DARI label yang dijahit pada leher
bagian dalam atau pada pinggang bagian dalam, saya tahu baju seragam
saya ini dikerjakan oleh Toyibah Taylor. Tetapi saya tidak tahu
siapa gerangan yang merancang seragam ini sedemikian rupa. Warna
cokelat tua laksana seragam Brimob, lengkap dengan model saku di paha
kanan-kiri yang lumayan longgar. Pokoknya jan persis punya polisi.
Hanya baju atasan yang tidak cokelat muda. Ia adalah sewarna dengan
celana. Tetapi dengan dijaketi, orang sering saja keliru kira. Paling
apes, disangkanya saya kerja sebagai security!
Suatu hari saya pulang dari tugas luar
di daerah Pasuruan. Enam bulan, seingat saya, saban hari-pergi-pulang
naik bus. Sore itu, seperti biasa, saya mencegat bus disekitar bundaran Apollo. Beberapa saat kemudian bus Tentrem datang. Saya naik. Tetapi
hati saya belum seratus persen tentram. Maklumlah, saat itu jalan raya
Porong masih sering luar biasa macetnya. Bahkan pernah mulai depan warung
Mojorejo yang ke arah Surabaya kendaraan menyemut dengan laju seperti siput. Atau tak
jarang malah mandeg-jegreg. Kalau sudah begitu, alternatifnya,
sampai pertigaan Kejapanan belok kiri via Mojosari. Risikonya
perjalanan jadi semakin panjang. Dan sampai rumah menjadi semakin
malam.
Alhamdulillah, saat itu bus lancar-lancar saja.
Paling tidak, tak terlampau macet. Seseorang yang mencegat bus di
setelah pertigaan Kejapanan dengan sopan matanya seolah mengatakan
permisi untuk duduk disebelah saya. Senyum saya membalas sapa
matanya. Senyum itu, sampeyan tahu, saya maksudkan sebagai 'silakan'.
“Turun Pusdik, pak?” tanya lelaki
itu setelah memperhatikan seragam yang saya kenakan. Pasti, dengan
jaket hitam begitu, plus sepatu safety yang saya kenakan, ia
menyangka saya polisi.
“Tidak,” jawab saya. “saya turun
di Surabaya.”
“O, dinas di Polda?”
Saya tertawa. ” Saya bukan polisi.”
Matanya kembali berkata-kata.
Memandangi seragam saya entah untuk keberapa kalinya. Juga tas hitam
kecil yang saya bawa. Itu, saya kasih tahu sampeyan, isinya adalah
'tepak' wadah nasi bekal saya. Itu lebih kepada sisi ekonomi alasannya.
Karena, dengan uang makam makan yang sebesar enam ribu, istri saya dengan
cerdik membekali saya nasi dari rumah. Uang makannya, yang enam ribu
itu, bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Sebagai uang jajan untuk anak,
misalnya. Tetapi saya lihat mata lelaki disebelah saya ini keliru
menebak isi tas hitam saya. Bisa-bisa disangkanya ada sepucuk pistol
didalamnya.
KALI lain saya mendapat undangan ke
rumah teman untuk suatu keperluan. Dari tempat kerja, saya berangkat
bersama seorang teman. Seperti janjian, kami sama-sama mengenakan
jaket hitam. Tujuannya ke kampung Kedinding di daerah Kenjeran sana.
Jujur, saya belum pernah kesitu. Tetapi teman saya, si pengundang itu,
memberi saya ancar-ancar; 'pokoknya sebelum kantor Samsat ada gang kecil
setelah makam. Masuk seratus meter dari situ dan tanya nama Arief.
Pasti orang sudah tahu', pesannya.
Hari sudah petang ketika kami berdua
tiba di TKP. Beriringan menjalankan motor pelan-pelan saja.
Mencari-cari rumah Arief. Seperti pesan sebelumnya, seratus meter
dari kami masuk tadi, kami bertujuan hendak bertanya kepada
seseorang. Teman saya, pak Tris namanya, menghentikan motor dan
mendekati seorang lelaki yang sedari tadi mengawasi kami dengan
tatapan mata yang aneh. Ia menjadi lebih aneh lagi ketika pak Tris membuka helm --seakan memamerkan rambut cepaknya-- dan mengajaknya
bersalaman. “Maaf, numpang tanya. Rumah mas Arief yang pinter komputer itu dimana ya?”
Aneh. Sungguh aneh. Hanya ditanya begitu
lelaki itu gugup luar biasa. “Itu, ada toko di depan itu. Rumahnya
dibelakangnya.”
Setelah berterima kasih, kami
melanjutkan perjalanan. Dan ketika kami menoleh lagi ke belakang, lelaki
itu sudah tidak terlihat lagi. Kemana ia muspra?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar