Sabtu, 23 Maret 2013

Ranjau Kacau Balau

SEBAGAIMANA anak-anak, ketika kecil --bersama teman-teman seumuran-- saya juga pernah 'pecicilan'. Waktu itu desa saya belum ada jaringan listrik. Sehingga, sehabis isya' saja, suasana sudah gelap gulita.

Dalam gelap gulita itu, entah siapa pencetusnya, kami mempunyai rencana cemerlang!

Di sudut depan pekarangan rumah Mbah Muk, tidak jauh dari pantat gedung SD kami, ada pohon bunga kenanga yang tinggi menjulang. Bentuk tubuhnya yang demikian, dengan aroma wangi kenanga yang begitu, ketika malam ia digosipkan menjadi tempat bangsa halus. Padahal, letaknya yang di pinggir jalan –termasuk sebuah gang masuk ke kampung-- selalu saja dilewati orang.

Ide cemerlang yang saya bilang tadi adalah ini; siang-siang, kami memanjat pohon itu untuk meletakkan segala macam kaleng rombeng yang kami hubungkan dengan seutas tali hasil pilinan sendiri berbahan lulup (serat) kulit pohon waru. Tali itu sungguhlah panjang; dari dahan tempat kaleng rombeng digantungkan sampai terulur jauh ke sebuah tempat yang terlindung. Dari tempat itulah malamnya kami menarik-narik tali agar kaleng-kaleng itu berbunyi supaya mengejutkan orang-orang yang berjalan sepulang menonton ludruk di lapangan.

Bisa dibayangkan, orang-orang yang sudah berdiri bulu kuduknya setiap berjalan di dekat pohon kenanga yang dikabarkan angker itu, dengan efek suara kaleng yang mengejutkan, menjadikan meraka lari pontang-panting ketakutan. Di tempat persembunyian, kami tertawa cekikikan kegirangan.

Karena orang-orang pulang nonton ludruk pada tengah malam, biasanya sambil menunggunya, kami melakukan tindakan 'pemanasan' setelah Isya'. Yakni menakut-nakuti teman-teman perempuan sepulang mengaji. Mereka itu beberapa masih saya ingat namanya. Ada Imroatul Hasanah, ada Miftahul Jannah tetapi yang lainya saya lupa. Biasa, perempuan dengan 'nilai' biasa-biasa saja akan lebih sering terhapus dari ingatan. Hehe... sadis ya?

Tidak hanya akan mengejutkan dengan aneka bebunyian, kami juga meletakkan sebuah bangku panjang -- yang kalau siang sebagai tempat Mbah Serin berjualan di belakang sekolah. Kami meletakkan bangku itu secara melintang di tengah gang menuju rumah Pak Kasto pegawai BKKBN yang merangkap jabatan sebagai penjual getuk lindri. Kalau berjualan beliau selalu memutar lagu-lagu Rhoma Irama lewat speaker Toa warna abu-abu. Pak Kasto itu ayah Miftahul Jannah dan Imroatul Hasanah.

Konspirasi jahat ini sungguhlah akan menyakitkan. Bagaimana tidak, mereka yang terkejut dan lari ketakutan, akan menabrak bangku yang melintang di tengah jalan. Menunggu momen itu, kami berdebar membayangkan adegan yang pasti akan kami tertawai secara gembira.

Teman-teman nakal saya itu masih saya ingat mereka. Ada Gito anak Lik Tumirin, juga ada Budiono anak Lik Sahar.

Rupanya Pak Malik yang mengajar mengaji Miftahul Jannah dkk itu sedang memberikan pelajaran tambahan. Waktu Isya' sudah sedari tadi lewat, mereka belum juga pulang. Padahal biasanya beberapa saat setelah azdan isya' berkumandang, setelah sholat berjamaah meraka sudah pada lewat gang ini.

Seperti halnya memancing, menunggu korban jebakan pun butuh kesabaran. Sambil menunggu, kami harus menahan gigitan nyamuk di tempat persembunyian.

Beberapa saat lewat, dari arah selatan, kami mendegar suara kriet-kriet, derit sepeda angin yang rantainya jarang diminyaki. Celaka! Orang itu, pengendara sepeda angin itu, akan melewati ranjau kami. Lebih celaka lagi, orang itu, yang bersepeda dalam gelap itu, adalah Lik Tumirin, ayah Gito.

Gubrakkkk!!!!

Terdengar suara sepeda menabrak bangku. Kami lunglai, tak ada nafsu untuk tertawa. Kami semua pucat, terlebih lagi wajah Gito.

Kacau, kacau....*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar