SEBAGAIMANA anak-anak, ketika
kecil --bersama teman-teman seumuran-- saya juga pernah 'pecicilan'.
Waktu itu desa saya belum ada jaringan listrik. Sehingga, sehabis
isya' saja, suasana sudah gelap gulita.
Dalam gelap gulita itu, entah siapa
pencetusnya, kami mempunyai rencana cemerlang!
Di sudut depan pekarangan rumah Mbah
Muk, tidak jauh dari pantat gedung SD kami, ada pohon bunga kenanga
yang tinggi menjulang. Bentuk tubuhnya yang demikian, dengan aroma
wangi kenanga yang begitu, ketika malam ia digosipkan menjadi tempat
bangsa halus. Padahal, letaknya yang di pinggir jalan –termasuk
sebuah gang masuk ke kampung-- selalu saja dilewati orang.
Ide cemerlang yang saya bilang tadi
adalah ini; siang-siang, kami memanjat pohon itu untuk meletakkan
segala macam kaleng rombeng yang kami hubungkan dengan seutas tali
hasil pilinan sendiri berbahan lulup (serat) kulit pohon waru.
Tali itu sungguhlah panjang; dari dahan tempat kaleng rombeng
digantungkan sampai terulur jauh ke sebuah tempat yang terlindung.
Dari tempat itulah malamnya kami menarik-narik tali agar
kaleng-kaleng itu berbunyi supaya mengejutkan orang-orang yang
berjalan sepulang menonton ludruk di lapangan.
Bisa dibayangkan, orang-orang yang
sudah berdiri bulu kuduknya setiap berjalan di dekat pohon kenanga
yang dikabarkan angker itu, dengan efek suara kaleng yang
mengejutkan, menjadikan meraka lari pontang-panting ketakutan. Di
tempat persembunyian, kami tertawa cekikikan kegirangan.
Karena orang-orang pulang nonton ludruk
pada tengah malam, biasanya sambil menunggunya, kami melakukan
tindakan 'pemanasan' setelah Isya'. Yakni menakut-nakuti teman-teman
perempuan sepulang mengaji. Mereka itu beberapa masih saya ingat
namanya. Ada Imroatul Hasanah, ada Miftahul Jannah tetapi yang
lainya saya lupa. Biasa, perempuan dengan 'nilai' biasa-biasa saja akan lebih
sering terhapus dari ingatan. Hehe... sadis ya?
Tidak hanya akan mengejutkan dengan
aneka bebunyian, kami juga meletakkan sebuah bangku panjang -- yang
kalau siang sebagai tempat Mbah Serin berjualan di belakang sekolah.
Kami meletakkan bangku itu secara melintang di tengah gang menuju rumah
Pak Kasto pegawai BKKBN yang merangkap jabatan sebagai penjual getuk lindri. Kalau berjualan beliau selalu memutar
lagu-lagu Rhoma Irama lewat speaker Toa warna abu-abu. Pak Kasto itu
ayah Miftahul Jannah dan Imroatul Hasanah.
Konspirasi jahat ini sungguhlah akan
menyakitkan. Bagaimana tidak, mereka yang terkejut dan lari
ketakutan, akan menabrak bangku yang melintang di tengah jalan.
Menunggu momen itu, kami berdebar membayangkan adegan yang pasti akan
kami tertawai secara gembira.
Teman-teman nakal saya itu masih saya
ingat mereka. Ada Gito anak Lik Tumirin, juga ada Budiono anak Lik
Sahar.
Rupanya Pak Malik yang mengajar mengaji
Miftahul Jannah dkk itu sedang memberikan pelajaran tambahan. Waktu
Isya' sudah sedari tadi lewat, mereka belum juga pulang. Padahal
biasanya beberapa saat setelah azdan isya' berkumandang, setelah
sholat berjamaah meraka sudah pada lewat gang ini.
Seperti halnya memancing, menunggu
korban jebakan pun butuh kesabaran. Sambil menunggu, kami harus
menahan gigitan nyamuk di tempat persembunyian.
Beberapa saat lewat, dari arah selatan,
kami mendegar suara kriet-kriet, derit sepeda angin yang
rantainya jarang diminyaki. Celaka! Orang itu, pengendara sepeda
angin itu, akan melewati ranjau kami. Lebih celaka lagi, orang itu,
yang bersepeda dalam gelap itu, adalah Lik Tumirin, ayah Gito.
Gubrakkkk!!!!
Terdengar suara sepeda menabrak bangku.
Kami lunglai, tak ada nafsu untuk tertawa. Kami semua pucat,
terlebih lagi wajah Gito.
Kacau, kacau....*****
Kacau, kacau....*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar