kemudian mendapat karcis pakir. Karcis itu langsung saya masukkan saku celana. Di dalam ruang ATM juga serupa; setelah transaksi, selembar print out menjulur. Saya tarik, masuk saku juga.

Masalah baru muncul saat saya hendak keluar dan oleh petugas dibilang karcis saya keliru.

"Keliru bagaimana?" sembur saya yang entah mengapa pagi-pagi sudah esmosi. "Saat masuk tadi dapat itu kok keluar dibilang keliru, yang bener aja..."

"Maaf, Pak. Ini bukan karcis parkir, tapi struk transaksi ATM," kalimat yang diucapkan petugas pintu keluar tempat parkir itu membuat wajah saya langsung putih walau tanpa luluran *****

Minggu, 14 Februari 2016

D i e t

Ilustrasi gambar: google
ANGKA pada timbangan di ruang Male Spa itu menunjuk angka 74,4 saat saya berdiri di atasnya. Oh, naik banget nih berat badan saya. Gara-gara sudah agak lama tidak donor darah, yang proses awalnya termasuk harus timbang badan dulu, menjadikan saya tidak tahu perkembangan berat badan saya. Terakhir donor mendapati bobot saya 68 kilogram, tahu-tahu sekarang naik 6,4 kg!

Saya harus diet!

Dasar saya ini tidak terlalu pintar, yang saya tahu tentang diet adalah mengurangi porsi makan. Dari yang biasanya setiap makan nasinya sepiring munjung, kini cuma sepertiganya saja. Yang penting sayur, yang penting buah. Untuk sayur, tidak terlalu ada masalah; di depan rumah ada pohon turi, yang tiada lelah berbunga saban hari. Untuk buah, ada sih pohon belimbing yang sudah mulai berbuah, tapi ya itu, buahnya kunthing, kecil-kecil. Padahal, di lemari es, dominasi isinya adalah air dan es belaka. Buah seperti apel, jeruk dan lainnya, cuma kadang-kadang saja menghuninya, hanya di tanggal muda.

Pendek cerita, sejak saya tahu bobot saya segitu, saya melakukan pengurangan porsi makan. Dan dua hari berselang, ketika ke Male Spa lagi, saya melakukan timbang badan. Hasilnya; pada display tertera angka: 72,4 kgs. Wah, hebat ini, berhasil ini diet saya. Dalam hitungan saya, kalau dua hari saja turun dua kilo, dalam sepuluh hari berat badan saya bisa tinggal limapuluh sekian kilo. Atletis banget. Dan untuk membentuk perut ini menjadi sixpack, tinggal rajin nge-gym dan olahraga lainnya. Itu tak terlalu sulit, saya kenal baik instruktur gym di tempat saya kerja ini.

Tahu hasilnya signifikan begitu, saya makin semangat melakukan diet. Suatu sore, saya makan nasi dua sendok saja, tetapi sayur eseng-eseng kembang turinya segunung. Hasilnya luar biasa: jika biasanya saya BAB jam setengah lima pagi, kali itu jam dua dini hari sudah harus berlari ke belakang, masur-masur. Buang hajat dengan tanpa ngedan karena isi perut langsung mengucur begitu saya dalam posisi. Ya, saya mencret!

Pagi, mampir ke ruang marketing dan mendapati alat timbang badan di sudut ruang. Teman-teman marketing dan accounting yang cakep-cakep dan bertubuh proporsional walau saya lihat suka ngemil itu, ternyata selalu mengontrol berat badan mereka. Iseng, saya numpang timbang badan di situ. Alhamdulllah, berkat 'murus' semalam, bobot saya menjadi 70, 2 kilo.

Sorenya, sepulang kerja saya ke apotek membelikan sirup obat batuk-pilek untuk si bungsu. Setelah mendapatkan obat yang saya maksudkan, sebelum pulang, begitu mata ini melihat ada alat timbang badan di sisi sudut selatan, saya nunut timbang. Hasilnya: jarum menunjuk angka 65 kilogram!

Besoknya, di tempat kerja, saya niat menuju timbangan digital tempat saya timbang kali pertama. Saya menemui teman yang sedang incharge di Male Spa, “Timbangan ini akurat?” tanya saya.

“Oh, itu sudah lama rusak,” katanya datar.

Uh, dasar! Dan lagi, jangan-jangan timbangan di ruang marketing dan di apotek itu juga sudah seperti omongan para pendusta; tak bisa dipercaya. *****


Senin, 02 November 2015

Tersumbat Cutton Bud

Alat 'kili-kili'
Foto: ewe
KALAU sudah kecanduan, walau tahu yang dicandui itu adalah hal yang kurang baik, lumayan susah untuk menghilangkannya. Pernah sih saya mendengar ungkapan yang bilang, “Bila sulit menghilangkan kebiasaan buruk, buat dan lakukanlah kebiasaan-kebiasaan  baru yang baik.”

Dalam banyak hal, bicara jauh lebih gampang daripada mempraktikkannya. Dengan kata lain; tak semudah membalik telapak tangan. Ini bukan permainan ontong-ontong bolong, adu merak adu sapi yang berakhir diuyahi-diasemi wolak-walik grembyang.

Oho, jangan terlalu serius. Saya hanya ingin bercerita tentang kebiasaan buruk saya; kili-kili, membersihkan lubang telinga memakai bulu ayam atau cutton bud. Kalau dirunut ke belakang, kurang ingat saya sejak kapan melakukannnya. Yang jelas sudah luama sekali, dan sudah dalam taraf kecanduan. Sehari saja tak melakukannya, serasa gak betah. Kuping terasa gatal. Padahal, mungkin saja, gatal itu muncul karena dorongan keinginan sendiri. Yang, kalaulah tidak dituruti untuk dikili, pun sepertinya tidak apa-apa. Jujur, dalam membersihkan telinga, bukan melulu membuang kotoran semata, tetapi ada kenikmatan sebagai bonusnya. Ada rasa geli-geli sedap yang menggoda.

Padahal, dalam banyak artikel saya dapatkan keterangan, kotoran telinga tak perlu dikili juga akan bisa keluar sendiri. Gerakan rahang dalam berbicara atau mengunyah makanan adalah motode alami untuk mendorong kotoran telinga keluar dari liangnya. Sehingga, tak dianjurkan memasukkan bulu ayam atau cutton bud terlalu dalam. Batas yang dianjurkan adalah, bila bagian ujung cutton bud sudah menyentuh kulit telinga dan terasa nyaman, segera cabut. (Ih, tanggung ya? Lagi enak kok dicabut?)


Sabtu, 06 Juni 2015

EWAS Bikin Klejingan

Melihat-lihat dulu, menawar-nawar kemudian. (Foto: Galuh Setiawan)
BERTEMPAT di play ground tempat kerja saya ini, Kamis kemarin (4 Mei 2015), EWAS (Expatriate Women's Association of Surabaya) mengadakan acara Yard Sale. Pada awalnya, kegiatan bazar yang bersifat charity itu hanya dikhususkan untuk anggota. Tetapi sampai siang pengunjung yang datang sangat jauh dari harapan, bahkan hanya yang membuka stan saja. Padahal, mulanya panitia mengumumkan yang diundang dan akan datang sekitar 40 anggota. Lha kok ternyata suasananya hanya sepoi-sepoi sepi-sepi saja. Nah, siapa dong yang beli dagangannya?

Yang dijual aneka macam, mulai baju, sepeda, tas, sepatu, kacamata renang, mainan anak yang semuanya adalah barang lungsuran atau bekas pakai. Harga dibanderol mulai sepuluh ribu (untuk barang mainan anak-anak) sampai satu juta. Ya, yang satu juta itu harga sebuah tas, dan bekas. Mahal? Relatif. Tetapi, "Ini barang bagus," kata Nyonya Montse yang memajang tas itu. "Lihatlah; bahannya, jahitannya, semua perfect. Ini kalau baru, harganya three million rupiah," katanya.

Suasana bazar. (Foto: Galuh Setiawan)
Begitulah, akhirnya bazar itu terbuka untuk kami-kami yang bekerja disini. Saya ikutan pula berkeliling dari stan ke stan. Pegang-pegang saja. Bukan apa-apa, harganya itu lho yang bikin kulit dompet saya merinding.

"Ini murah, mas," kata seoarng teman yang memegang sepatu anak-anak berbahan kulit berwarna cokelat.

"Berapa sampeyan beli?" tanya saya.

"Seratus," jawabnya mantap. "padahal kalau baru ini tujuh ratus, Mas," tambahnya.

Saya menuju stan lain. Selain busana dan mainan anak, disitu PS Portable merek Sony terselempit pada tas dengan posisi menonjol ke atas. Ya, saya tak tertarik membeli tasnya, tetapi PS-nya. Agar tidak seperti membeli kucing dalam karung, saya buka dus PS itu, dan, "No, no.Ini punya saya, tidak dijual," kata bule cantik itu dalam bahas Inggris yang sukses membuat muka saya merah maroon karena klejingan.

Sepeda impor ini dibanderol lima ratus ribu rupiah. (Foto: Galuh Setiawan)
Tentu saja meminta maaf atas kelancangan itu. Saya berkeliling ke stan lainnya lagi. Tetapi, Anda tahu, rasa malu kadang susah hilang begitu  saja. Ia harus diguyur oleh sesuatu yang lain agar berlalu. Menujulah saya ke bawah pohon trembesi dimana ditempatkan pada meja penganan kecil, kopi, teh dan air mineral. Saya tidak minum kopi, juga sedang tidak ingin ngeteh, dan akhirnya mengambil sebotol kecil air mineral saja.

"Oke, silakan; harganya sepuluh ribu sebotol," seorang panitia, juga perempuan bule, membuat saya meletakkan lagi sebotol kecil air mineral itu.

Saya kira gratis, lha kok harus bayar. Sepuluh ribu pula harganya, padahal diluar paling cuma duaribu.

"Khusus anggota memang gratis," terangnya.

Saya menjauh, meninggalkan arena. Tak meneruskan mengunjungi stan lain; takut klejingan lagi. *****

Rabu, 25 Juni 2014

Korban Tepukan

SECARA pasti saya sudah lupa. Namun karena itu saya alami sebelum menikah, perkiraan saya, itu terjadi kalau tidak tahun 97 ya tahun 98. saat itu di kanan-kiri sekitaran pertigaan Rungkut masih semrawut, masih banyak sekali lapak pedagang kaki lima. Lebih-lebih malam Minggu. Berjajar di situ, mulai pedagang sepatu, baju, batu akik, bakso, gorengan dan masih banyak lagi yang lainnya..♫♪....

Sekalipun tidak berniat beli apa-apa, sesekali saya cuci mata ke situ. Di salah satu pojok, tidak jauh dari jembatan kecil, berkerumun orang-orang mengitari, saya duga, tukang jamu. Ini mengingatkan saya saat sekolah dulu yang di jam istirahat (atau membolos) ke pasar demi melihat atraksi sebutir telur yang bisa jalan sendiri. Sesuatu yang sampai pasar tutup pun tak saya temui si telur benar-benar ngglundung sendiri. Itu, saya kira, hanyalah taktik tukang jamu dalam menarik perhatian orang.

Begitu pula dengan yang malam itu saya lihat. Maka saya hanya berdiri saja, tidak ikutan jongkok menyimak seperti beberapa pria itu. Namun, “Hei,” lelaki perpakaian hitam, dengan gelang akar di tangan dan beberapa biji akik di jarinya, menuding saya, “jangan berdiri, duduk.” katanya.

Saya menoleh kiri-kanan dan belakang, memastikan jangan-jangan kata-kata itu ditujukan bukan kepada saya.

Iya, Sampeyan,” lelaki itu, yang rupanya pimpinan tukang jamu itu, memastikan keraguan saya.

Jumat, 21 Juni 2013

Donor Darah Demi Hadiah

SUDAH sekitar setahun ini, sejak musholla Badrussalam 'naik kelas' menjadi masjid, untuk sholat Jumat saya dan beberapa teman memilih ke situ. Dari tempat kerja saya letaknya relatif dekat dibanding masjid lain yang sebelumnya selalu kami tuju untuk berjumatan. Dengan berjalan kaki menyusuri emperan ruko Surya Inti Permata di timur tempat kerja saya, menerobos ke belakang melewati tanah kosong yang ditanami pisang, sampailah kami ke masjid yang sekompleks dengan sekolah SD dan Mts dengan nama yang sama. Mungkin memakan waktu tak sampai sepuluh menit.

Padahal bila Jumatan ke masjid lama di barat tempat kerja, akan lebih lama dari itu. Lebih-lebih kalau jalan kaki. Tetapi beberapa teman, masih ada yang tidak bisa pindah ke lain masjid. Di barat sana, pilihannya ada dua; kalau tidak ke Al Hikmah di Simpang Darmo Permai Selatan, ya ke Nurul Jannah yang sekarang letaknya nyelempit di 'ketiak' bangunan toko Hartono Elektronika Bukit Darmo Buelevard di Pradah. Kalau ke sana, ya jarang yang berjalan kaki, pada naik motor.

Dengan naik motor, padahal harus belok kiri dulu menuju U-turn di depan Hartono Elektronika, baru balik kanan grak melintasi jajaran ruko yang ditempati apotek dan beberapa bank, bisa lebih dari limabelas menit.

Sepulang Jumatan tadi, sesampai kemabli di kantor, ada seorang teman membawa bingkisan berisi nasi kotak, buku agenda, gelas cantik, snack, minuman kotak dan kapsul vitamin.

“Lumayan, pulang Jumatan, mampir donor di depan Bank BNI, dapat hadiah,” katanya sambil membuka nasi kotak bermenu nasi campur spesial.

Saya yang Jumatan di masjid Badrussalam tak melewati BNI. Kalaulah kemudian saya punya hasrat ikut donor, selain karena memang sudah lama tidak donor, tentu karena bingkisannya yang lumayan itu. Ini bila dibandingkan dengan donor di kantor PMI yang sekantong darah 'hanya' diganti sebutir telur asin atau sebungkus Biskuat. Hehe...

Menujulah saya ke kantor BNI yang di depannya terparkir mobil PMI.

Seorang petugas mendekati saya ketika saya baru memarkir motor, “Mau donor, Pak?”

Sambil melirik bingkisan berbungkus tas kertas berlogo BNI yang tertata rapi di meja, saya iyakan pertanyaan petugas itu. Dengan perut tas segemuk itu, saya telah tahu, isinya sama seperti yang dibawa tema saya tadi.

“Maaf, Pak., persediaan kantong darah yang kami bawa sudah habis, jadi dengan sangat terpaksa kami tidak menerima pendonor lagi.”

Sekali lagi saya melirik tas bingkisan yang berdiri rapi di atas meja. Saya menarik nafas sambil membujuk agar saya sadar. Bahwa donor darah adalah juga sebagai ibadah, yang tak elok dimuati keinginan mendapat hadiah. *****

Minggu, 03 Februari 2013

Balada Air Kelapa Muda


SELESAI mengerjakan tugas lalu mendapat tip, itu hampir menjadi semacam kelaziman. Walau, misalnya, di mobil petugas PLN itu ada tulisan besar ‘Layanan Tanpa Suap’, dengan memberikan sekadar uang rokok, bagi sebagian orang bukanlah pelanggaran. Saya garis bawahi; sebagian orang. Karena, tentu saja, sesuai peraturan, hal itu pun tidak dibenarkan.

Di lingkup pekerjaan saya pun berlaku hukum demikian. Tetapi yang akan saya ceritakan ini, tampaknya, adalah perkecualian. Ia lebih terkesan sebagai akibat dari hubungan pertemanan; Saya di bagian building maintenance, sementara teman saya itu di departemen food and baverage. Suatu bagian yang tidak pernah kering dari makanan dan minuman.

Singkat cerita, setelah membetulkan pintu menuju kitchen yang bermasalah, saya bersama seorang teman, tidak boleh pergi dulu. Mochdar, tetapi lebih kondang dipanggil Modar, menahan kami berdua agar mau menunggu minuman segar yang akan ditampilkan beberapa menit  lagi. Di kitchen sebelah utara, di dekat kitchen zink, ia terlihat sedang membelah kelapa muda. Prakiraan saya, ia adalah teman yang baik hatinya. Tahu betul kalau siang-siang begitu minum es kelapa muda betapa nikmatnya.

“Bikinlah sendiri,” katanya sambil memindah kelapa muda yang sudah terbelah. Ia hanya membawa sebagian air kelapanya, sebagiannya lagi ia tinggal di dalam wadah.

Kami mendekati baskom satainless berisi air kelapa muda. Okelah, kami harus tahu diri. Daging kelapa muda itu untuk dijual ke pelanggan. Dengan hanya disisai airnya saja tidaklah perlu merasa iri. Lebih-lebih kemudian Modar datang lagi membawa gula pasir dan es batu. Sekalipun tak terlalu lengkap, paduan air kelapa muda, gula pasir dan es, membuat minuman itu tentu sudah mujarab untuk mengusir roh haus. (Bukan roh halus. Hehe...)

Gula pasir dituang, es batu dibenamkan. Setelahnya, kami aduk cairan yang masih telihat satu-dua potongan kecil serabut kelapa mudanya. Setelah dirasa semua bahan sudah tercamur sempurna, kami menuangkan ke gelas. Subelum minum, seperti biasa, secara otomatis –sekalipun tanpa remote control-- lidah sudah bersiap merasakan sensasinya.

Dan, oh kok aneh. Kalau minuman itu terasa manis dan dingin sudah demikianlah niscayanya. Namanya juga dikasih gula dan es batu. Tetapi, sebagai air kepala muda, sungguh tidak ditemukan jejaknya. Untuk meyakinkan, kami ulangi lagi ritual meminumnya. Sama. Tiada rasa khas air kelapa.

Kami saling pandang. Dan Modar memandangi kami dengan hiasan tawa lebar di bibirnya. “Kenapa? Aneh ya?” tanyanya.

“Ini air kelapa, kan?” saya mengangkat gelas ke arahnya.

“Tidak salah,” mantap Modar menjawab. “Tetapi lebih tepatnya lagi; itu air dari kran bekas membersihkan kelapa muda...” *****

Senin, 11 Juni 2012

Kopi, Korden dan Celana Dalam

BILA lantai keramik di coridor, kitchen atau laundry area yang tiba-tiba terangkat dan menggunung terlepas dari semennya, hal pertama yang saya duga adalah; dulu ketika akan memasangnya para tukang (yang bersistem borongan) tidak merendam dulu keramiknya. Itu pertama. Kedua, usia pasangan keramik lantai itu yang memang sudah belasan tahun.

Hal itu pulalah yang turut saya tanyakan ketika suatu kali saya diminta mendampingi seorang teman menginterview para pelamar kerja untuk posisi sebagai building maintenance di sebuah mall baru di kota ini. Tetapi, karena syarat yang diutamakan adalah yang fresh graduate, para pelamar itu sering tidak ngeh dengan pertanyaan saya. Kecuali seorang. Dari data yang ada, ia termasuk dalam fresh graduate. Dan dari penampilannya, kulit yang seperti punya saya, dari telapak tangan yang lumayan kasar saya rasa ketika berjabat tangan, sungguh ia saya curigai sebagai yang sebangsa setukang serabutan seperti saya.

Benarlah adanya. Karena dia expert, semua pertanyaan saya tentang dinding, paving stone, kaca, polycarbonate, sealant, cat dan semua bidang sipil di mall itu ia lahap habis. Termasuk tentang keramik yang menggelembung tanpa sebab pasti. Bahkan, untuk keramik ini saya malah mendapat ilmu tambahan. Begini katanya, “Untuk melepas keramik yang sudah terpasang di lantai dengan tidak pecah pun saya bisa.”

Tentu saja saya penasaran. “Bagaimana caranya?” tanya saya.

Dengan PD dia menjelaskan urutan yang harus dilakukan. Pertama-tama, meng-gerinda bagian nat keramik. Itu diperlukan agar cairan kopi bisa masuk ke bawah pasangan keramik. “Kopi?” saya heran. “Sembarang kopi atau hanya merek tertentu?!”

Dengan mantap ia mejawab semua bubuk kopi bisa dipakai. Tetapi, sampai sekarang, tiga tahun setelah interview itu, belum pernah saya terapkan ilmunya. Saya, dalam bekerja, memakai cara yang wajar-wajar saja. Terlebih, para costumer yang harus saya layani adalah para orang kaya. Kalaulah mereka akan mengganti lantai rumahnya, tak akan peduli sekalipun lantai lamanya kami pecahi semua. Karena barang itu tidak ia perlukan lagi.

Yang justru menjadi soal, agaknya, tabiat orang kaya yang kadang (tidak semua, sih) menyesakkan dada. Misalnya, suatu ketika saya harus mengganti roda korden. Sebagai orang kaya, jangan ditanya bagaimana keadaan rumahnya. Semua serba luks, pokoknya. Di lantai kamar tidurnya, terhampar kulit beruang yang bulu putihnya begitu lebat dan halus. Kordennya pun tebal dan tentu saja mahal. Karena tebal itu pula rodanya cepat rusak karena keberatan menanggung beban.

Mengganti roda korden sebetulnya adalah pekerjaan ringan. Tetapi, dengan kesadaran bahwa barang tebal nan bagus itu harganya mahal, menjadi beratlah beban mental saya.

Korden dan vitrage-nya saya turunkan. Baru kemudian saya lepas ruda lama untuk diganti roda baru sesuai lubang pengaitnya. Tetapi, demi agar nanti kalau ada roda yang rusak tidak perlu menurunkan keseluruhan bagian korden yang berat itu, saya kasihlah empat roda tambahan sebagai cadangan. Ketika terpasang, dan mendapati ada empat roda serep itu, si empunya rumah bertanya, “Untuk apa dikasih lebih?”

“Begini, pak Agar nanti kalau ada satu atau dua roda yang rusak, kita tidak perlu membongkar keselurahannya.” jawab saya.

“Sekarang aku mau tanya,” si tuan ini memang nada bicaranya sering 'sengak'. “Kamu pakai celana dalam berapa?”

“Satu, Pak” jawab saya, jujur.

Kok kamu tidak pakai empat,” semburnya. “Agar kalau yang satu kotor tidak perlu ganti baru.”

Sungguh, saya tidak tahu darimana ia dapat logika ngawur yang dipakainya itu. Tetapi, sebagai 'pelayan', saya turuti saja maunya. Saya lepas lagi empat biji roda serep tadi. Dan beralih ke kamar sebelah masih dengan pekerjaan yang sama. Dan sesuai kemauannya, sekalipun rodanya masih sisa, saya pasang saja sesuai gantungan yang ada.

Setelah mengemasi peralatan kerja, saya serahkan sisa roda kepada si tuan.

“Sisa berapa?” tanyanya.

“Delapan, pak.”

“Kok gak dipasang sekalian, agar nanti kalau ada yang rusak tidak perlu membongkar total dan tinggal mencantolkan saja,” enteng sekali dia berkata.

Tentu saja hati saya dongkol mendengarnya. Tapi saya bisa apa, coba? Dalam hati, saya dengan gemas bertanya,” Bapak pakai celana dalam berapa?” *****

Senin, 28 Mei 2012

Pentraktir yang Ngacir

INI akan terdengar (terbaca) tidak masuk akal. Atau, meminjam istilahnya almarhum Asmuni, sebuah hil yang mustahal. Bayangkan, coba. Saya yang sudah belasan tahun bermukim di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, yang saban hari melewati beberapa restoran cepat saji (mulai McD, KFC, Hokben dan sebangsanya), tetapi belum pernah sekalipun andok disitu.

Tetapi sebuah hil (maaf, hal maksudnya) tentu bisa dicarikan alasannya kenapa bisa begitu. Dan untuk tentang yang saya bilang diatas, setidaknya ada dua macam alasan. Sebagaimana terbentuknya sebuah alasan, untuk kasus apapun, tentu bisa dibikin agar nyambung, senyambung-nyambungnya. Untuk yang macam begini, saya yang rakyat jelata, tentu bisa meniru 'kreatifitas' para pesohor negeri yang piawai betul dalam memproduksi alasan. Tetapi biarlah saja mereka. Saya hanya akan menyebut alasan kenapa saya tidak pernah 'marung' di McD, misalnya. Begini; Pertama alasan medis, kedua alasan nasionalis.

Agar terkesan berbau patriotisme, tentu saya bilang yang alasan nasionalis dulu. Untuk apa kita memakan yang produk asing (setidaknya brand asing) bila sebenarnya lidah kita lebih akrab dengan nasi pecel, lontong balap atau rawon, misalnya. Atau bukankah rendang itu sudah masuk sebagai salah satu kuliner paling mak-nyus sedunia? Atau, kadang-kadang secara tidak sadar ada yang orang yang berstandar ganda. Misalnya, pernah ia ikut demo anti Amerika. Ikut aksi turun ke jalan. Dengan suara lantang mencemooh tabiat negara adi kuasa itu. Sungguh demonstrans yang demonstratif. Dengan tampilan keren, bercelana Levi's, yang si saat jeda orasi, karena kehausan lalu mengguyur tenggorokannya degan Coca Cola, setelahnya menyulut Marlboro. Lalu saat pulang, karena lapar kemudian mampir andok di McD.

Alasan kedua; medis. Konon, segala makanan cepat saji itu kurang baik bagi kesehatan. Ia hanya akan memperlancar laju bagi yang sedang meretas jalan menuju obesitas. Dan, kegemukan itu mempunyai serombongan efek tak menyehatkan lainnya. Nah.

Tetapi jangan percaya begitu saja alasan yang saya buat itu. Karena, jujur ini, saya sadar diri sekaligus sadar kantong. Maka, ketika istri saya getun setelah andok di depot Bayuangga Probolinggo karena harus membayar lima puluh ribu rupiah untuk tiga piring nasi yang kami makan, sungguh saya bisa memakluminya. Uang segitu bagi kami, tentu bisa untuk makan sekeluarga dua hari penuh dengan sayur lodeh tewel lengkap dengan iwak peyek.

Kenapa saya menulis ini tentu ada sebabnya. Begini, kemarin malam, seorang teman yang telah berbaik hati memperjuangkan tulisan-tulisan saya yang remeh temeh macam ini (yang dimuat di media tempatnya bekerja) untuk juga dihargai secara rupiah, bilang dalam pesan singkatnya, “Kapan-kapan kalau ada waktu ketemu, (sampeyan) kusuruh traktir. Makanku buanyak...”

Selain 'ancaman', itu tentu saja bisa saya maknai kalimat itu sebagai guyonan semata. Tetapi, kalau itu diniati secara betulan bagaimana? Kemana saya harus mentraktir? Andok nasi pecel di warung tetangga, atau saya traktir mi pangsit di tempat jualannya adik ipar saya? Daripada saya puyeng mempersiapkan itu semua, lebih baik saya biarkan (kalau memang terjadi kopi darat itu) berlaku hukum apa adanya. Kalau terjadi, terjadilah. Karena, bukan tidak mungkin, karena nelangsa melihat keadaan saya, justru saya nanti yang malah ditraktirnya. Hehe...

Untuk hal ditraktir saya punya pengalaman tak terlupakan. Dulu, ketika masih bujang, banyak sekali pemuda seusia saya yang merantau ke Bali. Di pulau Dewata itu kami-kami meniti karir sebagai kuli. Karena jarak Jember-Bali yang tak seberapa jauh, dua Minggu atau sebulan sekali kami pulang kampung. Kalau sudah begitu, biasaya, teman-teman di kampung suka mengajak andok di warung nasi pecel. Padahal saya alami sendiri, tidak tentu setiap pulang dari Bali itu ada uang cukup di dompet. Yang sering terjadi, justru ketika hendak balik ke Bali lagi itu, kami harus menjual barang dua-tiga ekor ayam untuk sangu naik bus.

Suatu hari, ada seorang ada teman yang baru pulang dari Bali. Saya ingat, namanya Munajat. Sungguh, ia datang di saat tepat. Tepat ada acara bersih desa di kampung yang tentu ada aneka hiburan. Mulai jaranan, sampai pagelaran wayang kulit semalan suntuk. Dan, setiap ada keramainan, tentu saja ada banyak sekali penjual makanan. Maka, kami todonglah si teman yang baru pulang dari Bali itu untuk mentraktir kami.

Saya bersama dua teman lain berhasil menghasutnya untuk mengajak kami makan di sebuah kedai rujak lontong. Jadinya kami berempat duduk di bangku panjang sambil dengan lahap menyantap rujak. Tetapi, si pentraktir, saya lihat cepat sekali makannya. Edan, rujak sepedas itu ia santap dengan lahap. Dan, tentu saja, ia selesai duluan. Selesai jauh meninggalkan kami bertiga yang makan sambil mendesis-desis kepedesan.

“Eh, teruskan saja. Aku tak beli rokok dulu,” kata Munajat sambil berdiri meninggalkan kami.

Itu tentu bisa diterima akal. Karena, mengisap rokok setelah makan pedas tentulah sangat nikmat. Dan, memang ibu penjual rujak itu tidak merangkap jabatan sebagai penjual rokok.

Kami terus saja makan. Tetapi ketika sekian lama si Munajat tidak juga muncul batang rokoknya, lama-lama kecepatan makan kami makin lama. Karena itu kami lakukan sambil menungu kemunculan si pentraktir. Sungguh, karena hanya Munajatlah yang kami curigai sedang pegang uang. Semakin lama Munajat tidak muncul, semakin lama pula kami makannya.

Merah muka saya bukan karena kepedasan semata. Itu adalah juga campuran dari kemungkinan terburuk; pentraktir ngacir. Sementara semua dompet kami hanya berisi KTP.

Kecurigaan Munajat kabur makin kuat manakala saya lihat untuk membeli rokok sebenarnya tidak perlu beranjak jauh, karena lima meter dari penjual rujak ini sudah ada penjual rokok. Pernah memang seorang teman bercerita meninggalkan KTP kepada benjual bensin eceran ketika motornya kehabisan BBM di tengah perjalanan. Tetapi, tentu amat memalukan bila untuk empat piring rujak lontong kami harus pula meninggalkan selembar kartu identitas itu.

Disaat saya tolah tolah-toleh dalam aneka praduga itu, yang sampai-sampai rujak menjadi tidak terasa enak dilidah saya, Munajat datang dengan senyum yang sungguh sedemikian menjengkelkan. “Macak'e ae mbois, ternyata semua dompetnya kempis...” ejeknya.

Asyem tenan!*****

Selasa, 08 Mei 2012

Tak Punya Kartu, Tak Punya Malu


     SELEMBAR kartu seringkali adalah hal penting. SIM, KTP, ATM, pasport dan sebagainya. Dulu, karena KTPnya ketlisut, ketika hendak pergi jauh, bapak selalu meminta saya menuliskan nama dan alamat pada selembar kertas untuk dijadikan pegangan. Ini lebih kepada kekhawatiran, sebenarnya. Logika jalan pikiran bapak begini; kalau ada apa-apa di jalan, paling tidak di sakunya telah ada identitas yang orang bisa menentukan siapa yang harus dihubungi. Tidak lantas begitu saja dinobatkan sebagai Mr X. Dan syukurlah, tidak ada yang pernah menghubungi kami, karena bapak selalu tidak tertimpa apa-apa dalam bepergian itu..
     Kartu pula yang menjadi penentu boleh tidaknya orang menerima BLT. Dan sekarang, ketika pemerintah sedang memikirkan cara apa yang harus digunakan untuk membuat subsisi BBM tepat sasaran, saya kira, nanti pun akan berupa sebuah kartu. Namun karena oarng sudah semakin pintar, tentu saja kartunya nanti adalah smart card.
     Barusan saya membayar rekening PDAM, dan apesnya, bukti pembayaran sudah dibawa petugas penagih. Untuk sebagai bukti saya telah melunasinya, saya hanya menerima kertas kecil sebagai tanda terima. Nanti, pesan petugas loket, kalau penagih datang ke rumah saya, kartu kecil itu bisa ditukar dengan lembaran besar sebagaimana mestinya.
     Pulang dari loket PDAM di Rungkut Asri, saya lewat lapangan bola dekat masjid Al Maghfiroh. Saya lihat di sisi barat ada tenda. Di sisi selatan tenda itu berjajar tiga truk yang baknya penuh barang sembako. Ada beras, gula dan minyak goreng. Di bawah tenda itu saya lihat ada antrean yang tak seberapa panjang. Keluar dari antrean itu orang selalu memondong belanjaan. Ya beras, ya gula, ya minyak goreng.
     “Berapa, bu?” tanya saya pada perempuan setengah baya yang memondong dua plastik beras masing-masing seberat 6 kilogram.
     “Tiga puluh ribu, mas,” jawabnya.
     Hitungan matematisnya, per kilo hanya seharga lima ribu rupiah. Dibanding beras yang saya konsumsi seharga tujuh ribu tiga ratus, itu tentu saja murah. Karena, sebagaimana tertera pada sepanduk dan umbul-umbul yang berdiri di sekitar tenda itu, acara itu dinamakan pasar murah BUMN Peduli. Saya kira itu bentuk dari CSR-nya BUMN.
     Karena murah, tentu saja saya tergiur. Dan, saya intip isi dompet, ada beberapa lembar dua ribuan, selembar lima puluh ribuan plus satu lembar nominal duapuluh ribuan. Saya pikir ini cukup untuk membeli dua paket. Dan masih susuk sepuluh ribu lebih beberapa lembar dua ribuan!
     Langsung saja saya menuju tempat parkir dadakan yang dijaga seorang lelaki yang berbicara dengan logat Madura. Kepadanya menitipkan motor. Langkah selanjutnya saya langsung ikut mengantre. Karena antrean tak begitu panjang, berdiri belum lama saya sudah tepat di depan meja yang dijaga perempuan berjilbab.
     “Saya ambil beras dua paket,” kata saya sambil menyodorkan uang enam puluh ribu rupiah.
     “Kartunya, Pak?” tanya perempuan itu.
     “Kartu? Kartu apa?” saya balik bertanya.
     “Bapak sudah terima kartu untuk pengambilan sembako?”
     Pleg!  Saat itu matahari serasa hanya menyinari muka saya. Sampai merah. Sampai panas. Malu.
     Saya menelan ludah sambil melihat sekeliling. Tatapan saya membentur selembar sepanduk yang rupanya tadi luput dari pandangan. Dengan jelas di situ tertulis; Sembako Murah Untuk Orang Tidak Mampu.
     Betul, saya masih mampu membeli beras seharga tujuh ribu tigaratus perkilogram, mampu membeli telur untuk lauknya, mampu membeli kerupuk sebagai pemeriah acara makan, tetapi saat tadi itu saya termasuk golongan orang yang tidak mampu menahan diri.*****

Senin, 16 April 2012

E-KP, E... Kecele

ENTAHLAH, sering sekali saya mengalami hal yang sama sekali tidak penting. Dan kerena tidak penting, ia masuk dalam kategori yang tidak membuat genting. Minggu pagi kemarin, contohnya. Sesampainya di tempat kerja, saya melepas sepatu untuk memasang kaos kaki. Iya, karena terburu-buru, berangkatnya tadi saya masukkan kaos kaki saya ke saku. Langsung mak-wuzzz... berangkat. Dan ndilalah, kaos kaki yang terbawa cuma sebelah. Nah, kan. Bukan cerita penting, kan? Tetapi karena saya curiga yang satu jatuh di depan pintu rumah dan tentu diselamatkan oleh istri saya, yang terbawa sebelah itu pun saya masukkan lagi ke saku.

Sudah.
Sekarang yang agak penting, begini; Sabtu sore kemarin, sepulang dari arisan ibu-ibu PKK, istri saya bilang agar kami segera datang ke kantor kecamatan untuk pembuatan E-KTP.

Lho, tidak menunggu undangan dulu?” tanya saya.

“Tidak. Sekarang bisa langsung datang,” istri saya menjelaskan. “Syaratnya hanya bawa foto copy KTP dan KSK.”

Saya sudah pernah membaca hal itu, sebenarnya. Bahwa, kalau tidak salah, pihak kecamatan tidak optimis semua penduduk sudah ber-E-KTP pada akhir April. Ini disebabkan dua hal, mungkin. Ketersediaan alat yang mencukupi, juga yang tak kalah penting, peran aktif masyarakat. Sebetapa pun tercukupi alat dan SDM (yang bahkan sampai dilembur-lemburkan), kalau masyarakat tak mau datang, ya sami mawon.

Itulah mengapa, sore sepulang kerja kemarin saya langsung mampir ke kantor kecamatan. Di parkiran saya lihat sepi-sepi saja. Di pendopo kursi-kursi yang dijajar, tidak satupun ada yang menduduki.

“Pelayanan E-KTP buka, pak?” tanya saya pada tukang parkir.

“O, buka, pak. Itu, langsung saja ke ruang itu,” katanya sambil menunjuk ke arah utara.

Seorang lelaki berkaos putih ada di depan pintu. Kepadanya saya menanyakan ruang E-KTP.

“Oh, langsung masuk saja,” katanya.

Ruangan sepi. Hanya ada sepasang suami istri sedang antri.

Saya sodorkan selembar foto copy KTP dan KSK pada seorang perempuan muda. “Tutupnya sampai jam berapa, mbak?” tanya saya.

“Sampai jam sebelas, pak.” katanya sambil menyalin data saya ke sebuah buku besar.

“Wah, kalau begitu, habis ini saya langsung ajak istri saya datang kesini.”

“Kalau begitu, saya daftar sekalian istri bapak. Nanti tingal diproses,” sahutnya.

Setelah dari ruang pendaftaran, saya langsung ke ruang sebelah yang hanya disekat setengah badan. Cepat sekali pelayanannya. Saya lihat ada tiga meja dengan tiga perangkat pendukungnya. Meja terkiri digawangi seorang perempuan setengah baya berjilbab warna gelab. Meja tengah kosong. Meja terkanan dipegang seorang lelaki berkacamata dengan tubuh agak gemuk. Kesitulah saya menuju.

Setelah saya sodorkan foto copy yang saya bawa, saya duduk di depannya. Mata saya melihat alat perekam sidik jari di meja. Kemudian mencari, ingin tahu bentuknya sih, alat yang kata teman-teman saya yang sudah ber-E-KTP sebagai perekam kornea mata. Tetapi,

“Bapak duduk didepan sana dulu. Di depan kain yang warna biru. Difoto dulu, ” bapak itu berkata.

Ketempat itu saya menuju. Lazim sudah, orang dengan tahun kelahiran berakhir angka genap, selalu warna biru sebagai latar belakang fotonya. Untuk foto yang model begini saya sudah pernah. Dan semua sering mengecewakan saya. Di foto KTP atau SIM, misalnya. Karena saya fotonya siang hari dan baru pergi dari suatu tempat, saya terfoto dalam keadaan muka yang kumus-kumus, nggilap. Belum lagi kancing baju yang terlalu mbledeh kebawah. Pokoknya jan tidak mbois blas.

Makanya untuk yang E-KTP ini saya ingin tampil seganteng mungkin. Tetapi saya lihat ke sekeliling, saya tidak menemukan kaca untuk bercermin demi merapikan penampilan. Saya jadi kurang pede. Saya khawatir muka saya kurang keren. Lebih-lebih saya mampir kesitu setelah dari kerja. Bukan tidak mungkin kan muka saya masih dalam kondisi kumus-kumus. Saya bermaksud hendak mengusap keringat diwajah pakai sapu tangan. Tetapi, saya ingat, jarang sekali menaruh dan membawa barang itu di saku. Namun begitu, saya rogoh juga si saku, dan malah mendapati kaos kaki yang terbawa satu tadi. Tentu tak mungkinlah saya mengelap wajah saya menggunakan benda yang sudah lebih seminggu tak dicuci itu.

Saya pasrah. Tetapi saya tentu berusaha tampil semaksimal mungkin. Saya jilat-jilat bibir sendiri. Agar kalau difoto nanti hasilnya terlihat sensual. Dan, rencananya ini, saya akan tersenyum dengan senyum termanis sepanjang hidup saya ketika bapak agak gendut itu mengarahkan kamera ke muka saya dan lalu bilang, 'siap; satu, dua, ti....Jepret!'

Alhamdulillah, saya lihat si bapak petugas tadi masih asyik memasukkan data saya ke komputer. Itu terjadi untuk beberapa lama. Karenanya, saya punya waktu untuk menyiapkan diri lebih matang demi foto yang paling berkesan. Tetapi,

“Bapak baru pindah ke Surabaya, ya?” bapak petugas itu bertanya.

“Iya, pak. Saya sekeluarga baru dua bulan menjadi warga Surabaya,” jawab saya.

“Makanya data bapak belum ada. Karena sementara ini sistem kami belum online. Jadi bapak sekeluarga, foto E-KTP-nya sebulan lagi. Sekitar pertengahan Mei...”

Ah, tiwas, pak. Tiwas klamut-klamut bibir sendiri, tiwas menyiapkan senyum termanis. Njekethek, nggak jadi....

Jumat, 13 April 2012

Gara-gara Seragam


DARI label yang dijahit pada leher bagian dalam atau pada pinggang bagian dalam, saya tahu baju seragam saya ini dikerjakan oleh Toyibah Taylor. Tetapi saya tidak tahu siapa gerangan yang merancang seragam ini sedemikian rupa. Warna cokelat tua laksana seragam Brimob, lengkap dengan model saku di paha kanan-kiri yang lumayan longgar. Pokoknya jan persis punya polisi. Hanya baju atasan yang tidak cokelat muda. Ia adalah sewarna dengan celana. Tetapi dengan dijaketi, orang sering saja keliru kira. Paling apes, disangkanya saya kerja sebagai security!

Suatu hari saya pulang dari tugas luar di daerah Pasuruan. Enam bulan, seingat saya, saban hari-pergi-pulang naik bus. Sore itu, seperti biasa, saya mencegat bus disekitar bundaran Apollo. Beberapa saat kemudian bus Tentrem datang. Saya naik. Tetapi hati saya belum seratus persen tentram. Maklumlah, saat itu jalan raya Porong masih sering luar biasa macetnya. Bahkan pernah mulai depan warung Mojorejo yang ke arah Surabaya kendaraan menyemut dengan laju seperti siput. Atau tak jarang malah mandeg-jegreg. Kalau sudah begitu, alternatifnya, sampai pertigaan Kejapanan belok kiri via Mojosari. Risikonya perjalanan jadi semakin panjang. Dan sampai rumah menjadi semakin malam.

Alhamdulillah, saat itu bus lancar-lancar saja. Paling tidak, tak terlampau macet. Seseorang yang mencegat bus di setelah pertigaan Kejapanan dengan sopan matanya seolah mengatakan permisi untuk duduk disebelah saya. Senyum saya membalas sapa matanya. Senyum itu, sampeyan tahu, saya maksudkan sebagai 'silakan'.

“Turun Pusdik, pak?” tanya lelaki itu setelah memperhatikan seragam yang saya kenakan. Pasti, dengan jaket hitam begitu, plus sepatu safety yang saya kenakan, ia menyangka saya polisi.

“Tidak,” jawab saya. “saya turun di Surabaya.”

“O, dinas di Polda?”

Saya tertawa. ” Saya bukan polisi.”

Matanya kembali berkata-kata. Memandangi seragam saya entah untuk keberapa kalinya. Juga tas hitam kecil yang saya bawa. Itu, saya kasih tahu sampeyan, isinya adalah 'tepak' wadah nasi bekal saya. Itu lebih kepada sisi ekonomi alasannya. Karena, dengan uang makam makan yang sebesar enam ribu, istri saya dengan cerdik membekali saya nasi dari rumah. Uang makannya, yang enam ribu itu, bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Sebagai uang jajan untuk anak, misalnya. Tetapi saya lihat mata lelaki disebelah saya ini keliru menebak isi tas hitam saya. Bisa-bisa disangkanya ada sepucuk pistol didalamnya.

KALI lain saya mendapat undangan ke rumah teman untuk suatu keperluan. Dari tempat kerja, saya berangkat bersama seorang teman. Seperti janjian, kami sama-sama mengenakan jaket hitam. Tujuannya ke kampung Kedinding di daerah Kenjeran sana. Jujur, saya belum pernah kesitu. Tetapi teman saya, si pengundang itu, memberi saya ancar-ancar; 'pokoknya sebelum kantor Samsat ada gang kecil setelah makam. Masuk seratus meter dari situ dan tanya nama Arief. Pasti orang sudah tahu', pesannya.

Hari sudah petang ketika kami berdua tiba di TKP. Beriringan menjalankan motor pelan-pelan saja. Mencari-cari rumah Arief. Seperti pesan sebelumnya, seratus meter dari kami masuk tadi, kami bertujuan hendak bertanya kepada seseorang. Teman saya, pak Tris namanya, menghentikan motor dan mendekati seorang lelaki yang sedari tadi mengawasi kami dengan tatapan mata yang aneh. Ia menjadi lebih aneh lagi ketika pak Tris membuka helm --seakan memamerkan rambut cepaknya-- dan mengajaknya bersalaman. “Maaf, numpang tanya. Rumah mas Arief yang pinter komputer itu dimana ya?”

Aneh. Sungguh aneh. Hanya ditanya begitu lelaki itu gugup luar biasa. “Itu, ada toko di depan itu. Rumahnya dibelakangnya.”

Setelah berterima kasih, kami melanjutkan perjalanan. Dan ketika kami menoleh lagi ke belakang, lelaki itu sudah tidak terlihat lagi. Kemana ia muspra?

Informasi ini saya dapatkan belakangan. Si Arief yang membocorkan. Bahwa setelah itu, si lelaki itu berlari mengabarkan kepada orang-orang yang sedang asyik menggelar judi balap merpati tak jauh dari rumah Arief. Sambil terengah-engah begini katanya, "Bubar, bubar. Ada polisi datang. Dua orang..." *****

Senin, 09 April 2012

Cebok yang Menohok

ZAMAN sekarang banyak sekali hal yang bersifat instan. Tidak melulu terjadi pada mi. Tulisan ini, misalnya. Setelah saya tik beberapa menit, saya edit sekadarnya, dengan sekali klik ia sudah nongol di blog ini. Cepat sekali. Dan kalau lagi bernasib baik, tulisan yang lebih sebagai 'dlemingan' ini bisa dibaca orang, termasuk sampeyan sekarang ini.

Kalau dalam sebuah tayangan infotainment yang saya dengar kemarin (benar-benar saya dengar, bukan saya tonton. Karena saya lagi didapur ketika istri saya nonton tivi dengan suara yang agak kencang), ki Mantep Sudharsono bilang, “Tiada hari tanpa wayang.” saya pun boleh juga berkata, “Tiada hari tanpa tulisan.”

Menulis apa saja. Yang penting menulis. Padahal, “Tukang batu,” jawab saya ketika seorang teman yang berkenalan lewat jejaring sosial bertanya tentang profesi saya. Ia perlu bertanya begitu demi melengkapi keterangan dibawah nama saya untuk sebuah artikel tulisan saya yang akan dimuat edisi hari Minggu di koran tempatnya bekerja.

Saya tertawa. Sementara ia tetap tak percaya. Lebih-lebih ketika saya bilang bahwa istri saya adalah seorang buruh pabrik. “Jangan merendah begitu...” ujarnya.

Merendah bagaimana. Lha memang kenyataannya begitu kok. Walau sebenarnya bisa pula nama profesi saya itu dikerenkan sedikit; building maintenance. Tetapi emak saya tentu sukar sekali mengerti itu. Lain kalau dengan sebagai tukang batu, pasti beliau langsung tahu.

Di tempat kerja ini saya memang mendapat seragam komplit beserta kaosnya. Tetapi saya lebih sering memakai kaos saja. Alasannya, karena dengan berkaos begitu terasa lebih nyaman. Dengan pekerjaan yang selalu berkeringat dan kotor, saya merasa baju membikin saya makin gerah. Bayangkan, melobangi dinding atau ceiling untuk menanam pipa AC tambahan atau menarik kabel antena TV berlangganan, tentulah lebih enak dengan berkaos saja.

Untunglah sekarang serba instan. Termasuk dalam pekerjaan sebagai tukang batu. Untuk menutup kembali lubang di dinding atau ceiling itu, saya tidak memerlukan semen. Itu kuno. Dan, sampeyan tahu, cara kuno selalu lebih makan waktu. Sekarang ada yang namanya UB 888, A Plus dan sejenisnya. Semacam bubuk instan untuk menambal lubang di dinding atau plafon berbahan gypsum. Warnanya putih. Jadi tidak perlu lagi diplamir sebelum dicat. Bahkan, dengan keahlian tertentu, setelah didempul pakai si UB ini, tidak perlu diamplas dulu. Tunggu keset (tidak usah sampai kering), bisa langsung diglundungi rol, dicat. Beres.

Karena bahan ini agak cepat mengeras, mengaduknya pun sedikit-sedikit saja. Tergantung kemampuan tukang dalam mengaplikasikannya. Biasanya saya dan teman-teman mengaduknya pada wadah semacam nampan. Bubuk UB ditaruh sesuai kebutuhan, kemudian dikasih air berwadah botol bekas air kemasan dengan tutup yang telah dilubangi sebesar paku ukuran sedang. Dengan begitu, kita lebih gampang menuang air untuk jenis kekentalan adonan yang diinginkan.

Botol bekas air mineral itu banyak sekali gunanya. Termasuk dengan model sama dipakai sebagai pembasah mata mesin gerenda ketika memotong keramik, marmer atau granit. Sekarang, jarang sekali ada tukang memakai air dari selang kecil untuk keperluan sama. Tukang cat duco pun begitu. Ia sering memasukkan thinner ke botol untuk sebagai persiapan membersihkan lantai yang secara tidak sengaja kena cat minyak.

Suatu hari, saya masuk ke unit yang sedang dalam tahap pengerjaan. Alat-alat dan bahan kerja berserakan dilantai. Saat itu saya sedang kebelet pipis. Masuk ke toilet, saya putar kran, ternyata air ke unit itu belum dinyalakan. Padahal untuk mengambil air dulu ke janitor dibelakang lift, saya sudah tidak tahan. Mata saya kemudian jelalatan mencari botol air untuk mengaduk UB 888. Nah itu dia. Di sudut ruang ada botol dengan isi setengah badan. Maka, saya bawa botol itu ke toilet untuk melampiaskan hajat.

Selesai pipis, lega sekali rasanya. Sekarang tinggal cebok, membasuh 'peralatan' pipis saya. Langsung saja saya arahkan botol dengan lubang ditutupnya. Dan, 'kepala peralatan' pipis saya terasa dingin diguyur cairan itu. Dingin yang aneh. Yang kemudian terasa kranyas-kranyas. Kemudian statusnya naik menjadi panas. Oh?

Saya curigai isi botol ini. Secepatnya saya cium ujungnya. Sial. Dari baunya saya hapal, isinya adalah thinner A spesial!****




Keramas yang Nahas


UNTUK perkara sikat gigi, tak tahu kenapa, boros sekali saya. Saya pakai belum begitu lama (dibanding orang kebanyakan), sikat saya sudah pada lungset bulu-bulunya. Sudah seperti rambut amburadul yang tidak pernah disisir.

Untuk perkara rambut, saya memang tidak pernah menyisir. Tetapi dijamin tidak amburadul kondisinya. Lha wong memang sekarang saya tidak pernah memelihara rambut panjang. Dengan rambut pendek, sehabis keramas perkara sudah langsung tuntas. Tidak pakai minyak rambut? Tidak. Saya tidak suka berminyak rambut. Lebih-lebih yang ada aroma wanginya. Entahlah, saya jadi pusing bila memakainya. Itu pertama. Alasan kedua; karena kulit kepala saya termasuk jenis yang gampang berkeringat. Inilah masalahnya. Saya menjadi agak boros di shampoo.

Setiap mandi selalu saja saya keramas, setiap pagi dan sore hari.
Keramas pagi karena, tidur pun kepala saya berkeringat. Sedang keramas sore sepulang kerja, apalagi. Rambut saya sudah kotor sekali. Maklumnya, sebagai pekerja bangunan, dengan kondisi proyek yang begitu, yang kerontokan sedikit pasir atau debu semen adalah sebuah keniscayaan. Akibatnya, rambut saya terasa kumal. Memang ditempat kerja disediakan topi atau helm proyek. Tetapi, masalahnya, kulit kepala saya nyaris seperti sumber keringat. Baru sebentar saja bekerja memakai penutup kepala begitu, sudah luar biasa gerah rasanya.

Dalam masalah rambut dan kulit kepala itu, tetapi masih ada untungnya. Untungnya rambut saya gampang sekali perawatannya. Untungnya dengan shampoo merek apa pun rambut saya oke-oke saja. Mulai shampoo cap Jempol sampai Dimension 2 in 1 (ada yang tahu gak shampoo merek ini masih ada atau sudah lama menjadi mendiang?), dari shampoo bubuk sampai shampoo cair. Lebih ekstrem dari itu, pernah juga. Mulai dari bubuk detergent sampai sabun colek atau sabun mandi pun sempat sudah saya pakai keramas. Untungnya, sekali lagi, rambut saya tidak apa-apa. Masih segar bugar bin sehat wal afiat. Tetapi kalau belakangan ia sudah tampak semakin jarang, mungkin karena  saya terlalu banyak memikirkan keadaan negara. Hehehe...

Suatu sore di tahun 1997, sepulang kerja saya langsung menuju tempat kost adik saya yang baru seminmggu melahirkan. TKPnya di Rungkut Kidul gang II/46. Tempat kost itu, lazimnya kost kelas buruh pabrik di Rungkut, tidaklah luas. Hanya berukuran sekira 3 kali 3. (Tentu saja dalam meter. Karena kalau dalam centi kan ukuran foto untuk KTP.) Praktis kamar hanya dipaksa muat untuk segalanya. Kecuali peralatan memasak dan sebangsanya. Termasuk sebuah genuk (gentong tandon air dari plastik) yang ditaruh diluar kamar. Biasanya letaknya bersebelahan dengan gerobok tempat kompor dan perangkat memasak lainnya.
Setelah berbasa-basi sejenak, saya bilang mau numpang mandi. Kata orang tua, sepulang kerja jangan menyentuh bayi kalau belum mandi. Bisa-bisa si kecil jadi sawanen.

Kamar mandi memang terpisah dari kamar tidur. Ia terletak di sudut agak keutara, dengan penerangan yang kurang. Untuk mandi, saya membawa seember air yang saya ambil dari genuk yang bentuknya bahenol itu. (Mandi dengan sember kecil air? Cukupkah? Ya dicukup-cukupkan saja. Namanya juga kost. Yang untuk mengisi genuk saja harus membeli air dengan tarif per jerigen kok.)  Dalam menuju kamar mandi itu saya juga menyahut peralatan mandi milik adik perempuan saya yang ditaruh pada sebuah gayung. Saya lihat lengkap isinya. Ada sabun, sikat gigi juga shampoo.

Sebagaimana dalam setiap mandi, saya langsung mak-byurrr...keramas sekalian. Tetapi shampoo adik saya ini rasanya beda di rambut saya. Berbusa sih berbusa. Tetapi pada rambut, kesetnya terasa lain. Ia, saya ingat, seperti ketika saya habis keramas pakai sabun mandi. Saya ulangi sekali lagi, dengan menuang cairan dari botol mungil itu, pun hasilnya tetap sama.Tidak licin seperti sehabis pakai  Pantene, misalnya. Ataukah ini karena begitu banyak debu atau pasir yang menempel di rambut saya.

Sehabis mandi, sambil menggosok-gosokkan handuk ke rambut, saya kemudian meletakkan ember dan gayung peralatan mandi didepan kamar kost. “Segerrr...” ujar saya.
Kok juga keramas,memangnya bawa shampoo?” adik saya bertanya.
“Tidak. Kan sudah ada di gayung, yang botol kecil itu,” sahut saya.
Aneh. Adik saya malah tertawa mendengar jawaban itu.
“Memangnya kenapa?” saya penasaran.
“Itu sabun sirih...”*****


Kamis, 08 Maret 2012

Bekerja Sambil Kerja Sambilan

UNTUK menambah penghasilan, banyak sekali orang yang melakukan pekerjaan sambilan diluar kerja utama. Bentuknya aneka macam. Dari yang dirumah menerima service televisi sampai menjadi agen asuransi. Dari yang menerima jasa pembasmian rayap sampai sebagai tukang cat atau tukang pijat urat.

Tidak seperti bidang lain, teman saya yang satu ini (sebut saja namanya Robby) rupanya passion-nya lebih ke berdagang. Kalau malam ia tampil sebagai PKL. Dagangannya mulai dari tas, sandal sampai sepatu. Dari tas pinggang sampai tas punggung. Barang dagangan itu ia kulak dari orang lain dengan laba sekian rupiah setiap item yang laku. Hasilnya?

“Lumayan, buat tambah uang belanja,” katanya.

Sebagai barang kelas kaki lima, harganya pun tentu bersahabat. Dari tas kecil yang senilai limabelas ribu sampai termahal seharga tiga puluh ribu. Untuk sepatu dan sandal pun masih semurah itu.

Pak Paiman, teman saya yang lain, secara naluri juga memiliki jiwa dagang yang sama. Pernah saya lihat ia membawa meja belajar bentuk lipat untuk anak-anak yang ia ambil dari seorang pengrajin di dekat tempat kostnya, untuk dijual dikampungnya di Prigen sana. Ia melakukan itu setiap mudik mingguannya. Jawaban ketika saya tanya berapa keuntungannya pun, nyaris persis jawaban Robby. “Lumayanlah, untuk ganti beli bensin,” ujarnya.

Naluri bisnis memang tiada batas. Seperti barang dagangan yang tiada batas. Apapun, dijaman sekarang, bisa dijadikan uang. Tergantung seberapa jeli mengintip peluang. Lihatlah, disebuah sekolah dasar, diluar pagar ada seorang menjual semacam biji buah yang keras. Dan ternyata, barang sepele itu laku keras. Beberapa anak SD tetangga saya sepulang sekolah asyik memainkan biji keras itu. Diadu, siapa yang pecah duluan, dialah yang kalah.

“Main apa itu?” tanya saya.

“Main si Bolang,” jawab anak-anak itu sambil terus asyik dolanan. Rupanya mereka melakukan permainan itu karena meniru salah satu episode yang pernah mereka lihat pada program Si Bolang  yang ditayangkan Trans7

Begitulah anak-anak. Apapun, kalau mengasyikkan, bisa dijadikan mainan. Bagi pedagang, itu adalah peluang. Robby pun menangkapnya dengan jeli. Ia tidak jualan biji keras itu. Ya, ia lebih kreatif. Bikin topeng ala Zoro. Membuat sendiri dari bahan sejenis lembaran karet hitam tipis. Dengan sentuhan garis-garis dibagian pinggir sebagai pemanis. Entah ia dapat ide darimana. Dan untuk menjualnya ia berpartner dengan Pak Paiman. Dan hari itu 80 buah topeng telah berpindah tangan ke Pak Paiman untuk diedarkan di Prigen. Harganya dari Robby 500 rupiah perbuah, dan terserah Pak Paiman untuk dijual berapa di Prigen.

“Bagaimana, laku topengnya?” tanya saya pagi tadi. Saya baru bertemu tadi karena tiga hari kemarin ia libur.

“Laris, tapi baru laku 21 buah sudah dilarang jualan,” kata Pak Paiman yang nekat menjual per buah seribu rupiah.

“Lho, kenapa?”

“Istriku kan menjualnya di halaman sekolah TK,” Pak Paiman bercerita. “ dan anak-anak TK itu tetap mengenakan topeng ketika masuk kelas. Duduk manis sebagai sekelompok Zoro kecil. Dan tak mau melepas sekalipun dilarang gurunya...”

"Harusnya, gurunya suruh pakai topeng Zoro sekalian dong...," seloroh saya. ******