KESUKAAN saya membaca, kalau
saya tidak salah ingat, datang berbarengan dengan kesukaan saya
mendengarkan radio. Dan, selain radio lokal, ada beberapa radio luar
yang rutin saya kuping. Sebutlah misalnya, Radio Australia, BBC,
VOA, atau Radio Netherland siaran Indonesia. Telinga saya
cukup akrab dengan suara Ebet Kadarusman (ABC Australia), atau Ayun
Sundari, Arya Gunawan, Gogo Prayoga dan Helen Lumban Gaol (BBC
London), Bari Mochtar (Ranesi- Radio Netherland Siaran Indonesia), atau Suprapto (VOA- Suara Amerika). Saat itu, acara siaran dari stasiun asing masih belum boleh di relay oleh stasiun lokal. Jadinya, mengupingnya pun kadang sampai benar-benar harus menempelkan radio ke kuping. Karena gelombang pendek (SW) sering diterima radio saya dengan suara timbul-tenggelam.
Kalau penyiar lokal yang saya ingat kala itu, tentu saja Meutia Kasim yang saban Minggu nongol di acara WeeklyTop40. Berisi tangga lagu-lagu top yang lagi kondang saat itu, dengan kiblat Amerika Serikat. Dan untuk acara serupa dengan kiblat Eropa, saya dengar yang buatan Radio Netherland; Europe Parade.
Kalau penyiar lokal yang saya ingat kala itu, tentu saja Meutia Kasim yang saban Minggu nongol di acara WeeklyTop40. Berisi tangga lagu-lagu top yang lagi kondang saat itu, dengan kiblat Amerika Serikat. Dan untuk acara serupa dengan kiblat Eropa, saya dengar yang buatan Radio Netherland; Europe Parade.
Kalau kesukaan membaca kemudian memantik
keinginan saya untuk turut bisa membuat bacaan, karenanya lalu saya mulai belajar
menulis. Sejak itu dan sampai sekarang. Bukankah belajar memang tiada
batas waktu? Juga, ketika suka mendengarkan radio, sedikit demi
sedikit saya juga membuat impian tentang betapa enaknya menjadi
seorang penyiar. Maka, ketika orang lain ketika mandi suka
sambil menyanyi, karena saya tidak bisa menyanyi, dalam sambil mandi
itu lebih sering saya seolah sedang siaran radio!
Tempo hari saya dapati
selebaran tentang pelatihan menjadi penyiar ditempel di papan-papan pengumuman dikampung, saya langsung daftar ikut. Toh
pelatihan itu dilaksanakan hari Sabtu (11 Pebruari kemarin) dan
kebetulan saya sedang libur kerja. Kebetulannya lagi, lokasi
pelatihan itu hanya kurang dari seratus meter dari rumah saya.
Tepatnya, disalah satu ruang di gedung Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan - Universitas Surabaya (Pusdakota Ubaya).
Walau sudah termasuk peserta paling
tua, setidaknya saya merasa sebagai yang paling ganteng. Saya seakan adalah si Jaka Tarup diantara para bidadari. Tentu, karena
peserta lainnya plus seorang instrukturnya semua perempuan.
Sebagai lelaki tua yang sendiri di sarang perempuan begitu, saya
hilangkan semua keminderan. Saya datang kesini toh untuk
belajar. Agar besok-besok, ketika saya siaran dikamar mandi, paling tidak saya sudah
dalam teknik yang tidak keliru.
Disitu, ketika saya mengikuti pelatihan
itu, saya baru tahu, selain harus bisa olah nafas sedemikian rupa, seorang penyiar sebelum siaran harus melakukan senam dulu. Tentu senam khusus; yang bisa melancarkan saat
siaran. Agar bicara tidak belepotan dan tidak sampai kehabisan kata.
Nama salah satu gerakan senam ini namanya sangar; Lion Face!
Gerakannya begini; tangan posisi seperti hendak menerkam, mata disipitkan sesipit-sipitnya,
gigi dikatupkan se-nggeget-nggeget-nya.
Ini dilakukan sekitar dalam hitungan sepuluh detik. Selanjutnya,
dengan tangan masih dengan posisi sama, tetapi kali ini mulut
dimonyongkan semonyong-monyongnya, mata dimelototkan
semelotot-melototnya, lidah dijulurkan sepanjang-panjangnya. Ini juga
sepuluh detik. Gerakan lainnya adalah menjulurkan lidah dan diputar-putar menjilati bibir sendiri dalam putaran kekiri tujuh hitungan dan kekanan juga tujuh hitungan. Kemudian mengurut rahang sendiri, dilanjut mengurut tenggorokan.
Heran, dengan hanya melakukan gerakan 'aneh' begitu pun keringat saya sudah ndrodos keluar. Tetapi terus terang saya kurang
konsentrasi. Takut anak saya tiba-tiba nongol dan melihat bapaknya
berlagak seperti singa yang melotot hendak menerkam mangsa, wah bisa girap-girap anak saya.
Jam dua belas siang, kami rehat
sejenak. Semua berkumpul di pendopo untuk makan siang. Peserta
latihan penyiar bergabung dengan peserta pelatihan lainnya yang kali
itu sedang membahas topik urban farming.
Setelah makan siang dan sholat dhuhur,
pelatihan kembali dilanjutkan. Kali ini praktek lapangan. Yang
pertanian ke lahan pertanian yang juga ada dilokasi itu, yang latihan
penyiar langsung praktek siaran di studio yang juga tersedia. Disitu
ada bedanya. Yang petani, karena memang pada dasarnya adalah sudah
bertani, dan disini hanya di ubah mindset-nya agar lebih
menggunakan pupuk organik, tentu adalah gampang. Bagi penyiar, tunggu
dulu. Bicara sendiri didepan seperangkat alat siaran (ada mixer, pakai
headphone, menghadap komputer dan didepan bibir ada mikrophon dan
tidak bicara secara face to face dengan lawan bicara), saya
yang sudah diajari membuat radio script sebelum siaran, semua
langsung buyar. Bicara dengan cara begitu ternyata tidak gampang.
Menjadi penyiar ternyata adalah pekerjaan besar!
Setelah pelatihan itu, saya jadi sadar.
Bicara untuk enak didengar orang lain harus ada persiapan. Tidak asal
keluar suara, tidak asal berkoar. Harus bisa meredam emosi pribadi. Harus jelas intonasinya, jelas artikulasinya, juga
dengan aksentuasi yang sedemikian rupa. Bicara begitu, yang enak
didengar itu, yang menyenangkan orang begitu, tentu tidak melulu bisa diterapkan untuk
siaran radio semata. Dalam kehidupan sehari-hari pun tentu juga perlu.
Salam.****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar