Senin, 30 April 2012

Jilbab, Salib dan Toleransi

KAMPUNG saya, sering sekali tiba-tiba ada bazar tiban. Saya bilang tiban karena, tidak ada orang hajatan atau apa, tiba-tiba di pinggir paving stone jalan kampung saya tiba-tiba ada nomor-nomor yang dibuat menggunakan warna putih. Itu, kalau sampeyan tahu, adalah kavling-kavling para pelaku bazar tiban itu. Yang ditawarkan tentu aneka rupa. Mulai dari CD yang seharga sepuluh ribu dapat tiga keping (baik CD dalam arti compact disc --yang bisa jadi adalah barang bajakan-- atau CD dalam arti 'celdam'. Hehe...) sampai aneka penganan tradisional. Mulai rujak cingur sampai gado-gado dan sebangsanya. Dari baju-baju sampai kaos kaki lima ribu untuk tiga pasang.

Yang juga pasti ada adalah aneka mainan untuk anak-anak. Mulai persewaan mobil remote control sampai arena mandi bola. Dari tempat memancing ikan plastik bermulut magnet sampai aneka jenis odong-odong. Nah, untuk odong-odong ini, si kecil saya tidak bisa dislimur. Harus naik pokoknya. Ia suka sekali naik yang model kereta api tetapi hanya berjalan memutar dalam lingkaran rel yang tak seberapa lebar itu. Celakanya lagi, ia tidak mau turun sekalipun teman seangkatannya (yang hanya sekitar sepuluh atau lima belas menit itu) sudah turun. Faiz, si kecil saya itu, entah naik untuk berapa 'kloter'. Saya berdoa semoga ia tidak pusing naik kereta mungil yang hanya berputar-putar begitu.

Tetapi, rupanya, doa saya kurang manjur. Buktinya, malam-malam, ketika ia berangkat tidur dan sambil minum susu dari botol, tiba-tiba ia bangun dan mak byor... muntah. Saya curigai itu sebagi efek dari naik odong-odong yang 'over dosis' tadi.

Tetapi ketika besok harinya ia juga masih muntah setiap setelah maem atau minum susu, tentu saya harus tanggalkan anggapan itu sebagai efek dari pengaruh odong-odong. Ia sedang sakit. Dan, sebagaimana bunyi iklan, bila sakit berlanjut hubungi dokter, maka saya bawa ia ke sebuah Poli Anak milik sebuah yayasan di kawasan Manyar yang biasanya ia cocok berobat ke situ.

Agak ngebut saya membawanya, dengan pertimbangan Poli Anak itu tutup jam delapan malam. Alhamdulillah masih nutut, masih setengah delapan saya sampai di TKP. Karena sedang hari Minggu atau apa, Poli Anak itu tidak seramai biasanya. Iseng saya hitung, ada limabelas ibu yang sedang mengantar buah hatinya berobat kesitu. Ruang tunggu yang biasanya ramai, terasa longgar. Bangunan poli ini sudah terbilang lama. Pada dinding tertera keterangan, gedung ini diresmikan pada tanggal 24 Agustus 1985. Dengan dinding yang dicat putih bersih, dengan tanpa salib tergantung ditengah, tentu saya bisa menarik kesimpulan siapa pengampu yayasan ini.

Dan, tetapi, keisengan saya belum berhenti.
Sekalipun ada tanda salib lumayan besar di dinding itu, empat dari tujuh petugas (semua perempuan) yang sedang dinas malam itu berjilbab! (Rinciannya: satu dari dua dokter mengenakan jilbab, dua dari tiga orang di ruang obat memakai jilbab, satu dari dua wanita di loket pendaftaran berjilbab.) Sekarang para ibu, para orang tua pasien; sembilan dari lima belas orang mengenakan jilbab..

Sebuah pemandangan yang bisa jadi sepele. Tetapi, sebuah toleransi, sesepele apa pun itu, adalah sesuatu hal indah.

Contoh lain. Saya punya teman yang istrinya dalam dua kali proses persalinan selalu di sebuah rumah sakit Kristen besar di kota ini. Dan, sekalipun ruang persalian itu di dindingnya ada kayu salib dan beberapa poster bertuliskan firman Tuhan yang dikutib dari Injil, dokter yang menanganinya selalu memanggil teman saya itu untuk segera mengumandangkan adzan ke telinga buah hatinya sesaat setelah jabang bayi mungil itu lahir.*****

2 komentar: