Minggu, 24 Maret 2013

Yang Penting Hitam-Putih


BEBERAPA teman maya saya, lewat percakapan online, pernah meminta Pin BB saya. Sebuah permintaan yang tentu tidak akan pernah disampaikan oleh teman-teman nyata, yang sering bergaul secara face to face dengan saya. Ya, saya tidak memiliki BlackBerry! 

Beberapa teman saya yang lain, pernah mengirimi saya gambar atau foto-foto lewat ponsel. Celakanya, pesan-pesan macam itu, muncul sebagai tulisan ‘tidak bisa menampilkan pesan’ di LCD ponsel saya. Ya, bahkan ponsel saya bukanlah ponsel yang berkamera!

Pager, si penerima pesan.
Tidak usah kaget, untuk urusan gadget,  saya ini termasuk selalu ketinggalan. Bahkan, kalau tidak salah ingat, saya adalah orang terakhir di tempat kerja yang menyerahkan pager sebagai alat komunikasi. Teman-teman saya yang lain sudah bawa HP, membuat pager saya lebih sering menganggur. Sebagai alat komunikasi yang hanya bisa menerima pesan tanpa bisa membalas, dominasi si pager langsung tumbang begitu ponsel datang.

Kondisi itu membuat saya nekat membeli ponsel. Tidak baru, barang itu saya beli dari seorang teman dalam keadaan bekas. Harganya 350 ribu, sebuah ponsel warna abu-abu dengan antena ‘mecungul’ di atasnya. Mereknya Motorolla. Saya yang dalam bekerja sering petakilan naik-turun tangga atau scafolding, dengan ponsel saya taruh di saku celana, membuat antenanya rompal, perotol.  Urusan antena bukan perkara genting, sekalipun si antena itu berbulan-bulan saya balut isolasi, yang penting si ponsel tetap berfungsi. Namun nasib si Motorolla berakhir tragis kala ia terjun bebas dari saku baju kala saya naik scaffolding dan mendarat dengan telak di permukaan lantai marmer. Pyarrrr... ia langsung ambyar. Tewas dengan ngenas.

Sebagai gantinya, barang bekas juga, saya membeli Siemens C-35. Dengan tubuh lebih jangkung ketimbang si mendiang Motorolla saya, ia berwarna hitam dengan postur agak melengkung. Kesamaannya, selain sama-sama berantena, nada dering keduanya juga sama-sama belum poliklinik polyphonic. Saya lupa bagaimana akhir si Siemens ini di tangan saya, yang jelas kemudian saya agak kapok membeli ponsel bekas.

Siemens C35.
Ponsel pertama yang saya beli langsung dalam kondisi baru di toko adalah Nokia 2100. Harganya saya ingat, kala itu saya membeli di Akar Daya jalan Mayjen Sungkono dengan nilai 875 ribu rupiah. (Bandingkan coba, sekarang ini harga segitu sudah dapat ponsel lokal buatan China dengan segudang fitur di dalamnya. Ada kameranya, televisinya, radionya, MP3nya, Wifi-nya dsb, dst. Cuma kulkas atau kompor gas saja yang tidak ada di dalamnya. Hehe...). 

oOo

Sudah hampir tujuh tahun terakhir ini ‘senjata’ yang selalu saya bawa kemana-mana adalah si Nokia N1110i. Riwayat hidupnya, setelah saya menekan *#0000#, ia dilahirkan pada tanggal 24 Oktober 2006. Seminggu terakhir ini, ia makin sakit-sakitan. Setelah beberapa bulan ia pikun (penunjuk waktunya sering berubah, walau dalam sehari tiga-empat kali saya cocokkan dengan jam dinding di kantor), seminggu ini makin kronis saja komplikasinya. Kalau ditelepon bisa nyambung tetapi selalu putus di tengah jalan. Atau sering terjadi, tidak ada hujan tidak ada angin, di layarnya tiba-tiba muncul perintah, “Masukkan SIM.” (Wah, jangan-jangan ponsel saya ini jenis ponsel lalu-lintas?! Kenapa tidak sekalian minta STNK juga.)

Untuk mengaktifkan lagi, biasanya, saya cukup mematikan sebentar, lalu saya on-kan lagi. Tetapi kalau tidak bisa hidup normal juga, saya mesti mencopot baterai dan SIM card-nya sebentar, lalu setelah meniupnya beberapa kali (seperti dukun sedang menyemburkan suwuk) kemudian saya pasang lagi. Benar-benar agak bikin jengkel. Seperti halnya kesabaran, kejengkelan pun ada batasnya. Solusinya cuma satu; ganti ponsel baru!

Ya, mempensiunkan si biru N1110i itu adalah sebuah tindakan yang tepat. Setelah sekian tahun mengabdi, dengan torehan catatan waktu yang lumayan (mengirim SMS sejumlah 8062, menerima pesan 17006 biji, menerima panggilan total 35 jam 33 menit 57 detik, melakukan panggilan keluar total 77 jam 56 menit 11 detik), tentu ia akan tidak nelangsa dipurnatugaskan sekarang ini.

Lalu, apa yang pantas mengantikannya sebagai teman hidup saya? BlackBerry, Samsung Galaxi atau Nokia Lumia?

Entahlah, saya belum ingin yang macam itu. Sekalipun, kalau dipaksakan, soal harga bisa saja saya usahakan. Lewat cara kredit, misalnya. Tetapi semua gadget berjenis smartphone itu, belum saya anggap sebagai kebutuhan hidup saya. Bahkan untuk hadir sebagai sebuah keinginan, muntup-muntup di benak pun tidak. Entahlah. Atau memang saya ini termasuk orang yang katrok. Biar, biarlah. 

Jujur, saya sedang menunggu hadirnya Nokia 105 yang konon baterainya sanggup bertahan hidup (untuk pemakainan normal) selama 35 hari. Tetapi, ketika saya hubungi sebuah gerai ponsel besar di Surabaya, ternyata barang itu belum masuk ke Indonesia. Yang sudah ready stock adalah Nokia 103.

Dengan kisaran harga dua ratus ribu sesuai anggaran yang saya siapkan, sebenarnya saya bisa mendapatkan barang merek lain dengan aneka fitur telah dibenamkan di tubuhnya. Misalnya Cross V-5. Ponsel China yang kalau diamati sukses melewati Nexian yang sebelumnya tampil dominan ini sudah;
- Dual On Simcard
- Camera Digital
- MP3/MP4/3GP
- FM Radio,video
- Bluetooth, Calculator, Alarm
- Lampu Center
- Web Browssing.

Senjata baru saya, Nokia 103.
Atau, kalau tidak mau HP merek lokal buatan China, masih ada pilihan keluaran pabrikan asal Korea;  Samsung. Dengan kisaran harga lebih rendah sekitar sepuluh ribu rupiah, ia (sesuai kebiasaan saya) hanyalah memiliki fungsi ponsel yang sangat azasi; asal bisa untuk SMS dan telepon saja. Ohya, masih ada satu bonusnya; radio FM. Tetapi, dibanding si Nokia 103, ‘kekurangan’ Cross V-5 dan Samsung E1205 ini adalah, mereka sudah berlayar warna. Padahal saya ingin yang masih hitam-putih. Jadi, keputusan saya, penerus tongkat estafet si  N1110i saya itu adalah si Nokia 103! Sekalipun masih hitam-putih, ia telah dilengkapi radio FM. Tetapi, sepertinya fasilitas radio itu akan jarang saya pakai. Dibanding dengan lampu senternya, misalnya. *****

2 komentar:

  1. kenngan saya adalah Nokia 5110. Ini ponsel pemberian pamanda saya. Saya pegang ponsel itu harus ganti pulsa ke sang paman, namun ponsel berikut kartunya diserahkan begitu saja kepada saya. Kejadian itu adalah tahun 2003. Karena saat itu sulit sinya, maka saya harus pergi beberapa jauh dari rumah untuk menemukan sinyal. setelah dicek, ternyata pulsa tersisa 400-an ribu dan sudah mau habis masa tenggangnya.

    Oalaaah... pantesan paman saya tadi bilang "cukup ganti pulsanya saja". hahaha....

    BalasHapus
  2. YANG masih terus ingin saya tanyakan kepada Sampeyan itu, Ra Faizi, adalah rapalan doa apa sehingga Sampeyan bisa berkali-kali dikasih hempun oleh orang lain.

    NB:
    Sekalipun saya suka hempun hitam-putih, tetapi kalau ada yang ngasih saya hempun berwarna dengan aneka fitur canggih, tentu akan seNNang hati saya menerimanya. Bukankah tidak baik menolak pemberian orang? Hehe...

    BalasHapus