“YANG montok itu namanya Ketut,” sambil mengunyah pisang
goreng Aksan berkata.
Pagi yang biasa, sebenarnya. Seperti pagi-pagi yang kemarin. Tetapi
sejak tiga hari yang lalu, setibanya beberapa perempuan Bali, suasana
pagi menjadi agak tidak biasa. Tidak hanya disini, dijalan yang
biasanya para pekarja proyek mangkal sejenak sebelum naik ke atas.
Melalui satu-satunya lift yang boleh dipakai pekerja.
Maka, aneka aroma kuli batu itu mau tak mau masuk juga ke hidung.
Tukang cat yang tahan banting untuk tidak ganti baju kerja dalam
beberapa hari. Tetapi ada untungnya memang. Ketika rombongan mereka
mendekat pintu lift, sebagian yang telah antre duluan pilih minggir
saja lagi. Tidak kuat menahan aromanya.
Lokasi depan lift yang selalu gaduh, makin gaduh oleh para jegek
Bali itu. Yang sengaja didatangkan oleh kontraktor untuk mengerjakan
ornamen dinding ruang spa dan jacuzi di proyek hotel ini. Ini
Surabaya, dan beda sekali dengan di Bali yang sudah hal lumrah
mendapati wanita tangguh yang bekerja keras di proyek-proyek,
sementara para suami memikul bambu panjang tempat beberapa ayam dalam
beberapa kurungan mengantung dibawa ke tempat bersabung.
Sekitar delapan perempuan Bali ikut antre. Dalam kepulan asap rokok
yang berhembus dari sekian banyak mulut laki-laki. Mulut yang kadang
lebih usil lagi. Bersuit-suit. Tak tahan rupanya mulut-mulut itu
untuk tidak melakukannya. Ketika sekian lama diproyek ini belum
sekalipun antre lift dengan perempuan. Ada memang perempuan yang
seminggu sekali naik ke lift ini. Tetapi mana berani menyuiti Bu
Melinda, perempuan pemilik proyek ini. Namun perempuan Bali itu,
dianggapnya bisa diajak berkawan. Tidak, lihatlah. Bukan begitu
caranya mengajak kenalan sebagai kawan. Bukan dengan lempar kerikil
sembunyi tangan. Kau tahu, perempuan manapun akan tidak senang
dibegitukan. Ia akan lebih menghargaimu bila engkau turut
menghargainya. Bukan malah kau gembirai kejengkelan
perempuan-perempuan yang sedang menyingkirkan kerikul-kerikil itu
dari rambutnya.
Rindang juga laki-laki. Juga kuli. Tetapi ia tidak senorak mereka..
Rindang ikut antre lift. Jarum jam dipergelangan tangan seseorang
disebelahnya yang ia lirik barusan menunjuk angka delapan tepat.
Perempuan-perempuan Bali itu memilih naik belakangan. Takut rupanya.
Bila ikut berjubel di lift bersama sekitar limabelas laki-laki
(sesuai kapasitas lift yang mampu membawa 24 orang sekali angkut),
tentu tersentuh bagian ini-itu (disengaja atau tidak) sangat tidak
terelakkan. Setumpuk semen didepan mulut lift itu diduduki tiga orang
dari perempuan-perempuan itu. Yang satu, yang montok menurut Aksan,
Rindang tahu; Ketut namanya. Satu nya lagi, agak tua. Tak terlalu
penting diceritakan. Ini hukum alam. Paling tidak alam pikiran
Rindang. Satunya lagi, sekalipun tak semontok Ketut, ia lebih anggun.
Hehe..., jangan tertawa! Perempuan, biar itu sebagai sekretaris,
sebagai resepsionis atau sekadar sebagai pekerja bangunan kalau
anggun ya anggun.
Ketika mata si anggun itu menabrak sorot mata Rindang yang sedang
memerhatikan, mau tidak mau harus ada peluru yang ditembakkan sebagai
penawar dari tingkah yang bisa tiba-tiba salah. Peluru itu; sebuah
senyum.
Dan, Ting! Bunyi bel lift yang berdenting itu berbarengan dengan
senyum perempuan anggun itu. Ia berdiri. Menuju mulut lift yang
menganga. Perempuan-perempuan itu masuk. Longgar sudah. Rindang dan
Aksan masuk pula.
“Balinya mana?” Rindang tidak sedang melempar kerikil. Ia sedang
bertanya kepada sia anggun. Walau,
“Tegal Ayu," kata yang agak tua.
Agak meleset dari sasaran. Harusnya si anggun yang menjawab.
“Mas pernah ke Bali?”
Kadang hidup tidak perlu pilih kasih. Tetapi si perempuan agak tua
itu lebih gampang bicara rupanya.
“Pernah,” Aksan yang menjawab.
“Bali mana?”
“Bali mana?”
Oh, si anggun yang bertanya.
“Kuta, Nusa Dua, Seminyak, Jimbaran, Uluwatu...” mulut Aksan seperti sedang menembakkan serentetan peluru.
“Kuta, Nusa Dua, Seminyak, Jimbaran, Uluwatu...” mulut Aksan seperti sedang menembakkan serentetan peluru.
“Oh, Tegal Ayu itu dekat Jimbaran, juga Uluwatu.” si anggun
menyahut.
Pada denting bel lift, sekali lagi ia tersenyum. Lalu turun di lantai
tujuh
**ooOoo**
Hand and body lotion murahan itu sudah tak mau lagi keluar
sekalipun Aksan mengetuk-ngetukkan ke telapak tangan.. Dengan Okana
itu, biasanya sehabis mandi sore begini, ia menghilangkan sisa adonan
semen yang meninggalkan putih-putih di sela jari tangan atau kakinya.
Hand body boleh habis, tetapi ia tak kehabisan akal. Dibukanya
kotak kompor tetangga kostnya dengan tanpa permisi. Ia sudah biasa.
Sebiasa ia lalu menuang dua-tiga tetes minyak goreng itu ke telapak
tangannya. Diusapkannya minyak itu kebagian tubuhnya yang memutih.
Beres. Paling tidak, tidak begitu kentara sekarang.
“Aku tak ikut. Kalau ada, belikan aku Phenthouse, pilihkan
yang hot,” Aksan berkata, begitu Rindang keluar kamar sambil
membawa handuk yang baru dipakainya.
“Ngeres kok gak habis-habis,” sahut Rindang sambil
menyampirkan pada tali jemuran yang melintang di teras rumah kostnya
ini. Lihatlah, tidak hanya handuk yang tampil sendiri. Dibentangan
sepanjang dua setengah meter itu berjajar mulai celana dalam sampai
sarung.
Rindang memang pekerja bangunan. Tetapi tidak seperti yang lain, yang
setiap malam main gitaran atau main kartu atau kadang-kadang minum
juga, Rindang selalu ke pasar Blauran. Blusukan mencari buku atau
majalah bekas. Beli satu-dua untuk dibawa ketempat kost dan
membacanya sambil tiduran.
Di sebuah kios langanannya ia terperanjat. Ada si anggun. Perempuan
Bali itu.
“Hai,” Rindang mengambil tempat berdiri di sebelah jegek
itu. “Suka baca juga rupanya.”
Si anggun itu tersenyum. “Untuk membunuh waktu,” katanya.
“Cari apa?”
“Novel.”
“Marga T., Mira W?” tanya Rindang.
“Agatha Christy. Mas cari apa?”
Rindang diam. Bukannya ia akan tidak enak untuk terus terang bilang
sedang dititipi Phenthouse oleh Aksan, teman kostnya. Tetapi, bukankah
ini saat tepat untuk kenalan lebih dalam dan lebih sopan ketimbang
saat pagi-pagi sambil antre lift.
“Sendiri saja?”
“Ya. Mas juga sendiri?”
“Mm, boleh kenalan?”
Si anggun melirik sambil membolak-balik sebuah novel agak tebal.
“Belum ada undang-undang yang melarang orang untuk saling kenalan,
kan?...”
Rindang tertawa kecil sambil menjulurkan tangan, ”Rindang.”
“Komang.”
“Ida Ayu Komang-kah?”
Si anggun tersenyum. Bukan pembetul celetukan Rindang barusan, yang
seenaknya menyebut lirik lagunya Arie Wibowo.
**ooOoo**
WARUNG pak Yit seperti biasa ramai sekali setiap pagi. Selesai
sarapan dan menerima nasi keringan yang dibungkus untuk makan siang,
Rindang dan Aksan menulis di buku. Mencatat apa saja yang dimakan pagi
ini. Tentu sekalian nasi bungkus itu. Begitu selalu. Semua, tidak
hanya Rindang dan Aksan. Catatan itu, setiap Sabtu, ketika menerima
upah dari pak Mandor, mereka menerima kertas kecil sebagai totalan
uang makan yang harus dibayar.
Jalan di depan warung pak Yit hanya sempit. Mungkin hanya selebar
semeter. Dengan warung berjajar dan semua ramai, terasa jalan sempit
itu makin sempit. Di warung paling ujung terdengar suara gaduh
bersuit-suit. Rindang melongok. Oh, rupanya para perempuan Bali itu
sedang berangkat kerja. Aksan matanya berbinar-binar melihat Ketut
yang pagi itu mengenakan kaos merah agak ketat plus topi merah dengan
rambut sepundak yang diikat seperti ekor kuda. Tak tahu ia kalau
semalam Rindang telah secara resmi berkenalan dengan Komang, si
anggun itu. Ini penting. Selebihnya, tentang teman-teman Komang dan
Ketut itu, termasuk si perempuan paling tua diantaranya, adalah tak
terlalu perlu dibahas.
Roket, begitu ia lebih senang disapa sekalipun nama aslinya Rokim,
sedang unjuk diri rupanya. Dengan kenorakan yang mungkin dianggap
lazim di dunia kuli bangunan, langsung berdiri menjajari Komang lalu
dengan kasar memeluknya. Komang berusaha berkelit dan berlari menjauh
disusul tawa gaduh para kuli. Melihat itu, entah mengapa dada Rindang
bergemuruh. Cemburukah?
Ternyata itu baru permulaan. Karena limabelas menit kemudian, ketika
sedang antre menunggu lift, Roket kembali beraksi. Memeluk Komang
lagi. Sambil tertawa-tawa. Juga diramaikan dengan tawa-tawa lain dari
mulut para kuli laki-laki. Malang bagi Komang, ia tidak bisa lepas
dari rangkulan Roket yang kekar. Tetapi Rindang bisa apa? Membelanya,
dengan melarang Roket berlalu begitu?Ah, bisa-bisa ia dianggap sok
pahlawan hanya demi mendapat perhatian dari Komang. Tetapi dengan
tetap mendiamkannya, sementara perempuan yang lain hanya memandanginya
saja dengan wajah takut. Oh, lelaki macam apa Rindang itu. Ia memang
suka membaca, yang karenanya ia lalu mempunyai tingkat kecerdasan
lebih tinggi dari kuli-kuli yang lain, tetapi dengan tingkat
keberanian yang nol besar, ia –secara moral-- tidak lebih baik dari
para kuli urakan itu.
Plak!
Tamparan Komang itu membuat Roket berhenti terbahak. Merah padam
mukanya. Malu, tentu. Ia yang sok jagoan (dengan tato gambar
kalajengking di lengan kiri dan gambar ular di lengan kanan), yang
seperti tidak ada yang berani melawannya, ini malah ada seorang
perempuan yang dengan telak menampar wajahnya. Ubun-ubunnya seperti
akan pecah, saking malunya. Dengarlah, rahangnya bergemeretak.
Jari-jari tangannya seperti sedang meremas-remas lebih dari gemas.
Setan rupanya telah membisikkan perintah untuk melakukan pembalasan,
sekalipun itu kepada perempuan bernama Komang. Roket mengayunkan
tamparan, tetapi Rindang secepat gerak roket melesat menghadang
tangan kekar itu.
Makin riuh saja suasana. Rindang melawan Roket. Perekelahian antar
lelaki ini. Dan itu seakan menjadi tontonan yang dinantikan. Setelah
sekian lama Roket tiada mendapatkan lawan, pagi ini Rindang tampil
sebagai penantang. Kerumunan melonggar, seakan menyedianan tempat di
tengah sebagai arena. Tetapi, disudut lain, Komang menangis histeris.
Ia merasa dalam posisi sebagai penyebab keadaan. Sambil menangis, ia
berkata, “Sudah. Hentikan. Aku tak mau diperlakukan tak sopan hanya
karena aku perempuan yang kerja bangunan. Ketahuilah, aku bekerja
begini demi keluarga. Demi anak-anakku....”
Suara peluit datang bersama derap kaki dua orang satpam. Petugas
keamanan proyek itu membuat perkelahian batal. Tetapi telinga
Rindang masih terngiang kalimat yang diucap Komang; ia sudah punya
anak?
**oOo**
SORE itu, tiga bulan kemudian, seperti biasa Rindang menyampirkan
handuk sehabis mandi. Jemuran yang melintas tepat di depan kamar
sekitar setengah meter di atas kepala, terlihat sarat oleh baju yang
dicuci sepulang dari kerja tadi. Melongok ke timur arah atas, lengan
tower crane itu lampu-lampunya terlihat telah menyala. Itu
biasa. Sebiasa ia menganggap Komang sebagai teman. Tidak lebih.
Walau, jujur saja, dulu pernah ingin menjadi lebih dekat dari sekadar
teman. Tetapi, sudahlah.
Sejak ketika ia menyatakan bahwa sudah berkeluarga, sejak itu pulalah
Rindang merasa harus membuat batas yang jelas dalam tataran apa
hubungan harus dilakukan. Aksan mungkin lebih beruntung. Ketut
membuatnya tak bertepuk sebelah tangan. Dan ketika beberapa waktu yang lalu
dua sejoli itu pamit keluar untuk sebuah ritual perpisahan yang
indah, Rindang hanya memandanginya dengan tatapan yang sulit
dikatakan. Hei, sebegitu sentimentilkah Rindang....
“Ngelamunin siapa?”
Sapa itu, Ridang tahu, berasal dari suara yang sangat ia kenal. Dan
ketika ia menoleh, si anggun itu menyambutnya dengan senyum yang
menawan. “Ketut baru saja keluar bareng Aksan. Baru setengah
jam...”
Komang tetap tersenyum. Lihatlah, Rindang menjadi terlihat tak
terlalu pintar. Senyumnya itu pun, kau tahu, seakan menunjukkan
ketidak siapannya dikunjungi Komang. Tetapi, “Masuklah...”
Oh, itu juga tindakan konyol. Mana mau Komang, sebagai orang Bali,
masuk rumah dengan diatas pintu berjajar jemuran begitu. Itu pamali.
Ya, Rindang tahu itu ketika bersama Aksan merantau ke Uluwatu. Pun
kerja bangunan.
“Kutunggu kau ganti baju. Setelah itu temani aku mencari buku...”
“Buku apa?” mata Rindang menelan bulat-bulat bulatan hitam mata
Komang. “Buku cerita atau komik untuk anakmu?”
“Bukan. Aku ingin membaca kisah cinta tentang sejoli yang beda
budaya.”
“Suamimu bukan orang Bali?”
Komang tersenyum.
“Itu salah satu yang ingin kukatakan,” kata Komang dengan tenang.
“Sesuai kontrak, besok kami harus pulang. Dan, sebelum pulang, aku
ingin mengatakan sesuatu agar tak menjadi ganjalan.”
Rindang sibuk menebak-nebak apa yang hendak dikatakan Komang. Dan ia
selalu gagal mendapatkan.
“Ketidak sopananan, dalam batas tertentu bisa pula ditipu,” ujar
Komang. “Roket termasuk dalam taraf itu. Buktinya, ketika aku
bilang aku bekerja begini demi keluarga dan anak-anakku, selanjutnya
ia tak terlalu mengganggu.”
“Jadi?”
“Ya, sekarang, sebelum aku besok pulang, aku juga ingin meminta
maaf padamu. Karena secara tidak sengaja, aku juga telah menipumu.
Aku belum bersuami, aku belum berkeluarga...”
Senyum Rindang mengembang. Juga senyum Komang. “Tidak keberantankah
engkau menemaniku mencari buku?” Komang mengingatkan.
Tentu saja tidak. Bahkan untuk memulai menuliskan kisah indah berdua
pun Rindang mau. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar