KALAU saya
hitung-hitung, hari ini saya sudah lebih limabelas tahun tinggal di Surabaya.
Waktu selama itu, terus terang saya belum tertarik untuk menjadi Bonek,
suporter kesebelasan kota ini yang punya nama ‘hebat’ itu. Walau begitu, bukan
berarti saya tidak pernah mBonek. Tigabelas tahun yang lalu, ketika menikah
saya pun telah berlaku mBonek. Nekat saja. Tentu saya tak hendak mengajak sampeyan untuk ikut nekat, kawin lagi, misalnya. Tidak. Tetapi lihatlah,
ketika sebuah kehendak yang hanya berhenti sampai kepada keinginan tanpa
disertai upaya (yang kadang butuh sentuhan kenekatan), ia hanyalah bukan
apa-apa. Urusan menikah pun, kalau terlalu banyak perhitungan, niscaya hanya akan mengakibatkan 'telaten'; telat jadi manten.
Ketika 10 Nopember kemarin saya merenovasi rumah pun tetap
dalam rangka nekat juga. Dengan dana sekitar seharga kursi ruang Banggar DPR
yang setelah ribut-ribut lalu dikembalikan itu, saya nawaitu memoles rumah; nambah
satu kamar untuk Edwin, plus membentuk wajah. Karena, lebih dari tiga tahun,
rumah saya hanyalah berbentuk setengah badan. Belum nampak wajahnya. Tetapi
dengan dana segitu, bagaimana saya mengolahnya?
Saya tentu realistis. Modal minimalis , saya pikir, tentu cocok untuk
model yang juga minimalis. Dan, betul kecurigaan saya; saya betul-betul keliru! Rumah minimalis
ternyata butuh modal maksimalis. Bukti konkret dari kenyataan itu adalah,
sekali lagi, renovasi rumah saya berhenti ditengah jalan. Tak apalah. Karena
dengan keadaan itu pun, saya syukuri dengan tiada henti. Tentu saya tahu, ada
orang kaya yang mempunyai banyak rumah tetapi malah tidak sempat meninggalinya.
Sebaliknya, juga tidak sedikit orang yang bertahun-tahun meninggali sebuah
rumah, tetapi belum sempat memilikinya. Saya, dalam hal ini, tentu sudah sangat
beruntung.
Rumah minimalis yang saya bangun dengan modal minimalis
berdiri sudah. Belum dicat, atau belum diberi finishing
touch lainnya, tak apalah. Tetapi saya ingin mengindahkannya. Sebentuk
taman kecil didepan teras hendak saya tanami rumput. Untuk keperluan itu, saya
bertanya kepada seorang teman yang ekspert dibidang pertamanan. Dan dia malah
menertawai saya. Begini katanya, “Sampeyan
sudah berlogika orang kaya rupanya. Kalau orang belum kaya, sedikit taman
didepan rumah, selalu ditanami aneka pohon yang menghasilkan; rambutan, jambu,
mangga atau ditanami aneka sayuran. Lha
ini sampeyan malah akan menanami
rumput. Salut, salut. Berarti sampeyan
sudah ‘one step a head’...”
Bukannya memberi saya opsi rumput apa yang cocok untuk
maksud saya. Teman saya itu malah mengkhotbahi saya tentang antara kaya dan
belum kaya. Pada akhir pembicaraan, saya jadi ingat, saya pernah memasangkan
lukisan milik orang kaya. Yang harganya, 35 juta! Oho, uang segitu untuk selembar
lukisan yang menurut saya hanyalah sekadar corat-coret aneka warna yang bagi
saya memumetkan. Tetapi sebuah keindahan, suatu pemuas batin, tentu harganya
lebih tak ternominalkan.
Sudahlah, saya tak ingin bertambah mumet memikir kebiasaan
orang-arang kaya itu. Menanam rumput pun saya maknai sederhana saja. Walau
kalau dipikir-pikir, benar juga kata sahabat saya tadi. Tetapi sudahlah.
Sesuatu kalau diterawang lebih dalam, bagi saya, adalah sama saja. Indah dan
bagus itu semata perkara kulit, hanya casing. Yang penting dalamnya; intinya.
Meskipun rumah saya ini kalau dilihat masih nampak belum
rampung, bila disangkut-pautkan (secara paksa) dalam istilah baiti jannati, paling tidak saya telah
punya sebuah sorga. Walau bentuknya masih setengah jadi.*****
Rumput gajah mini sekarang yang lagi banyak ditanam ketika rumput-rumput yang lain banyak dipangkas. Gajah tapi mini. Lucu kedengarannya...
BalasHapusBenar, Ra. Akhirnya, si teman saya itu memberi saya benih rumput gajah mini. Karena ukuran taman saya hanya minimalis saja (2x2 mtr), satu tas kresek sudah cukup. Surabaya yang saban hari hujan, membuat saya tak perlu repot menyiraminya. Dan seminggu berselang, saya lihat sepertinya benih-benih itu akarnya sudah begitu akurnya dengan tanah didepan teras rumah saya.
Hapus