Jumat, 13 April 2012

Gara-gara Seragam


DARI label yang dijahit pada leher bagian dalam atau pada pinggang bagian dalam, saya tahu baju seragam saya ini dikerjakan oleh Toyibah Taylor. Tetapi saya tidak tahu siapa gerangan yang merancang seragam ini sedemikian rupa. Warna cokelat tua laksana seragam Brimob, lengkap dengan model saku di paha kanan-kiri yang lumayan longgar. Pokoknya jan persis punya polisi. Hanya baju atasan yang tidak cokelat muda. Ia adalah sewarna dengan celana. Tetapi dengan dijaketi, orang sering saja keliru kira. Paling apes, disangkanya saya kerja sebagai security!

Suatu hari saya pulang dari tugas luar di daerah Pasuruan. Enam bulan, seingat saya, saban hari-pergi-pulang naik bus. Sore itu, seperti biasa, saya mencegat bus disekitar bundaran Apollo. Beberapa saat kemudian bus Tentrem datang. Saya naik. Tetapi hati saya belum seratus persen tentram. Maklumlah, saat itu jalan raya Porong masih sering luar biasa macetnya. Bahkan pernah mulai depan warung Mojorejo yang ke arah Surabaya kendaraan menyemut dengan laju seperti siput. Atau tak jarang malah mandeg-jegreg. Kalau sudah begitu, alternatifnya, sampai pertigaan Kejapanan belok kiri via Mojosari. Risikonya perjalanan jadi semakin panjang. Dan sampai rumah menjadi semakin malam.

Alhamdulillah, saat itu bus lancar-lancar saja. Paling tidak, tak terlampau macet. Seseorang yang mencegat bus di setelah pertigaan Kejapanan dengan sopan matanya seolah mengatakan permisi untuk duduk disebelah saya. Senyum saya membalas sapa matanya. Senyum itu, sampeyan tahu, saya maksudkan sebagai 'silakan'.

“Turun Pusdik, pak?” tanya lelaki itu setelah memperhatikan seragam yang saya kenakan. Pasti, dengan jaket hitam begitu, plus sepatu safety yang saya kenakan, ia menyangka saya polisi.

“Tidak,” jawab saya. “saya turun di Surabaya.”

“O, dinas di Polda?”

Saya tertawa. ” Saya bukan polisi.”

Matanya kembali berkata-kata. Memandangi seragam saya entah untuk keberapa kalinya. Juga tas hitam kecil yang saya bawa. Itu, saya kasih tahu sampeyan, isinya adalah 'tepak' wadah nasi bekal saya. Itu lebih kepada sisi ekonomi alasannya. Karena, dengan uang makam makan yang sebesar enam ribu, istri saya dengan cerdik membekali saya nasi dari rumah. Uang makannya, yang enam ribu itu, bisa dimanfaatkan untuk keperluan lain. Sebagai uang jajan untuk anak, misalnya. Tetapi saya lihat mata lelaki disebelah saya ini keliru menebak isi tas hitam saya. Bisa-bisa disangkanya ada sepucuk pistol didalamnya.

KALI lain saya mendapat undangan ke rumah teman untuk suatu keperluan. Dari tempat kerja, saya berangkat bersama seorang teman. Seperti janjian, kami sama-sama mengenakan jaket hitam. Tujuannya ke kampung Kedinding di daerah Kenjeran sana. Jujur, saya belum pernah kesitu. Tetapi teman saya, si pengundang itu, memberi saya ancar-ancar; 'pokoknya sebelum kantor Samsat ada gang kecil setelah makam. Masuk seratus meter dari situ dan tanya nama Arief. Pasti orang sudah tahu', pesannya.

Hari sudah petang ketika kami berdua tiba di TKP. Beriringan menjalankan motor pelan-pelan saja. Mencari-cari rumah Arief. Seperti pesan sebelumnya, seratus meter dari kami masuk tadi, kami bertujuan hendak bertanya kepada seseorang. Teman saya, pak Tris namanya, menghentikan motor dan mendekati seorang lelaki yang sedari tadi mengawasi kami dengan tatapan mata yang aneh. Ia menjadi lebih aneh lagi ketika pak Tris membuka helm --seakan memamerkan rambut cepaknya-- dan mengajaknya bersalaman. “Maaf, numpang tanya. Rumah mas Arief yang pinter komputer itu dimana ya?”

Aneh. Sungguh aneh. Hanya ditanya begitu lelaki itu gugup luar biasa. “Itu, ada toko di depan itu. Rumahnya dibelakangnya.”

Setelah berterima kasih, kami melanjutkan perjalanan. Dan ketika kami menoleh lagi ke belakang, lelaki itu sudah tidak terlihat lagi. Kemana ia muspra?

Informasi ini saya dapatkan belakangan. Si Arief yang membocorkan. Bahwa setelah itu, si lelaki itu berlari mengabarkan kepada orang-orang yang sedang asyik menggelar judi balap merpati tak jauh dari rumah Arief. Sambil terengah-engah begini katanya, "Bubar, bubar. Ada polisi datang. Dua orang..." *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar