KAMPUNG saya, sering sekali
tiba-tiba ada bazar tiban. Saya bilang tiban karena,
tidak ada orang hajatan atau apa, tiba-tiba di pinggir paving stone
jalan kampung saya tiba-tiba ada nomor-nomor yang dibuat menggunakan
warna putih. Itu, kalau sampeyan tahu, adalah kavling-kavling
para pelaku bazar tiban itu. Yang ditawarkan tentu aneka rupa.
Mulai dari CD yang seharga sepuluh ribu dapat tiga keping (baik CD
dalam arti compact disc --yang bisa jadi adalah barang bajakan-- atau CD dalam arti 'celdam'. Hehe...)
sampai aneka penganan tradisional. Mulai rujak cingur sampai
gado-gado dan sebangsanya. Dari baju-baju sampai kaos kaki lima ribu
untuk tiga pasang.
Yang juga pasti ada adalah aneka mainan
untuk anak-anak. Mulai persewaan mobil remote control sampai
arena mandi bola. Dari tempat memancing ikan plastik bermulut magnet
sampai aneka jenis odong-odong. Nah, untuk odong-odong ini, si kecil
saya tidak bisa dislimur. Harus naik pokoknya. Ia suka sekali
naik yang model kereta api tetapi hanya berjalan memutar dalam
lingkaran rel yang tak seberapa lebar itu. Celakanya lagi, ia tidak
mau turun sekalipun teman seangkatannya (yang hanya sekitar sepuluh
atau lima belas menit itu) sudah turun. Faiz, si kecil saya itu, entah
naik untuk berapa 'kloter'. Saya berdoa semoga ia tidak pusing naik
kereta mungil yang hanya berputar-putar begitu.
Tetapi, rupanya, doa saya kurang
manjur. Buktinya, malam-malam, ketika ia berangkat tidur dan sambil
minum susu dari botol, tiba-tiba ia bangun dan mak byor...
muntah. Saya curigai itu sebagi efek dari naik odong-odong yang 'over
dosis' tadi.
Tetapi ketika besok harinya ia juga
masih muntah setiap setelah maem atau minum susu, tentu saya harus
tanggalkan anggapan itu sebagai efek dari pengaruh odong-odong. Ia
sedang sakit. Dan, sebagaimana bunyi iklan, bila sakit berlanjut
hubungi dokter, maka saya bawa ia ke sebuah Poli Anak milik sebuah
yayasan di kawasan Manyar yang biasanya ia cocok berobat ke situ.
Agak ngebut saya membawanya, dengan
pertimbangan Poli Anak itu tutup jam delapan malam. Alhamdulillah
masih nutut, masih setengah delapan saya sampai di TKP. Karena
sedang hari Minggu atau apa, Poli Anak itu tidak seramai biasanya.
Iseng saya hitung, ada limabelas ibu yang sedang mengantar buah
hatinya berobat kesitu. Ruang tunggu yang biasanya ramai, terasa
longgar. Bangunan poli ini sudah terbilang lama. Pada dinding tertera
keterangan, gedung ini diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1985.
Dengan dinding yang dicat putih bersih, dengan tanpa salib tergantung
ditengah, tentu saya bisa menarik kesimpulan siapa pengampu yayasan
ini.
Dan, tetapi, keisengan saya belum
berhenti.
Sekalipun ada tanda salib lumayan besar
di dinding itu, empat dari tujuh petugas (semua perempuan) yang
sedang dinas malam itu berjilbab! (Rinciannya: satu dari dua dokter
mengenakan jilbab, dua dari tiga orang di ruang obat memakai jilbab,
satu dari dua wanita di loket pendaftaran berjilbab.) Sekarang para
ibu, para orang tua pasien; sembilan dari lima belas orang mengenakan jilbab..
Sebuah pemandangan yang bisa jadi
sepele. Tetapi, sebuah toleransi, sesepele apa pun itu, adalah
sesuatu hal indah.
Contoh lain. Saya punya teman yang
istrinya dalam dua kali proses persalinan selalu di sebuah rumah
sakit Kristen besar di kota ini. Dan, sekalipun ruang persalian itu di
dindingnya ada kayu salib dan beberapa poster bertuliskan firman
Tuhan yang dikutib dari Injil, dokter yang menanganinya selalu
memanggil teman saya itu untuk segera mengumandangkan adzan ke telinga buah hatinya sesaat setelah jabang bayi mungil itu lahir.*****
Ih, tertegun saya membacanya...
BalasHapusTertegun? Kenapa, Ra?
Hapus