Senin, 13 Februari 2012

Belajar Kepada Penyiar


KESUKAAN saya membaca, kalau saya tidak salah ingat, datang berbarengan dengan kesukaan saya mendengarkan radio. Dan, selain radio lokal, ada beberapa radio luar yang rutin saya kuping. Sebutlah misalnya, Radio Australia, BBC, VOA, atau Radio Netherland siaran Indonesia. Telinga saya cukup akrab dengan suara Ebet Kadarusman (ABC Australia), atau Ayun Sundari, Arya Gunawan, Gogo Prayoga dan Helen Lumban Gaol (BBC London), Bari Mochtar (Ranesi- Radio Netherland Siaran Indonesia), atau Suprapto (VOA- Suara Amerika). Saat itu, acara siaran dari stasiun asing masih belum boleh di relay oleh stasiun lokal. Jadinya, mengupingnya pun kadang sampai benar-benar harus menempelkan radio ke kuping. Karena gelombang pendek (SW) sering diterima radio saya dengan suara timbul-tenggelam.

Kalau penyiar lokal yang saya ingat kala itu, tentu saja Meutia Kasim yang saban Minggu nongol di acara WeeklyTop40. Berisi tangga lagu-lagu top yang lagi kondang saat itu, dengan kiblat Amerika Serikat. Dan untuk acara serupa dengan kiblat Eropa, saya dengar yang buatan Radio Netherland; Europe Parade.


Kalau kesukaan membaca kemudian memantik keinginan saya untuk turut bisa membuat bacaan, karenanya lalu saya mulai belajar menulis. Sejak itu dan sampai sekarang. Bukankah belajar memang tiada batas waktu? Juga, ketika suka mendengarkan radio, sedikit demi sedikit saya juga membuat impian tentang betapa enaknya menjadi seorang penyiar. Maka, ketika orang lain ketika mandi suka sambil menyanyi, karena saya tidak bisa menyanyi, dalam sambil mandi itu lebih sering saya seolah sedang siaran radio!


Tempo hari saya dapati selebaran tentang pelatihan menjadi penyiar ditempel di papan-papan pengumuman dikampung, saya langsung daftar ikut. Toh pelatihan itu dilaksanakan hari Sabtu (11 Pebruari kemarin) dan kebetulan saya sedang libur kerja. Kebetulannya lagi, lokasi pelatihan itu hanya kurang dari seratus meter dari rumah saya. Tepatnya, disalah satu ruang di gedung Pusat Pemberdayaan Komunitas Perkotaan - Universitas Surabaya (Pusdakota Ubaya).

Walau sudah termasuk peserta paling tua, setidaknya saya merasa sebagai yang paling ganteng. Saya seakan adalah si Jaka Tarup diantara para bidadari. Tentu, karena peserta lainnya plus seorang instrukturnya semua  perempuan. Sebagai lelaki tua yang sendiri di sarang perempuan begitu, saya hilangkan semua keminderan. Saya datang kesini toh untuk belajar. Agar besok-besok, ketika saya siaran dikamar mandi, paling tidak saya sudah dalam teknik yang tidak keliru.


Disitu, ketika saya mengikuti pelatihan itu, saya baru tahu, selain harus bisa olah nafas sedemikian rupa, seorang penyiar sebelum siaran harus melakukan senam dulu. Tentu senam khusus; yang bisa melancarkan saat siaran. Agar bicara tidak belepotan dan tidak sampai kehabisan kata. Nama salah satu gerakan senam ini namanya sangar; Lion Face! Gerakannya begini; tangan posisi seperti hendak menerkam, mata disipitkan sesipit-sipitnya, gigi dikatupkan se-nggeget-nggeget-nya. Ini dilakukan sekitar dalam hitungan sepuluh detik. Selanjutnya, dengan tangan masih dengan posisi sama, tetapi kali ini mulut dimonyongkan semonyong-monyongnya, mata dimelototkan semelotot-melototnya, lidah dijulurkan sepanjang-panjangnya. Ini juga sepuluh detik. Gerakan lainnya adalah  menjulurkan lidah dan diputar-putar menjilati bibir sendiri dalam putaran kekiri tujuh hitungan dan kekanan juga tujuh hitungan. Kemudian mengurut rahang sendiri, dilanjut mengurut tenggorokan.

Heran, dengan hanya melakukan gerakan 'aneh' begitu pun keringat saya sudah ndrodos keluar. Tetapi terus terang saya kurang konsentrasi. Takut anak saya tiba-tiba nongol dan melihat bapaknya berlagak seperti singa yang melotot hendak menerkam mangsa, wah bisa girap-girap anak saya.


Jam dua belas siang, kami rehat sejenak. Semua berkumpul di pendopo untuk makan siang. Peserta latihan penyiar bergabung dengan peserta pelatihan lainnya yang kali itu sedang membahas topik urban farming.

Setelah makan siang dan sholat dhuhur, pelatihan kembali dilanjutkan. Kali ini praktek lapangan. Yang pertanian ke lahan pertanian yang juga ada dilokasi itu, yang latihan penyiar langsung praktek siaran di studio yang juga tersedia. Disitu ada bedanya. Yang petani, karena memang pada dasarnya adalah sudah bertani, dan disini hanya di ubah mindset-nya agar lebih menggunakan pupuk organik, tentu adalah gampang. Bagi penyiar, tunggu dulu. Bicara sendiri didepan seperangkat alat siaran (ada mixer, pakai headphone, menghadap komputer dan didepan bibir ada mikrophon dan tidak bicara secara face to face dengan lawan bicara), saya yang sudah diajari membuat radio script sebelum siaran, semua langsung buyar. Bicara dengan cara begitu ternyata tidak gampang. Menjadi penyiar ternyata adalah pekerjaan besar!

Setelah pelatihan itu, saya jadi sadar. Bicara untuk enak didengar orang lain harus ada persiapan. Tidak asal keluar suara, tidak asal berkoar. Harus bisa meredam emosi pribadi. Harus jelas intonasinya, jelas artikulasinya, juga dengan aksentuasi yang sedemikian rupa. Bicara begitu, yang enak didengar itu, yang menyenangkan orang begitu, tentu tidak melulu bisa diterapkan untuk siaran radio semata. Dalam kehidupan sehari-hari pun tentu juga perlu.

Salam.****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar