JAM menunjuk angka 08.31 WIB (Waktu Indonesia Bungurasih)
kala bis yang saya tumpangi meninggalkan terminal, hari Jumat kemarin. Sebagai
makhluk yang jarang sekali bepergian, ketika hari itu saya harus menghadiri
sebuah acara keluarga di lereng Gunung Raung dan Gumitir, dari jauh-jauh hari
saya sudah berencana akan membuat semacam catatan perjalanan.
Buku dan
pulpen, seperti biasa selalu turut serta di dalam tas saya. Tetapi, ya ampun,
kenapa saya tak mencatat nopol bis yang saya tumpangi ini. Celakanya lagi,
dalam secarik karcisnya, tak tertera nama PO-nya. Namun, mata saya yang sudah
tak terlalu awas ini tadi ketika seorang makelar menggandeng saya untuk masuk
masih sempat melihat angka 7277 tanpa ingat huruf depan dan belakangnya.
Nantilah, pikir saya, akan saya cari tahu kalau ia ngetem sejenak di bundaran
Gempol.
Tetapi
perkiraan saya meleset. Bis yang sopirnya penganut haluan kiri ini –karena di
sepanjang tol hobi banget menyalip dari lajur kiri—tak berhenti di Bundaran
Gempol. Terus bablas. Ketika bannya
menginjak jalanan yang berlubang, duh mana tahan, suspensinya yang keras
membuat saya yang duduk di posisi persis di atas roda depan sungguh merasa sangat
tidak nyaman.
Nyaris dua
jam digoyang-goyang, saya takut dilanda mabuk perjalanan. Tanda-tanda ke arah
itu sudah terlihat kala di kening mulai muncul keringat dingin, sementara perut
makin tidak karuan. Di sebelum pertigaan Ketapang, Probolinggo, untungnya si
suspensi mati ini berhenti; Untuk menerima operan semua penumpang berkarcis
Jember dari bis yang --karena saya mulai KO-- tak sempat saya perhatikan. Saya
meloncat turun sebelum isi perut meloncat duluan, sebelum nama baik saya
sebagai penumpang bis menjadi tercemar berantakan.
Setelah ambil
napas dan meneguk air mineral, syukurlah, saya mulai baikan. Saya lihat layar
ponsel: 10.31 WIP (Waktu Indonesia Probolinggo). Dua pasang TOA nyaring
bersuara dari Masjid Nurul Huda, di seberang rel kereta api. Waktu shalat Jumat
masih satu jam lagi. Kalau saya melanjutkan naik bis, tentu ketika tiba waktu
shalat saya sudah masuk wilayah Lumajang. Namun saya memilih berjumatan di
Ketapang ini saja. Ya, itung-itung mengembalikan stamina sambil memberi waktu
kepada usus-usus di perut agar berada di tempat semestinya setelah dua jam tadi
di-kopyok si 7277.
Setelah Jumatan,
benar saja, saya merasa lebih fit. Bahkan sudah bisa berlari kecil menyeberang
jalan menuju angkot berjenis Carry bercat kuning. “Ke terminal, Pak,” saya
berkata sambil masuk mobil.
Di Bayuangga,
tak saya temukan plakat bis yang bertuliskan Kencong atau Ambulu sebagai
indikasi bis itu melewati desa tujuan saya. Dan ketika Restu bernomor dada N
7166 UG jurusan Surabaya-Banyuwangi hendak berangkat, saya langsung meloncat.
Restu melaju dengan tradisi yang ia punya. Tak banyak cerita, pada pukul 13.24 WIL
(Waktu Indonesia Lumajang), saya telah tiba di terminal Minak Koncar dengan
lapar.
Di terminal
kecil ini, bis jurusan Jember, Banyuwangi atau Denpasar banyak sekali, dan itu
semua via Tanggul-Rambipuji. Tetapi yang lewat desa saya belum saya temui. Saya
keluar terminal, menyeberang jalan menuju gerombolan calon penumpang yang
berteduh di bawah pohon, di depan sebuah warung kecil. Saya duga, mereka semua
itu adalah para penumpang yang menunggu bis yang lewat jalur sebagaimana yang saya
tunggu.
Berdiri di
depan warung membuat perut saya makin keras saja memainkan musik keroncong.
“Baiklah,” kata saya kepada perut, “kita makan.”
Sambil
menikmati nasi bungkus berlauk ayam dimasak bumbu Bali, mata saya terus
mengawasi mulut terminal. Lauk sepotong ayam yang kelewat kecil membuat tangan
saya meraih sebutir telur asin. Karena si perut belum puas, sebagai cuci mulut
saya memberi bonus sebutir onde-onde kepadanya. “Bis yang lewat Kencong jarang
ya, Bu?” kata saya kepada pemilik warung, perempuan tua yang berkacamata.
“Itu,”
tangannya menuding mulut terminal.
Lhadalah, si Kenongo sudah muntup-muntup hendak keluar. Setelah menyelesaikan transaksi
bernilai sembilan ribu rupiah, saya masuk ke bis yang secara usia sudah terbilang
tidak muda lagi itu. Dan memang begitu itu lazimnya, bis bertrayek pendek Lumajang-Jember
via Kencong sebagian besar adalah lungsuran,
bekas Akas. Ada juga sih yang bagus,
tetapi itu adalah bis-bis bertrayek jauh macam Akas Ambulu-Surabaya/Ponorogo,
atau Jember-Madura.
Sebagaimana
bis-bis Lumajang-Jember yang lain, si Kenongo N7157 UY ini tabiatnya minta
ampun. Jalannya seperti siput. Hobinya yang lain adalah suka ngetem. Jadi,
kalau penumpang sedang terburu-buru, kelakuannya itu bisa bisa bikin jantungan.
Selepas
terminal, tempat ngetem pertama adalah di depan kantor koramil di jalan
Panjaitan. Sebagai bis kelas oekos nomos,
jangankan AC, kursi-kursinya saja sudah ala kadarnya. Jadi, ketika ia ngetem,
hawa di dalam bis luar biasa sumuk-nya.
Lebih bikin geregetan lagi, kala ia ngetem begitu, ada Akas Surabaya-Ambulu
yang menyalipnya. Wadduh! Seandainya
tadi saya bersabar sedikit, saya bisa segera sampai tujuan dengan ikut si Akas
itu....
Dengan hanya
mengangkut dua puluh penumpang, si Kenongo berjalan dengan ogah-ogahan. Seogah
saya meneruskan membuat coretan-coretan di buku catatan yang lebih sering saya
fungsikan sebagai kipas untuk menusir keringat.
Jam 15.10
saya tiba di mulut gang Walet, jalan menuju rumah. Di rumah, saya tak sampai
satu jam; mandi, sholat Asyar, makan, lalu berangkat lagi. Kali ini bareng
Ayah-Bunda yang sudah pada sepuh,
dengan tujuan akhir di desa Sidomulyo. Sebuah desa yang terletak di lereng
gunung dengan kopi sebagai penopang ekonomi warganya. Untuk menuju ke situ,
saya harus dua kali naik bis. Mloko-Tawangalun, lalu Tawangalun-Garahan. Pertama
saya pakai bis Kenongo, dari Tawangalun ke Garahan saya menumpang bis Kuda Laut.
Karena lebih
perhatian kepada orang tua yang sudah tua, untuk sementara saya tidak memerhatikan
hal-ikhwal tentang dua bis yang kami tumpangi.
oOo
Bis apa yang
nyaris membuat saya malu (baca: mabuk) di perjalanan saat berangkat kemarin
baru saya tahu lebih jelas saat pulang dari Garahan, besoknya, di terminal
Tawangalun, Jember. Tadinya, saya mengira yang giliran berangkat berikutnya
adalah si Sabar Indah N 7276 UW yang sedari tadi sudah menghadap jalur 7;
Kencong. Hampir setengah jam berlalu, ternyata tak jua ia masuk garis start.
Ternyata, pemilik giliran di jam 13.21 itu adalah bis yang masuk belakangan.
Kalaulah kondisi bis itu tak lagi baru bukanlah hal baru, tetapi dengan bodi
bis penuh bergambar tokoh-tokoh kartun serial Sponge Bob Squarepant dengan tanpa sedikit pun tercantum nama
PO-nya, baru kali ini saya temui.
Setelah menuntun
Ibu dan Bapak naik, saya turun lagi untuk menengok nomor punggungnya. N 7277 UY.
Sekalipun begitu, dengan jarak tempuh terminal Tawangalun ke desa tujuan saya
yang tak sampai memakan waktu satu jam, saya kira si suspensi mati ini tak akan
membuat saya serasa mau mati untuk kedua kali...
oOo
SETELAH menginap semalam di kampung halaman,
Minggu pagi saya berangkat lagi ke Surabaya. Menunggu agak lama di mulut gang
Walet, jam 07.07 WIB dari timur muncul bis dengan bodi bertuliskan Pari Kesit dengan bentuk huruf (font)
model yang dipakai Akas jaman lama. Masuk
ke dalam, pada kaca depan, jelas terbaca tulisan Akas, tetapi itu tidak akan
terbaca dari depan karena telah ditimpa cat hitam dengan tebal.
Tidak ada hal
yang menarik saat naik Pari Kesit ini. Jalannya pelan, dan itu bisa bikin
bosan. Untuk membunuh rasa itu, iseng saya menghitung bunyi klaksonnya. Ya,
sopir muda berkacamata hitam dan berkaus warna sama bertuliskan Sniper ini suka
sekali membunyikan klakson. Dari saya mulai duduk tadi, baru sampai Toko Ijo
Kencong saja ia sudah membunyikan klakson 61 kali. Dan dari Kencong ke
Yosowilangun si Sniper itu menembakkan lagi bunyi sebanyak 38 kali! Saya
bertekat terus menghitung sampai terminal Minak Koncar sebenarnya. Tetapi seorang
perempuan berbaju merah motif bunga-bunga yang baru naik dan duduk di samping
saya membuat konsentrasi saya menghitung bunyi klakson menjadi kocar-kacir. Iya
benar, jelek dan cantik itu relatif. Tetapi saya rasa, perempuan di samping saya
ini tentulah masuk kategori cantik, tentu saja kala ia masih muda, sekitar 50
tahun yang lalu....
Jelek-jelek,
si Pari Kesit ini tak jelek-jelek amat nasibnya. Buktinya, tak sedikit
penumpang yang berhasil ia sisir sepanjang perjalanan. Di Tekung, Lumajang,
dari jauh saya lihat seorang perempuan bersama putri kecilnya berdiri di pinggir
jalan. Anehnya, tanpa perempuan itu melambaikan tangan, si sopir menepikan bis
dan cekatan si kernet membukakan pintu. Perempuan itu tetap di bawah, hanya
mengangsurkan buntalan berisi pakaian ganti untuk diberikan kepada si tukang
klakson itu. Berikutnya, anak si perempuan itu menangis ingin naik bis. Sekali
lagi si kernet ambil peranan; mengangkat gadis kecil berumur sekitar 3 tahun
itu untuk diangsurkan kepada pak Sopir. Si anak terus merengek, ingin ikut
Ayahnya.
Pak sopir
menciumi anaknya dengan sayang sebelum mengembalikannya lagi kepada ibunya yang
tetap berdiri di bawah. Saat ia membawa bis mulai bergerak, saya lihat di bawah
si kecil masih belum diam dari tangisnya....
Walau saat
naik tadi kondektur bilang langsung Surabaya, saya sungguh tidak percaya dan
tetap membayar untuk sampai Minak Koncar, Wonorejo saja. Dan benarlah adanya,
semua penumpang jurusan Probolinggo atau Surabaya dioper oleh si Pari Kesit di
Lumajang ke Restu Agung. Sekalipun saya bukan operan, saya ikut juga ke bis
bermesin Hino bernopol N 7104 UG dengan kaca depan bertuliskan Patrick warna
kuning dengan huruf besar-besar ini.
Saya rasakan,
cara sopir membawa si Patrick ini lumayan sangar. Lepas Minak Koncar pada
catatan waktu 09.50 WIB ia sudah terlibat aksi kejar-mengejar. Rival yang ia
tantang adalah si Restu yang sudah start duluan. Perburuan makin seru kala
masuk Tongas. Ia dan lawannya hanya dipisahkan truk tanki Pertamina bernopol L
8562 UX yang sedang menggendong muatan seberat 40 ribu liter.
Saya sampai
berdiri untuk mencari tahu berapa nomor punggung si Restu. Gagal. Pantatnya tak
bernopol karena bempernya perotol. Iring-iringan kendaraan dilahap Restu dengan
ugal-ugalan. Si Patrick membuntuti tak mau ketinggalan.
Sesampainya
di pasar Nguling si Restu nyaris disalip saat menaikkan penumpang. Tetapi jarak
yang terlalu mepet membuat si Patrik tak punya ruang gerak aman. Melaju lagi,
berkejaran lagi. Dua pengamen yang menerobos masuk ketika sesaat berhenti di
pasar Nguling tadi berusaha menghibur penumpang lewat lagu koplo berjudul Oplosan. Itu, bagi saya, sebagai kata
lain dari perasan penumpang yang dioplos saat bis yang ditumpangi melaju
ugal-ugalan begitu. Oplosan antara senang karena bis melaju kencang sehingga
bisa segera sampai ke tujuan dengan perasaan was-was kalau karenanya akan
terjadi apa-apa di jalan.
Selalu ada
pemenang di antara peperangan. Dan Restu makin meninggalkan Patrick saat
sebelumnya ia lebih lihai melahap banyak kendaraan di depan. Tetapi, Patrick
tidak menyerah. Setidaknya belum. Ia terus tancap gas. Setelah sempat jauh
tertinggal, jejak mulai nampak saat masuk Ngopak. Bahkan saat Restu menurunkan
penumpang di seberang kantor Telkom STO Grati, ia berhasil disalip Patrick.
Namun tak berlangsung lama, tepat di seberang Masjid Nuril Musafirin
Gujugjati-Lekok, Restu manyalip Patrick lagi dengan manuver tajam plus dibumbui
makian awak Restu kepada kru Patrick.
Anggap saja
makian itu sebagai psywar, maka
adegan berikutnya tetap bikin dada berdebar. Namun rute berikutnya dengan jarak
antar kendaraan yang mepet, plus lebar jalan yang tak seberapa, tak ada lagi
ruang gerak untuk saling menyalip. Persis di dekat pabrik Ceil Jedang, si Restu
makin tak terjangkau jarak pandang. Dan baru terendus lagi saat akan memasuki
terminal baru Pasuruan.
Saya lihat
Restu tak masuk terminal dan si sopir hanya melemparkan uang lewat jendela yang
kemudian petugas Dishup memungutnya seperti pencari sumbangan di jalan-jalan.
Kelakuan yang saya di lakukan pula oleh sopir Patrick yang saya tumpangi ini.
Keluar terminal, naga-naganya balapan akan dimulai lagi.
Ketika Restu
mendahuli truk tangki semen curah milik Semen Gresik bernomor togel L 9043 UN,
Patrick pun mengikutinya. Begitu pula saat bis Ladju N 7294 UW yang melaju pelan disalip, Patrick
ikut pula menyalip. Tetapi, dalam adu apa pun, stamina adalah termasuk hal
utama. Restu memang protol bempernya, tetapi nafasnya kuat. Sementara si
Patrick ini mengejar hanya bermodal nekat, dan ia harus menyerah di setelah
perempatan Pasuruan yang menuju kawasan industri mebel, Kraton.
Tadinya saya
kira ia hanya ngetem beberapa saat. Namun, saat sopir Patrick ini membuka tutup
mesin dan terlibat diskusi dengan sang kondektur, saya dengar mereka membicarakan
sesuatu yang bocor, patah dan harus dilas. Saya menangkap ada sesuatu yang
tidak beres dengan mesin si Patrick. Apakah kondisi itu karena ia dipaksa
bekerja keras mengejar si Restu tadi atau apa, saya awam tentang hal ini.
“Kenapa,
Pak?” saya bertanya kepada pak kernet yang tanganya belepotan warna hitam
setelah melepas barang yang patah tadi.
“O, ‘ledeng’-nya patah, Mas, harus dilas,” dengan logat Madura ia berkata.
“O, ‘ledeng’-nya patah, Mas, harus dilas,” dengan logat Madura ia berkata.
Ledeng, tentu saja maksudnya pipa.
Setelah
beberapa lama keluar bis karena tidak kuat panasnya di dalam, saya lihat sesuatu
yang patah dan telah dibongkar oleh sang kernet tadi, dibawa si kondektur untuk
dilaskan. Kepada si Patrick ini saya memang telah membayar penuh untuk turun di
Purabaya, tetapi dengan si kondektur yang pergi mencari tukang las, dan itu
entah untuk berapa lama, sama sekali tidak saya temui tanda-tanda semua
penumpang dioper kepada bis lain.
Beberapa
penumpang yang diburu waktu, mencegat bis lain dengan risiko kehilangan hak
dari si Patrcik. Kalau saya ikutan tidak mempermasalahkan keadaan dengan tidak
menuntut sisa ongkos, tentu saya punya kalkulasi sendiri. Bukan melulu pada
rupiah semata, tetapi lebih kepada keraguan saya akan kondisi mesin (bahkan)
setelah dilas nanti. Intinya, saya tidak mau ambil risiko berikutnya.
Kalau sedari
berangkat kemarin sampai terakhir dengan si Patrick tadi saya selalu ikut bis
tanpa AC, setelah gerah sekian lama, saya merasa sejahtera saat melanjutkan
perjalanan ikut Mila Sejahtera, N 6341 LU. Kabin yang sejuk, suspensi yang
empuk masih ditambah pula ada DVDnya.
Sopir bertopi
ala pak Tino Sidin itu membawa bis dengan, meniru ucapan khas Pak Tino,
bagus..., bagus....
Selepas
bunderan Gempol, Pak Tino Sidin itu masuk tidak lewat arteri baru, tetapi
mengambil rute tol lama, Pajarakan, lalu menusuk jalan raya Porong lewat
samping, Mindi. Setelah menurunkan beberapa penumpang di Siring, bis masuk tol
pukul 12.05. Dan dua puluh empat menit kemudian (12.29), “Ramayana,” jawab saya
kala kondektur bertanya saat saya mendekat pintu depan.
Setelah
meloncat dengan kaki kiri, saya berjalan menuju ke Salvira Tiga Saudara, tempat
penitipan motor yang terletak berjarak satu toko dari warung kopinya Pak No yang kata M. Faizi
kopinya nikmat sekali. Setengah jam kemudian, dengan menunggang Supra 125, saya
telah sampai di rumah. Kalau saat berangkat saya hanya membawa tas kecil, pulangnya
bertambah dengan satu kardus oleh-oleh pemberian famili, plus beberapa lembar
catatan remeh-temeh hasil dari sepuluh kali ganti bis dalam tiga hari ini.
Rose Kennedy
bilang; hidup bukan soal kejadian penting, tetapi oleh peristiwa-peristiwa. Ya, saya setuju itu. Makanya saya berani mem-posting tulisan ini yang (bisa dikatakan) sama sekali bukan hal penting. *****
dengan enteng menyebut sopir MIla Sejahtera dengan sebutan Pak Tino Sidin sungguh merupakan bagian penting dari cerita ini; lantas juga bagian hitung-hitungan yang buyar karena duduk dengan seorang perempuan, haha...
BalasHapustapi saya sangat terkesan juga ketika Anda jelaskan bahwa Anda sempatkan diri masih mengunjungi orang tua di Kencong sana, meskipun acara pernikahan itu sama sekali tidak diceritakan, ya
BalasHapusTADINYA, menurut rencana (seperti pernah saya sampaikan kepada Sampeyan), rute saya: berangkat lewat utara (Tanggul), baru pulang lewat Kencong. Tetapi, menjelang 'take off', ada kabar dari kakak yang mudik dari Bali, bahwa saya harus membawa serta kedua orang tua untuk menghadiri pernikahan cucunya di lereng Gumitir sana. Itulah mengapa lalu saya lewat 'jalur lambat' Lumajang-Jember via Kencong.
HapusMembaca komentar Sampeyan barusan, sungguh memunculkan keinginan untuk sedikit menceritakan acara di rumah kakak saya itu. Tapi sayang seribu sayang, tulisan yang mestinya lebih hidup oleh foto-foto menjadi tidak kesampaikan dikarenakan kamera saya sepertinya sudah minta adik baru.