PRASANGKA bisa menjadi petaka. Prasangka pula yang menyebabkan adanya mata-mata. Dalam perang dingin, sebenarnya peran para mata-mata tidak bisa dianggap dingin. Tentu saya tak hendak bicara tentang aksi spionanse yang sering menjadi setting film-film action kegemaran saya. Tetapi ini sekadar tentang prasangka. Tepatnya prasangka buruk. Dalam bahasa lain dibilang su’udzon.
Barusan, karena lama tidak makan mie pangsit di lapaknya adik ipar, saya kesana dalam rangka minta gratisan. Tetapi, alamaaakkkk..., ramai nian yang lagi antri. Tentu saya tahu diri. Tidag ujug-ujug minta didulukan berdasar azaz kekeluargaan. Tidak. Saya harus membantu dulu. Seperti biasa saya pun lantas bantu-bantu mencuci mangkok, gelas atau mengelap meja.
Pelanggan yang datang terus mengalir. Sebagian besar membeli untuk dibawa pulang. Sampai kemudian adik saya itu kehabisan plastik pembungkus. Maka saya menawarkan diri untuk membelikannya di toko sebelah. Sebuah toko lama dengan pengelola baru.
“Beli plastik dua, dan penyedap rasa dua,” kata saya.
“Oo, membelikan penjual pangsit ya?”
Tentu saja saya mengiyakan pertanyaan penunggu toko itu.
“Saking ramainya sampai tak sempat membeli plastik sendiri,” seorang ibu, yang lagi momong didepan toko, menimpali. “Baru libur dari pulang kampung, jualannya ramai sekali,” lanjutnya.
“Tidak heran,” seorang bapak menyahut. “Setiap dari pulang kampung, dagangannya selalu laris.”
Nada bicaranya terdengar curiga. Konotasinya, pulang kampung itu dimaknai sebagai mencari ‘sesuatu’ agar jualannya laku keras.
Sambil menunggu uang kembalian, saya diam. Mereka tentu tidak tahu kalau saya kakak si penjual pangsit itu. Juga, tentu saja mereka tidak tahu kalau adik saya tempo hari pulang kampung dalam rangka menengok bapak dan emak di desa. Dan bukan dalam rangka mencari penglaris.
Baiklah, sekarang saya ingin meninjaunya dari segi yang masuk akal saja. Begini; bagi pelanggan setia, beberapa hari lidah tidak merasakan masakan kegemarannya, tentu menimbulkan kerinduan yang sangat. Dan, sekalipun penjual makanan sejenis banyak sekali, kalau lidah sudah kadung cocok ke masakan penjual tertentu, sudah barang tentu tak semudah itu mencari pelarian. Dan tadi, ketika tahu adik saya sudah buka, beberapa pelanggan ingin menumpahkan kerinduannya pada yang namanya mie pangsit. Para pelanggan itu, tanpa berjanji datang dalam waktu nyaris bersamaan. Jadinya lapak tempat jualan yang tak seberapa luas menjadi penuh sesak. Ini yang rupanya dicurigai sebagai pakai penglaris. Itu pertama.
Kedua, saya harap ini juga bisa sampeyan terima sebagai sesuatu yang masuk akal; pulang kampung dalam rangka menemui orang tua adalah sesuatu yang terpuji. Bukankah sering kita dengar petuah bahwa restu Tuhan harus melalui dulu restu orang tua (baca: ibu) dulu. Dan pulang kampung itu, menemui ibu dan bapak itu, adalah dalam rangka meminta doa. Doa kebaikan, tentu saja. Ketika ibu mendoakan, terkabul adalah suatu keniscayaan. Kebaikan apapun yang kita minta.
Menulis ini pun saya sedang rindu kepada ibu. Juga bapak tentu saja. Saya tahu, tanpa saya minta pun tentu beliau itu terus mendoakan semua anaknya, termasuk saya. Tetapi dengan datang langsung, saya kira sebuah doa akan makin terasa khasiatnya.*****
Ayo segera datang...
BalasHapusIya, ra. Doakan saya.
Hapus