ADA makna di
balik nama. Ada doa diselipkan dalam sebuah nama. Sering begitu. Makanya, ketika
si jabang bayi lahir, kedua orang tuanya akan sibuk mencarikan nama yang pas
untuk anaknya. Kalau merasa tidak mampu, seringkali si ortu meminta nama ke seorang
yang dituakan untuk buah hatinya.
Dengan kemajuan ilmu kedokteran, yang dengan alat tertentu
bisa diketahui jenis kelamin janin jauh hari sebelum ia lahir ke dunia,
menjadikan orang tua si bayi lebih dini lagi menyiapkan nama.
Masih tentang nama. Nama yang sering saya pakai sebagi tokoh
dalam status Facebook saya; Bendo. Siapa
dia? Ini tidak penting sebenarnya. Sekaligus ini sebuah rahasia, sebenarnya. Tetapi
sudahlah.
Adalah Pak Gudel. Orang tinggi besar yang kalaulah ia brewok
akan semakin terlihat sangar. Salah satu kesenangannya adalah memberi nama wadanan (julukan) untuk siapa pun. Mungkin
ini semacam balas dendam atas yang dialaminya sendiri. Tak tahu saya darimana
asalnya dan siapa oknum yang berbuat tega memberinya julukan Gudel padahal nama
sebenarnya pemberian orang tuanya adalah Sudirman.
Sudirman adalah nama orang besar. Itu, saya kira, disematkan
kedua orang tuanya agar si Gudel, eh si Sudirman kecil, akan menjadi tokoh
sebesar Jenderal Sudirman kalau sudah besar. Tetapi, nama, sebagaimana doa, tak
selalu terkabulkan. Sudirman tetangga saya itu tidak pernah menjadi jenderal
(dalam ludruk sekalipun), dan malah sukses sebagai pengusaha pembuat tahu. Dan
Sudirman teman kerja saya malah sukanya memancing di laut, sekalipun ada
temannya yang memanggil dengan sebutan Jenderal.
Lain pak Gudel, lain pula pak Celeng. Demi melanggengkan
nama, ia menyematkan nama Genjik kepada anak lelakinya. Sebuah silsilah yang ‘parah’.
Ini menjadikan saya ingat pelajaran bahasa Jawa ketika SD dulu: Anak celeng arane genjik. (Anak babi
hutan namanya genjik)
Sekarang tentang Bendo. Betul, Sampeyan betul. Bendo adalah nama pohon sekaligus nama buahnya. Tubuh
pohon bendo biasanya digosipkan sebagai tempat tinggal genderuwo, kuntilanak,
wewegombel dan sebangsanya. Dengan bentuk akar yang menonjol pipih keluar, dengan
pohon kekar tinggi menjulang, berdiam di bawahnya, apalagi sendiri, akan
seperti ada yang meniup bulu kuduk. Itu lebih
karena termakan omongan tentangnya yang selalu berbau angker. (Angker, bukan
Anker!)
Sekalipun angker, kami –saat itu saya masih anak-anak—sering
ke bawah pohon bendo untuk luru buahnya
yang berceceran sisa dimakan codot. Codot itu mungkin hanya nglamuti daging buahnya. Sementara buahnya,
sebesar butiran kelereng, ditinggalkan begitu saja. Kalau sudah disangrai, Sampeyan tahu, rasa buah bendo itu akan
mengalahkan gurihnya kacang. Tetapi bagi yang tidak tahan, memakannya akan
menimbulkan rasa nggliyeng, semacam
rasa fly.
Luru buah bendo di
pagi hari, seringkali hasilnya tak seberapa. Ya karena yang bareng-bareng
mencari banyak. Lain halnya kalau malam-malam. Buah bendo yang sudah masak
(masak pohon), jatuh dengan bentuk buah yang masih utuh. Bulat sebesar keluwih
atau sukun. Dengan seutuh itu, kita tinggal mengambilnya, tanpa luru satu per satu yang berserakan di
tanah, di antara daun-daun bambu yang kering.
Mencari bendo malam-malam begitu, tidak semua orang berani. Ya,
namanya sudah kadung kondang sebagai rumah hantu. Tetapi itu tidak berlaku bagi
saya dan beberapa teman yang setiap malam tidur di musholla. Ini lebih sebagai
tindakan yang lebih terpuji, tentunya. Ini bila dibandingkan dengan tindakan ‘kriminal’
dengan mencuri buah nangka, rambutan atau sebangsanya. Bendo itu, sekalipun
pohonnya ada yang punya, mengambil buahnya tidak bisa dijerat dalam pasal
pencurian. Hehe...
Saya tidak pernah apes ditemui si hantu dalam pencarian
bendo di tengah malam begitu. Apes saya hanya satu, sekalipun saya mencari
bendo itu secara bersama-sama teman yang menginap di musholla depan rumah saya,
tetapi yang oleh Pak Gudel diberi gelar bendo cuma saya!*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar