Selasa, 28 Februari 2012

Cinta Murni


HARI Minggu pagi yang gerimis dipadu dengan menunggu yang bikin jemu, membuat Murni berkali-kali mondar-mandir keluar masuk rumah. Teras yang tak seberapa luas, dengan beberapa bunga berjajar dipot-pot mungil. Daun-daun bunga itu, kalau kau tahu, mendesis ia. Kedinginan. Karena ujung genting teras rumah yang dihalaman depan rimbun daun pohon manggga dan pohon kelapa gading kuning, meneteskan air yang sesekali nakal mencolek bahunya. Lampu gantung mungil yang telah ia padamkan tiga jam lalu, kadang bergoyang ditiup angin. Menggeleng. Sementara Murni belum juga mampu menggulung rasa yang hinggap di dada. Ia memang belum lupa akan kalimat ‘merpati tak pernah ingkar janji’. Tetapi ia memang hanya berharap bukan akan terhadap janji. Hei, bukankah seorang tukang koran mengantar koran pagi di pagi hari tak perlu mengucap janji? Karena itu sebuah keniscayaan. Tempo hari mbak Pipit, redaktur kenalannya di koran itu, mengabarinya lewat SMS kalau tulisannya dimuat hari ini. Bagi Murni, membaca tulisannya dimuat merupakan kenikmatan tersendiri. Dan Anton, nama tukang koran itu, tentu tak tahu. Namun, tahukah ia bila sesekali Murni menatapnya melebihi tatapan pelanggan kepada lopernya?

Setahun yang lalu, gerimis-gerimis begini seorang lelaki datang pagi-pagi kerumahnya. Lelaki itu membawa koran yang ditumpuk disela antara jok dan kemudi motornya. Lelaki yang tak biasa. Agak kurus, dengan rambut lurus. Mata yang dilapisi kacamata. Bermantel biru bergambar burung pinguin di punggungnya. Murni, waktu itu, berdiri diiteras seperti pagi sebelumnya ia menunggu pak Joko, tukang koran langganannya.

Saya Anton. Bapak sakit,” lelaki itu menyodorkan koran. Itu pertama kali Murni mengenal sang loper korannya.

Sejak itu, seringkali ia menggantikan bapaknya mengantar koran. Semakin lama- semakin sering saja. Sampai kemudian pak Joko menyerahkan semuanya kepada Anton. Lelaki berkacamata itu begitu dingin. Paling tidak, tak seramah bapaknya. Bahkan, jarang sekali Murni melihatnya tersenyum. Jangankan berbicara basa-basa tentang ini-itu. Tak pula pernah bercerita tentang kesehatan bapaknya. Pak Joko memang sudah terlalu tua menjadi pengantar koran. Tapi Murni tahu, tubuh tua itu takkan berhenti bila tidak benar-benar tidak kuat. Murni jadi ingat bapaknya. Sudah mendiang beliau. Tiga tahun sebelum ibunya. Bapak, lelaki pensiunan guru Agama itu, tak pernah mau berhenti. Selalu saja ada yang dikerjakannya. Pohon mangga dan gading kuning itu, yang rimbun daunnya tampak mengigil digoda gerimis pagi itu, adalah selalu mengingatkan sebaris kalimat ketika bapak menamannya dulu,” Mungkin aku tak akan sempat meikmati buahnya, tetapi aku ingin cucuku, anak-anakmu, kau ceritakan bahwa pohon ini kakeknya yang menanam...”
Ingatan itu masih sering merambat dalam hati Murni. Seperti binatang melata yang sekalipun tidak berbisa, membuat Murni merasakan sesuatu yang aneh bila dihinggapinya.

Maaf, agak kesiangan. Motor saya sedang ngambek, gampang mogok.”

Lima bulan lalu Anton berkata. Murni, tak tahu kenapa, seperti telah ketularan sikap Anton. Tentu kalau menghadapi Anton. Karena semua orang kampung sini tahu, Murni mewarisi sikap grapayak-semanak ibunya. Tetapi, pikir Murni, ia tak bisa menerapkan keramahan itu kepada Anton. Si lelaki berkacamata yang dingin itu. Sekadar mengucap terima kasih tanpa ekspresi yang lebih berarti adalah ritual rutin bila ia menerima koran dari Anton. Dan seperti ritual yang membosankan pula Anton langsung menuju motornya yang diletakkan dibawah pohon mangga, lalu melanjutkan mengantar koran ke pelanggan lainnya. Tetapi hari itu Murni melihat tubuh motor Anton berlumur lumpur. Ingat ia, dimulut gang sana ada pekerjaan perbaikan pipa PDAM yang bocor. Tanah bekas galiannya, dikanan-kiri seperti adonan bubur. Kemarin sore Murni sempat hampir terpeleset ketika bermotor disitu. Beberapa saat Anton masih dibawah pohon mangga. Setelah gagal beberapa kali menghidupkan motor pakai electric starter, ia pakai kick starter. Gagal juga. Motornya mogok lagi, rupanya. Padahal, Murni lihat, ada setumpuk koran yang masih harus dia antarkan.

Pakailah motor saya saja dulu. Kasihan pelanggan kalau harus menunggu,” menyesal juga Murni megucapkan kata-kata itu. Takut ditanggapi tidak semestinya oleh Anton.

Anton melihat jam tangannya. Lalu beralih melihat langit pagi yang mungkin saja sedang disalahkan; pagi-pagi mengucurkan gerimis. Lalu matanya beralih memelotoyi motornya, yang –lagi-lagi-- mendapat umpatan dalam hati, barangkali. Ya, itu semua dugaan Murni. Dugaan yang muncul melihat sikap Anton. Hei, dengar tidak? Ingin sekali Murni meneriaki lelaki itu dengan kalimat itu. Tetapi tidak jadi. Karena lelaki itu, dengan mata yang sukar diterjemahkan dengan kata-kata, menoleh kearah Murni.

Bu Guru nanti berangkat mengajar naik apa?”

Murti tertawa kecil. Bukan pada pertanyaan Anton barusan, tetapi cara dia memanggil. Bu Guru?

Seratus meter jarak rumah ini ke madrasah tentu saja saya hanya butuh payung digerimis begini. Bukan motor,” kata Murni.

Tapi saya akan agak siang menyeselaikan mengirim koran-koran ini.”

Beberapa hari ini angin memang sedikit tidak seperti biasanya. Ia berhembus lebih kencang. Di televisi sering dikabarkan sampai merobohkan rumah atau sekolah. Tetapi angin pagi itu, hanya semilir saja. Itupun aneh. Pagi-pagi ada angin? Atau angin itu hanya ingin mengibarkan ujung coklat muda jilbab Murni. Entahlah.

Ya sejak itu, sejak Anton meminjam motor matiknya, mereka tidak hanya bertegur sapa sekaku dulu. Setidaknya ada senyum yang menyertainya. Tetapi, seperti kepada setiap senyum laki-laki, Murni sudah kehilangan keberanian untuk berharap lebih. Lebih-lebih, si Anton itu secara usia masih dibawahnya. Ia, dengan usia nyaris tigapuluh tujuh, bukan lagi pantas berharap tentang sesuatu yang indah dibalik senyum Anton.

Senyum itu, menjadikan sebuah hubungan terasa lebih dekat. Tetapi, ketika ia sedikit dekat saja dengan seorang laki-laki, hatinya kembali teringat ancaman Seno. Anak juragan sapi yang dulu pernah menaksirnya. Anak orang terkaya dikampung. Ketika itu keluarga Murni belum pindah kesini. Tetapi dengan tabiat yang seurakan itu, tentu Murni tak kuasa menerimanya. Berkali-kali Seno mengucap cinta, berulang kali pula Murni meminta waktu untuk mempertimbangkannya. Ini sebagai siasat semata, tentu saja. Karena untuk langsung menolaknya, Murni merasa terlalu akan menyakitkan. Padahal hatinya tidak ingin menyakiti hati siapapun. Termasuk hati Seno. Itu memang masa lalu. Dan masa lalu itu membuat kadang-kadang Murni mengakui kesalahannya. Gara-gara, karena terus didesak untuk memberi kepastian, ia berterus terang tidak bisa menerima cintanya, membuat Seno berang. Dan tersinggung. Ketersinggungan itu diucapkannya lewat sebuah kalimat, “sampai kapanpun, kalau ada laki-laki yang akan jatuh cinta kepadamu, jangan sebut aku Seno.” Ingin menangis rasanya Murni mendengar kata-kata itu. Ketika itu bukan takut yang ia rasa. Tetapi, ia merasa telah menyakiti seseorang. Sesuatu yang tak ia inginkan, dengan alasan apapun. Tentang ancaman itu, Murni yakin, Seno bukan penentu nasib seseorang.

Untunglah, kemudian Bapak dipindah tugaskan mengajar ke lain tempat yang lumayan jauh. Mereka pun pindah rumah ke yang ditempatinya sekarang ini. Dengan begitu Murni bisa tidak selalu ketemu Seno. Dengan begitu pula ia berharap bisa sedikit demi sedikit mengubur masa lalu.

Tetapi ketika setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, lima belas tahun... tidak juga ada seorang lekaki yang dekat dengannya, ia jadi ragu akan keyakinannya. Keragauan itu tercermin dari desah yang tanpa diketahui oleh siapapun. Termasuk oleh bapaknya, atau kemudian ibunya. Sampai keduanya meninggal pun tak pernah ia bercerita tentang Seno. Namun sekuat-kuatnya kuda berlari, pada saat tertentu ia akan berhenti juga. Murni sedang menunggu saat berhenti itu. Saat ketika perkataan Seno yang diucapkan dulu menemui ketidakbenarannya. Saat itu, Murni yakin ada langkah baru yang akan ditempuhnya. Sekalipun itu mendaki. Seperti menaiki anak tangga. Tapi kapan? Padahal seperti menaiki anak tangga, usianya pun selalu merambat naik.

Itulah kenapa ia berusaha memandang Anton tidak lebih dari sebuah pertemanan. Kalaulah itu memang harus ke jenjang lebih dekat, Murni membatasinya pada tingkat persahabatan saja. Dengan begitu, ia merasa main aman. Bukan seperti menebak permainan dadu. Dan sebulan, dua bulan, lima bulan, Murni melihat Anton lebih menyenangkan, lebih memperhatikan. “Cerpen Anda yang dimuat  kemarin di tabloid, saya curigai sebagai kisah nyata,” katanya suatu ketika. Dan senyum Murni, walau tak semanis gula adalah semacam pengiyaan atas tanya itu. “Cerita cinta memang tak ada habisnya,” lanjut Anton dengan senyum penuh arti dalam balutan semanis madu dimata Murni. Ya, cerita cinta memang tidak apa habisnya. Murni meyakini itu sambil merajut keyakinan lama, bahwa ancaman Seno suatu hari tidak terbukti.



USIA yang terbilang sudah tidak lagi muda, hidup dirumah sendiri. Aktifitas sehari-hari dijalani Murni sebagai seorang pengajar disebuah madrasah. Darah ayahnya sebagai guru rupanya menitis dalam aliran hidupnya. Kalau malam tiba, --ketika murid lesnya sudah pulang--, Murni membunuh rasa sepi dengan menulis. Dengan menulis cerpen-cerpen itu, Murni merasa tidak sendiri. Tidak kesepian. Dan ketika tulisannya dimuat media, ia merasakan hal yang hanya terkalahkan oleh rasa bahagia seorang ibu yang baru melahirkan anaknya. Ya, melahirkan cerita cinta dalam kemasan kata indah, melahirkan pula kembarannya; kepuasan yang tiada tara. Dan pagi ini, ia sedang bersiap , membaca tulisannya sendiri. Tetapi kenapa Anton, laki-laki berkacamata itu belum juga muncul. Mana gerimis masih belum bosan membasahi pagi lagi. Dan tetes air yang jatuh berantai pada daun-daun mangga didepan rumahnya, kalau didengar lebih seksama, serupa mantera yang asing. Atau itu hanya suara gigil daun yang tak kuasa menghindari guyuran gerimis.


HARI Minggu pagi yang gerimis dipadu dengan menunggu yang bikin jemu, jam dinding berdenting delapan kali ketika Murni menyalakan laptopnya didalam kamar dengan jendela yang menghadap ke halaman depan dari sisi samping. Dari situ Murni bisa melihat rintik gerimis, bisa melihat pagar depan rumah, karenanya --seperti yang sudah-sudah--, ia bisa melihat Anton datang mengantar koran. Baru saja ia akan membuka edisi online koran itu, sebuah deru mesin motor yang sudah sangat ia kenal makin mendekat. Dan benar saja, Anton muncul. Dilihatnya, tumpukan koran yang biasanya diletakkan disela jok dan setang kemudinya telah habis terantar kerumah pelanggan. Disitu, ditempat  yang biasanya ditempati tumpukan koran, ada terselip sebungkus kado berlapis tas plastik. Bukan takut terkena debu tentu saja, karena debu di pagi yang gerimis ini telah menjelma menjadi benda lain. Sudahlah, tak perlu membahas debu, tak perlu pula membahas gerimis. Lihatlah, Murni menyambut Anton dengan pandang aneh. Belum pernah Anton mengirim koran pagi sesiang ini.

Maaf, agak siang. Sengaja,” katanya sambil melepas mantel dibibir teras. Sengaja, katanya. Aku ingin segera membaca cerpenku yang dimuat pagi ini sementara ia bilang sengaja datang mengantar koran agak siang, ada apa coba? Tetapi Murni buru-buru ingat, bisa saja Anton selepas subuh tadi tidur lagi. Pasti ia masih capek seharian kemarin sibuk sebagai remaja masjid yang sedang menggelar acara Mauludan. Dan malam tadi, Murni lihat Anton juga tampil sebagai MC.

Boleh saya duduk,” tanya Anton sambil menyerahkan koran, sebuah suara yang membuat Murni sadar dari lamunannya.

Murni terkesiap,” Oh, tentu saja,” sambil memegang koran Murni menyilakan.

Duduk diteras, pagi-pagi berhias gerimis, oh ada apa ini.

Hari ini saya ulang tahun. Ini ada hadiah untuk Bu Guru.”

Panggil saya Murni. Ya, Murni saja. Saya bukan guru Anda, kan?” Murni ingin menghangatkan pagi yang dingin. “Anda yang ulang tahun saya yang dapat hadiah, bagaimana ini?”

Bukan barang mahal. Tetapi saya lihat mm... Bu guru, eh mbak Murni, suka warna coklat. Semoga cocok.”

Boleh saya buka sekarang?”

Tentu saja.”

Oh, sebuah jilbab terlipat rapi dalam kardus mungil. Murni jadi ingat ibunya. Ya, ibunya yang pertama kali berhasil membuatnya menutupi mahkotanya, dari kelas dua SMA sampai sekarang. Dan, “Bercerminlah, engkau terlihat lebih cantik dengan jilbab coklat itu,” kata ibu kala itu. Ya jilbab coklat yang dibelikan ibu itu masih Murni simpan sampai sekarang. Kali ini, pagi ini, ia mendapatkan jilbab dengan warna nyaris sama. Apakah ini kebetulan?

Tunggu dulu, biasanya yang ulang tahun yang dapat kado. Ini kok aneh.” kata Murni. “Saya jadi malu, seharusnya saya yang ngasih hadiah. Tetapi mana tahu kalau hari ini Anda ulang tahun.”

Baiklah kalau begitu,” kata Anton. “Sampeyan  boleh memberi saya hadiah, tetapi bentuknya saya yang menentukan. Bagaimana?”

Murni tertawa kecil mendengar lanjutan kelucuan ini.” Memangnya Anda mau hadiah dalam bentuk apa?”

Hati yang murni.”

Murni tak ada alasan tidak untuk diam. Bukan saat yang tepat untuk tertawa. Lagian, sorot mata Anton mencerminkan ia tidak sedang melucu.

Bisa diulangi sekali lagi?” pinta Murni.

Sebuah cinta.”

Murni diam. Gerimis yang menjelma menjadi hujan suaranya kalah riuh dibanding gejolak hati yang gaduh. Yang kasat mata, beberapa saat suasana hening. Dua insan sedang membiarkan hujan menari-nari menghias pagi sesuka hati. Murni mendekap erat jilbab hadiah dari Anton. Saat berikutnya  ia tutupkan kain itu kewajahnya. Hangat terasa matanya. Kemudian, Murni merasakan air mata itu tak sanggup ia bendung.

Kenapa menangis?” Anton menatap penuh harap. “Jangan salah duga, sebagai laki-laki saya telah siap mendapat jawaban terburuk hari ini. Katakanlah, sepahit apapun kenyataan, akan saya telan.”

Murni mengeleng. Sebuah gelengan sebagai pencegah Anton menelan kepahitan.*****

Definisi Menulis

MENULIS adalah menulis, menulis adalah menulis, menulis adalah menulis dan seterusnya.

Getrude Stein, penulis Amerika (1874-1946)

Senin, 27 Februari 2012

Nyai Roro Kidul Sudah Hajjah?

WALAU belum tentu setiap khotib sholat Jumat memiliki ilmu hipnotis, seringkali saya tertidur ditengah-tengahnya. Dan tidur itu, jujur saja, terlaksana antara tertidur atau memang sudah saya nawaitu terlebih dulu. Tetapi Jumat kemarin (24 Pebruari), saya benar-benar tidak tertidur atau menidurkan diri. Karena, belum sempat saya disentuh rasa kantuk, khutbah telah selesai. Benar-benar khutbah kategori Patas. Dan, jam duabelas lebih sepuluh menit, saya sudah tiba lagi di tempat kerja yang berjarak sekitar dua ratus meter dari masjid.

Jam kerja masih lama. Intinya, masih ada waktu lebih dari tiga puluh lima menit untuk istirahat. Dan saya menuju driver lounge untuk melampiaskan hasrat tidur. Kipas angin besar yang berputar di langit-langit menghembuskan kesejukan yang sepertinya akan bisa mempercepat proses tidur siang saya. Tetapi Wiratno, teman kerja saya yang juga ikut istirahat ditempat itu, malah dengan lancang memindah saluran televisi dari HBO ke TVRI. Ia yang memang aktif dikegiatan masjid dikampungnya, rupanya hapal betul kalau hari Jumat di jam segitu sedang ada siaran live dari masjid Istiqlal.

Benar saja; dan acara khutnah Jumat sedang baru saja dimulai. Mata saya yang terpejam (mungkin ditiup-tiup setan) malas sekali untuk sedikit saja melihat layar televisi. Tetapi rupanya si setan belum berhasil menyumpal lobang telinga saya. Makanya, saya masih saja mendengar isi khutbahnya. Ini dia, di masjid tadi khutbah hanya sejenis Kultum, di driver lounge ini khutbahnya bermenit-menit.

Karena mata saya terpejam, saya tidak tahu nama sang khotib yang tentu saja beberapa menit sekali tertulis dibagian bawah layar televisi. Yang saya ingat adalah, kali itu khotib membahas tentang perkembangan Islam dari zaman ke zaman ditinjau dari segi  local wisdom.

Diantaranya dipaparkan, untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa Sunan Kalijaga memakai media pewayangan. Tentu saja setelah dipermak sedemikian rupa. Karena dalam cerita pewayangan made in India, menurut khotib, Si Pendawa Lima itu ternyata memiliki satu istri bernama Drupadi. Si Dewi ini melakukan praktik poliandri, sesuatu yang tidak Islam sama sekali. Makanya Sunan Kalijaga memodifikasi menjadi si Pendawa Lima itu adalah anak-anak dari Dewi Kunti.

Masih menurut sang khotib, laku penyebaran Islam dengan model begitu, belakangan masih saja terjadi. Salah satunya adalah yang dipakai beberapa 'orang pintar' di beberapa daerah yang masih sangat kental dengan kepercayaan terhadap hal-hal mistis. Tentang Nyai Roro Kidul, misalnya. Disebutkan sang khotib, ada 'orang pintar' yang dengan berani bilang kepada orang yang sering meminta jasanya bahwa Nyai Roro Kidul itu adalah seorang muslimah. Dan sekarang sudah bergelar hajjah!

Dalam kemampuan supranaturalnya, 'orang pintar' tadi melihat sang penguasa laut selatan itu sekarang sudah tampil tertutup, berbusana muslimah. (Tidak lagi menggunakan busana yang dulu sering kita tonton lewat film-film Suzana atau yang akan diteruskan oleh si Jupe yang sepertinya hobby sekali menonjolkan bagian tubuh yang sebenarnya sudah menonjol itu.) Makanya, kepada setiap pasien-nya, si 'orang pintar' ini menganjurkan agar setiap wanita yang datang meminta tolong kepadanya agar berbusana muslimah.

Saya tentu tidak serta merta menuduh para wanita yang sekarang sedang menjadi sorotan publik karena berbagai kasus hukum, selalu saja mengubah penampilan kesehariannya , paling tidak, dengan berkerudung, adalah para pasien si 'orang pintar' yang dalam setiap lakunya selalu meminta tolong kepada Nyai Roro Kidul tadi. Tetapi kalau memang begitu kecenderungannya, jangan salahkan para penjual kerudung bila dalam doanya sesekali meminta agar lebih banyak lagi wanita yang terkena kasus agar barang dagangannya semakin laku.

Salam.*****

Selasa, 21 Februari 2012

Nasihat Lewat Pantat


isih enak jamanku biyen....

BEGITU sebaris kalimat yang tertera disebuah pantat truk, lengkap dengan gambar wajah yang sangat saya kenal; Pak Harto. Senyum mendiang presiden kita yang tergambar pada tutup belakang sebuah truk itu, saya curigai digambar dengan menjiplak foto pada selembar uang lima puluh ribuan. Senyum yang 'anggun'. Yang, seperti terungkap pada tulisan diatas, masih ada yang merinduinya. Kerinduan akan harga sembako yang terjangkau dan lain-lain.

Tentu saya tidak sedang akan mengajak sampeyan untuk berbicara tentang beliau dari sisi lain yang tentu bisa lebih ramai. Tidak. Saya hanya fokus pada tulisan-tulisan lain yang sering kita temukan dipantat-pantat kendaraan, wabil khusus; pantat truk. Tulisan-tulisan itu tidak sedikit yang agak kotor, walau mungkin diniati hanya sebagai humor. Dan karena saya yakin sampeyan adalah orang-orang yang sopan, yang merasa risih membincangkan hal-hal yang berbau 'ngeres', baiklah, kita batasi tulisan-tulisan itu dari sisi yang santun saja.

Kutunggu jandamu,” entah ada berapa truk yang memampang tulisan itu dipantatnya. Yakinlah, itu hanya gurauan semata. Atau, paling tidak, memang hanya sebatas itu kreatifitas si penulisnya. Tetapi, bila diperhatikan lebih dalam, kalimat itu sebagai ungkapan yang mempertegas sebuah tulisan lain; “An 3 Dis.” Ya, masuk akal, kan. Bila Anti Gadis, ia malah memilih menunggunya menjadi janda.

Doa Ibu,” begitu kata mbak Chichi ketika saya minta mengingat kalimat yang tertera dipantat truk dalam status FB saya pagi tadi. “Kok gak ada Doa Ayah, ya?” lanjutnya.

Banyak. Ada banyak sekali kalau kita mau tulis disini. Misalnya Buronan Mertua, Pulang Malu Tak Pulang Rindu, Aku Bukan Bang Thoyib, Cintamu tak Seberat Muatanku, Jaga Jarak, dan lain-lain.

Kemarin sore (20 Pebruari 2012), sepulang saya dari ta'ziyah ke Lamongan, disebuah jalan yang merambat, dipantat sebuah mobil box saya dapati kalimat yang lumayan panjang. Dari bentuk tulisannya saya tahu, itu bukan dicetak secara serius seperti sticker Kalau Pengemudi Kendaraan ini Membahayakan Anda Harap Hubungi Kami. Bukan. Ia hanyalah tulisan tangan memakai spidol besar. Sayang sekali saya tak ingat nopol mobilnya. Tetapi saya masih sangat ingat bunyi kalimatnya. Begini; “Mengecewakan bos adalah bahaya besar. Tetapi mengecewakan konsumen adalah bahaya lebih besar. Karena konsumen adalah bosnya bos...”

Salam.*****

Jumat, 17 Februari 2012

Menang

ANDA harus tahu Anda bisa menang. Anda harus berpikir Anda bisa menang, dan Anda harus merasakan Anda bisa menang.

Sugar Ray Leonard,
Petinju Amerika Serikat.

Kesalahan

ORANG yang tidak pernah melakukan kesalahan biasanya tidak menghasilkan apa-apa.

Edward John Phelps (1822-1900)
Diplomat dan Ahli Hukum, Amerika.

Senin, 13 Februari 2012

Belajar Kepada Penyiar


KESUKAAN saya membaca, kalau saya tidak salah ingat, datang berbarengan dengan kesukaan saya mendengarkan radio. Dan, selain radio lokal, ada beberapa radio luar yang rutin saya kuping. Sebutlah misalnya, Radio Australia, BBC, VOA, atau Radio Netherland siaran Indonesia. Telinga saya cukup akrab dengan suara Ebet Kadarusman (ABC Australia), atau Ayun Sundari, Arya Gunawan, Gogo Prayoga dan Helen Lumban Gaol (BBC London), Bari Mochtar (Ranesi- Radio Netherland Siaran Indonesia), atau Suprapto (VOA- Suara Amerika). Saat itu, acara siaran dari stasiun asing masih belum boleh di relay oleh stasiun lokal. Jadinya, mengupingnya pun kadang sampai benar-benar harus menempelkan radio ke kuping. Karena gelombang pendek (SW) sering diterima radio saya dengan suara timbul-tenggelam.

Kalau penyiar lokal yang saya ingat kala itu, tentu saja Meutia Kasim yang saban Minggu nongol di acara WeeklyTop40. Berisi tangga lagu-lagu top yang lagi kondang saat itu, dengan kiblat Amerika Serikat. Dan untuk acara serupa dengan kiblat Eropa, saya dengar yang buatan Radio Netherland; Europe Parade.


Kalau kesukaan membaca kemudian memantik keinginan saya untuk turut bisa membuat bacaan, karenanya lalu saya mulai belajar menulis. Sejak itu dan sampai sekarang. Bukankah belajar memang tiada batas waktu? Juga, ketika suka mendengarkan radio, sedikit demi sedikit saya juga membuat impian tentang betapa enaknya menjadi seorang penyiar. Maka, ketika orang lain ketika mandi suka sambil menyanyi, karena saya tidak bisa menyanyi, dalam sambil mandi itu lebih sering saya seolah sedang siaran radio!


Tempo hari saya dapati selebaran tentang pelatihan menjadi penyiar ditempel di papan-papan pengumuman dikampung, saya langsung daftar ikut. Toh pelatihan itu dilaksanakan hari Sabtu (11 Pebruari kemarin) dan kebetulan saya sedang libur kerja. Kebetulannya lagi, lokasi pelatihan itu hanya kurang dari seratus meter dari rumah saya. Tepatnya, disalah satu ruang di gedung Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan - Universitas Surabaya (Pusdakota Ubaya).

Walau sudah termasuk peserta paling tua, setidaknya saya merasa sebagai yang paling ganteng. Saya seakan adalah si Jaka Tarup diantara para bidadari. Tentu, karena peserta lainnya plus seorang instrukturnya semua  perempuan. Sebagai lelaki tua yang sendiri di sarang perempuan begitu, saya hilangkan semua keminderan. Saya datang kesini toh untuk belajar. Agar besok-besok, ketika saya siaran dikamar mandi, paling tidak saya sudah dalam teknik yang tidak keliru.


Disitu, ketika saya mengikuti pelatihan itu, saya baru tahu, selain harus bisa olah nafas sedemikian rupa, seorang penyiar sebelum siaran harus melakukan senam dulu. Tentu senam khusus; yang bisa melancarkan saat siaran. Agar bicara tidak belepotan dan tidak sampai kehabisan kata. Nama salah satu gerakan senam ini namanya sangar; Lion Face! Gerakannya begini; tangan posisi seperti hendak menerkam, mata disipitkan sesipit-sipitnya, gigi dikatupkan se-nggeget-nggeget-nya. Ini dilakukan sekitar dalam hitungan sepuluh detik. Selanjutnya, dengan tangan masih dengan posisi sama, tetapi kali ini mulut dimonyongkan semonyong-monyongnya, mata dimelototkan semelotot-melototnya, lidah dijulurkan sepanjang-panjangnya. Ini juga sepuluh detik. Gerakan lainnya adalah  menjulurkan lidah dan diputar-putar menjilati bibir sendiri dalam putaran kekiri tujuh hitungan dan kekanan juga tujuh hitungan. Kemudian mengurut rahang sendiri, dilanjut mengurut tenggorokan.

Heran, dengan hanya melakukan gerakan 'aneh' begitu pun keringat saya sudah ndrodos keluar. Tetapi terus terang saya kurang konsentrasi. Takut anak saya tiba-tiba nongol dan melihat bapaknya berlagak seperti singa yang melotot hendak menerkam mangsa, wah bisa girap-girap anak saya.


Jam dua belas siang, kami rehat sejenak. Semua berkumpul di pendopo untuk makan siang. Peserta latihan penyiar bergabung dengan peserta pelatihan lainnya yang kali itu sedang membahas topik urban farming.

Setelah makan siang dan sholat dhuhur, pelatihan kembali dilanjutkan. Kali ini praktek lapangan. Yang pertanian ke lahan pertanian yang juga ada dilokasi itu, yang latihan penyiar langsung praktek siaran di studio yang juga tersedia. Disitu ada bedanya. Yang petani, karena memang pada dasarnya adalah sudah bertani, dan disini hanya di ubah mindset-nya agar lebih menggunakan pupuk organik, tentu adalah gampang. Bagi penyiar, tunggu dulu. Bicara sendiri didepan seperangkat alat siaran (ada mixer, pakai headphone, menghadap komputer dan didepan bibir ada mikrophon dan tidak bicara secara face to face dengan lawan bicara), saya yang sudah diajari membuat radio script sebelum siaran, semua langsung buyar. Bicara dengan cara begitu ternyata tidak gampang. Menjadi penyiar ternyata adalah pekerjaan besar!

Setelah pelatihan itu, saya jadi sadar. Bicara untuk enak didengar orang lain harus ada persiapan. Tidak asal keluar suara, tidak asal berkoar. Harus bisa meredam emosi pribadi. Harus jelas intonasinya, jelas artikulasinya, juga dengan aksentuasi yang sedemikian rupa. Bicara begitu, yang enak didengar itu, yang menyenangkan orang begitu, tentu tidak melulu bisa diterapkan untuk siaran radio semata. Dalam kehidupan sehari-hari pun tentu juga perlu.

Salam.****


Cinta dan Revolusi

TINGKAT cinta tertinggi adalah revolusi.


(Che Guevara)

Kamis, 09 Februari 2012

Biasa Menjadi Orang Biasa


KALAU saja ukuran kuno tidaknya seseorang dinilai dari pernah-tidaknya ia merayakan ulang tahun, saya termasuk yang kuno, tentu saja. Lebih-lebih, ketika saya tahu semua data yang menyangkut tanggal lahir saya itu palsu dan hasil rekayasa, makin tak pedulilah saya akan ulang tahun diri sendiri.

Tetapi ketika tempo hari saya mengurus surat mutasi penduduk dari desa ke Surabaya ini harus menyertakan foto kopi surat nikah yang dilegalisir KUA, mau tak mau saya sedikit membaca isinya. Disitu tertera; saya menikah tanggal 9 Pebruari 1999. Dan, hari ini tanggal 9 Pebruari 2012. Artinya, hari ini ulang tahun pernikahan saya yang ke 13!

Tentu saya bersyukur. Ternyata sudah segitu lama saya berumah tangga. Lebih bersyukur lagi, itu saya jalani sebagai orang biasa. Maksudnya, kalau saja saya seorang selebritas, tentulah saya akan repot sekali menerima pertanyaan kerumunan wartawan infotainment yang ingin tahu resep menjaga rumah tangga utuh sampai belasan tahun begini. Sekali lagi, saya bersyukur menjadi orang biasa.

Tentang apakah istri saya ingat hari ini ulang tahun pernikahan kami yang ke 13, saya yakin ia juga tak mengingatnya. Buktinya, tadi pagi ia malah lebih ingat kebutuhan sehari-hari; persediaan beras di dapur yang tinggal tiga kilogram, kompor gas pemberian pemerintah yang sudah keropos-karatan dan waktunya minta ganti, tagihan rekening air yang sudah waktunya dibayar, token (pulsa) listrik prabayar yang tinggal beberapa kWh, susu si kecil, uang saku si sulung  dan sebagainya, dan sebagainya.

Sebagai orang biasa, hal-hal biasa macam itu biasanya bisa kami atasi dengan biasa-biasa saja. Menjalani hidup dengan biasa begitu, ternyata sudah kami lakukan sekian lama; 13 tahun! Sekali lagi saya bersyukur dengan cara biasa. Tanpa pesta, tanpa meniup lilin, sekaligus tanpa nelangsa.

Salam.

Selasa, 07 Februari 2012

Hasrat

HASRAT semata tanpa tindakan akan membiakkan penyakit.

William Blake (1757-1827)
-penyair Inggris.

Senin, 06 Februari 2012

Menanam Rumput


KALAU saya hitung-hitung, hari ini saya sudah lebih limabelas tahun tinggal di Surabaya. Waktu selama itu, terus terang saya belum tertarik untuk menjadi Bonek, suporter kesebelasan kota ini yang punya nama ‘hebat’ itu. Walau begitu, bukan berarti saya tidak pernah mBonek. Tigabelas tahun yang lalu, ketika menikah saya pun telah berlaku mBonek. Nekat saja. Tentu saya tak hendak mengajak sampeyan  untuk ikut nekat, kawin lagi, misalnya. Tidak. Tetapi lihatlah, ketika sebuah kehendak yang hanya berhenti sampai kepada keinginan tanpa disertai upaya (yang kadang butuh sentuhan kenekatan), ia hanyalah bukan apa-apa.  Urusan menikah pun, kalau terlalu banyak perhitungan, niscaya hanya akan mengakibatkan 'telaten'; telat jadi manten.

Ketika 10 Nopember kemarin saya merenovasi rumah pun tetap dalam rangka nekat juga. Dengan dana sekitar seharga kursi ruang Banggar DPR yang setelah ribut-ribut lalu dikembalikan itu, saya nawaitu  memoles rumah; nambah satu kamar untuk Edwin, plus membentuk wajah. Karena, lebih dari tiga tahun, rumah saya hanyalah berbentuk setengah badan. Belum nampak wajahnya. Tetapi dengan dana segitu, bagaimana saya mengolahnya?

Saya tentu realistis. Modal minimalis , saya pikir, tentu cocok untuk model yang juga minimalis. Dan, betul kecurigaan saya; saya betul-betul keliru! Rumah minimalis ternyata butuh modal maksimalis. Bukti konkret dari kenyataan itu adalah, sekali lagi, renovasi rumah saya berhenti ditengah jalan. Tak apalah. Karena dengan keadaan itu pun, saya syukuri dengan tiada henti. Tentu saya tahu, ada orang kaya yang mempunyai banyak rumah tetapi malah tidak sempat meninggalinya. Sebaliknya, juga tidak sedikit orang yang bertahun-tahun meninggali sebuah rumah, tetapi belum sempat memilikinya. Saya, dalam hal ini, tentu sudah sangat beruntung.

Rumah minimalis yang saya bangun dengan modal minimalis berdiri sudah. Belum dicat, atau belum diberi finishing touch lainnya, tak apalah. Tetapi saya ingin mengindahkannya. Sebentuk taman kecil didepan teras hendak saya tanami rumput. Untuk keperluan itu, saya bertanya kepada seorang teman yang ekspert dibidang pertamanan. Dan dia malah menertawai saya. Begini katanya, “Sampeyan sudah berlogika orang kaya rupanya. Kalau orang belum kaya, sedikit taman didepan rumah, selalu ditanami aneka pohon yang menghasilkan; rambutan, jambu, mangga atau ditanami aneka sayuran. Lha ini sampeyan malah akan menanami rumput. Salut, salut. Berarti sampeyan sudah one step a head’...”

Bukannya memberi saya opsi rumput apa yang cocok untuk maksud saya. Teman saya itu malah mengkhotbahi saya tentang antara kaya dan belum kaya. Pada akhir pembicaraan, saya jadi ingat, saya pernah memasangkan lukisan milik orang kaya. Yang harganya,  35 juta! Oho, uang segitu untuk selembar lukisan yang menurut saya hanyalah sekadar corat-coret aneka warna yang bagi saya memumetkan. Tetapi sebuah keindahan, suatu pemuas batin, tentu harganya lebih tak ternominalkan.

Sudahlah, saya tak ingin bertambah mumet memikir kebiasaan orang-arang kaya itu. Menanam rumput pun saya maknai sederhana saja. Walau kalau dipikir-pikir, benar juga kata sahabat saya tadi. Tetapi sudahlah. Sesuatu kalau diterawang lebih dalam, bagi saya, adalah sama saja. Indah dan bagus itu semata perkara kulit, hanya casing. Yang penting dalamnya; intinya.

Meskipun rumah saya ini kalau dilihat masih nampak belum rampung, bila disangkut-pautkan (secara paksa) dalam istilah baiti jannati, paling tidak saya telah punya sebuah sorga. Walau bentuknya masih setengah jadi.*****

Bunyi Pemanggil Pembeli


SEKALIPUN gang di depan rumah saya ini adalah gang buntu, ia tak luput dari rambahan para penjaja makanan. Sekalipun pintu rumah sudah saya tutup, saking hapalnya, saya bisa menebak penjual apa yang lagi lewat, hanya dari suara khasnya. Suara itu, sampeyan tahu, bukan melulu berasal dari mulut. Bahkan sebagian besar adalah bebunyian dari alat bantu tertentu.

Bila yang terdengar adalah suara tuuuttttt seperti bunyi nada sambung telepon, saya tahu yang sedang lewat adalah penjual putu. Memang, penjual putu lebih memercayakan kepada bunyi yang ditimbulkan oleh semacam cerobong kecil yang dibentuk sedemikian rupa dan diletakkan diatas dandang tempat memasak putu, ketimbang teriakan mulut atau alat bunyi lain. Satu lagi, asap putih yang menyertai bunyi itu, turut pula menyebarkan aroma wangi pandan. Hal itu, tentu sudah cukup untuk menggugah lidah bagi yang sedang kepingin menikmati kue putu.

Tetapi, saya kira, bebunyian yang banyak dipakai adalah semacam terompet kecil dengan bulatan karet dibelakang. Yang berbunyi tit-tot, tit-tot bila ditekan. Alat ini, bila tidak melihat penjualnya secara langsung, saya sering keliru menebak. Ia dipakai oleh penjual donat, es potong sampai pentol seratusan. Sepertinya, agar tidak menimbulkan kebingungan dan kerancuan, mereka perlu melakukan perundingan.

Tetapi kerancuan bukan melulu dimiliki si tit-tot, tit-tot itu. Penjual mie pangsit dan nasi goreng pun memakai alat sama; kentongan bambu. Kentongan pula, tetapi yang ini ukurannya kecil dan terbuat dari kayu--, saya dapati pula dipakai mas penjual bakwan Bromo. Ya, saya sebut begitu karena saya dapati memang si bakwan ini dikelola lebih modern. Cat armada gerobak yang sama, seragam penjual yang sama dan tentu saja bunyi dan bentuk kentongan yang sama. Bakwan Bromo ini pernah pula saya dapati di luar kota. Adakah ia juga telah merambah daerah sampeyan?

Yang legendaris, seingat saya, adalah penjual es tung-tung. Es puter (karena cara bikinnya yang diputer-puter) itu, didesa saya disebut juga sebagai es tung-tung. Karena, si penjual selalu menabuh gamelan yang digantung didekat pegangan tangan gerobaknya. Bunyi tung-tung yang ditimbulkan, menjadikan es yang biasanya diwadahi semacam contong saat saya membeli itu, dinobatkan sebagai es tung-tung.

Penjual tentu ada juga yang masih memakai teriakan sebagai penanda kehadirannya. Penjual sate, misalnya. Atau lontong kikil yang masih setia dengan lampu minyaknya. Ohya, jagung rebus dan tahu campur masih dijajakan dengan cara berteriak. Kalau tahu tek, memakai wajan yang dipukul sebagai pemanggil pembeli. Walau, konon dinamakan tahu tek karena bunyi gunting yang dipakai memotong-motong tahu itu awal mulanya.

Yang khas, tentu saja, adalah penjual arumanis. Dari dulu, dari jaman saya masih kanak-kanak, sampai sekarang cara menjajakannya masih tetap sama. Ini lebih kepada sentuhan seni. Tepatnya seni musik. Penjualnya tidak memakai gerobak, tetapi menggunakan kaleng krupuk yang dimodivikasi sedemikian rupa. Pelengkapnya adalah alat musik semacam biola. Penjual yang selalu berjalan kaki ini, menandai kehdirannya dengan bunyi khas alat musik gesek itu.

Ada juga yang tampil dengan sentuhan kemajuan jaman. Sudah tidak pakai kentongan atau memukul-mukul mangkok dengan sendok seperti penjual bakso. Pedagang keripik sudah memakai rekaman. Begini bunyinya, “Keripik pisang, keripik singkong enak'e, rek....” begitu berulang ulang.

Dari semua cara penjual menjajakan dagangannya itu, satu yang paling saya ingat. Penjual es cendol dikampung saya, memakai sejenis klintingan yang biasa dikenakan keleher sapi untuk memanggil pembeli. Klintingan itu, yang diletakkan didekat pegangan gerobak dorong itu, sambil digoyang-goyang selalu. Sampai menimbulkan bunyi klinting-klinting. Sampai bunyi klinting-klinting-nya mengilhami kami, anak-anak, untuk menggubah sebuah lagu. Lagu itu secara khusus sering ditujukan kepada saya. Begini bunyi liriknya; “Inting-inting es, abang-abang setrup, edi rembes gak tau raup...”*****


Minggu, 05 Februari 2012

Khasiat Doa


PRASANGKA bisa menjadi petaka. Prasangka pula yang menyebabkan adanya mata-mata. Dalam perang dingin, sebenarnya peran para mata-mata tidak bisa dianggap dingin. Tentu saya tak hendak bicara tentang aksi spionanse yang sering menjadi setting film-film action kegemaran saya. Tetapi ini sekadar tentang prasangka. Tepatnya prasangka buruk. Dalam bahasa lain dibilang  su’udzon.

Barusan, karena lama tidak makan mie pangsit di lapaknya adik ipar, saya kesana dalam rangka minta gratisan. Tetapi, alamaaakkkk..., ramai nian yang lagi antri. Tentu saya tahu diri. Tidag ujug-ujug minta didulukan berdasar azaz kekeluargaan. Tidak. Saya harus membantu dulu. Seperti biasa saya pun lantas bantu-bantu mencuci mangkok, gelas atau mengelap meja.

Pelanggan yang datang terus mengalir. Sebagian besar membeli untuk dibawa pulang. Sampai kemudian adik saya itu kehabisan plastik pembungkus. Maka saya menawarkan diri untuk membelikannya di toko sebelah. Sebuah toko lama dengan pengelola baru.

“Beli plastik dua, dan penyedap rasa dua,” kata saya.

“Oo, membelikan penjual pangsit ya?”

Tentu saja saya mengiyakan pertanyaan penunggu toko itu.

“Saking ramainya sampai tak sempat membeli plastik sendiri,” seorang ibu, yang lagi momong didepan toko, menimpali. “Baru libur dari pulang kampung, jualannya ramai sekali,” lanjutnya.

“Tidak heran,” seorang bapak menyahut. “Setiap dari pulang kampung, dagangannya selalu laris.”

Nada bicaranya terdengar curiga. Konotasinya, pulang kampung itu dimaknai sebagai mencari  ‘sesuatu’ agar jualannya laku keras.

Sambil menunggu uang kembalian, saya diam. Mereka tentu tidak tahu kalau saya kakak si penjual pangsit itu. Juga, tentu saja mereka tidak tahu kalau adik saya tempo hari pulang kampung dalam rangka menengok bapak dan emak di desa. Dan bukan dalam rangka mencari penglaris.


Baiklah, sekarang saya ingin meninjaunya dari segi yang masuk akal saja. Begini; bagi pelanggan setia, beberapa hari lidah tidak merasakan masakan kegemarannya, tentu menimbulkan kerinduan yang sangat. Dan, sekalipun penjual makanan sejenis banyak sekali, kalau lidah sudah kadung cocok ke masakan penjual tertentu, sudah barang tentu  tak semudah itu mencari pelarian. Dan tadi, ketika tahu adik saya sudah buka, beberapa  pelanggan ingin menumpahkan kerinduannya pada yang namanya mie pangsit. Para pelanggan itu, tanpa berjanji datang dalam waktu nyaris bersamaan. Jadinya lapak tempat jualan yang tak seberapa luas menjadi penuh sesak. Ini yang rupanya dicurigai sebagai pakai penglaris. Itu pertama.

Kedua, saya harap ini juga bisa sampeyan  terima sebagai sesuatu yang masuk akal; pulang kampung dalam rangka menemui orang tua adalah sesuatu yang terpuji. Bukankah sering kita dengar petuah bahwa restu Tuhan harus melalui dulu restu orang tua (baca: ibu) dulu. Dan pulang kampung itu, menemui ibu dan bapak itu, adalah dalam rangka meminta doa. Doa kebaikan, tentu saja. Ketika ibu mendoakan, terkabul adalah suatu keniscayaan. Kebaikan apapun yang kita minta.

Menulis ini pun saya sedang rindu kepada ibu. Juga bapak tentu saja. Saya tahu, tanpa saya minta pun tentu beliau itu terus mendoakan semua anaknya, termasuk saya. Tetapi dengan datang langsung, saya kira sebuah doa akan makin terasa khasiatnya.*****