Selasa, 28 Februari 2012

Cinta Murni


HARI Minggu pagi yang gerimis dipadu dengan menunggu yang bikin jemu, membuat Murni berkali-kali mondar-mandir keluar masuk rumah. Teras yang tak seberapa luas, dengan beberapa bunga berjajar dipot-pot mungil. Daun-daun bunga itu, kalau kau tahu, mendesis ia. Kedinginan. Karena ujung genting teras rumah yang dihalaman depan rimbun daun pohon manggga dan pohon kelapa gading kuning, meneteskan air yang sesekali nakal mencolek bahunya. Lampu gantung mungil yang telah ia padamkan tiga jam lalu, kadang bergoyang ditiup angin. Menggeleng. Sementara Murni belum juga mampu menggulung rasa yang hinggap di dada. Ia memang belum lupa akan kalimat ‘merpati tak pernah ingkar janji’. Tetapi ia memang hanya berharap bukan akan terhadap janji. Hei, bukankah seorang tukang koran mengantar koran pagi di pagi hari tak perlu mengucap janji? Karena itu sebuah keniscayaan. Tempo hari mbak Pipit, redaktur kenalannya di koran itu, mengabarinya lewat SMS kalau tulisannya dimuat hari ini. Bagi Murni, membaca tulisannya dimuat merupakan kenikmatan tersendiri. Dan Anton, nama tukang koran itu, tentu tak tahu. Namun, tahukah ia bila sesekali Murni menatapnya melebihi tatapan pelanggan kepada lopernya?

Setahun yang lalu, gerimis-gerimis begini seorang lelaki datang pagi-pagi kerumahnya. Lelaki itu membawa koran yang ditumpuk disela antara jok dan kemudi motornya. Lelaki yang tak biasa. Agak kurus, dengan rambut lurus. Mata yang dilapisi kacamata. Bermantel biru bergambar burung pinguin di punggungnya. Murni, waktu itu, berdiri diiteras seperti pagi sebelumnya ia menunggu pak Joko, tukang koran langganannya.

Saya Anton. Bapak sakit,” lelaki itu menyodorkan koran. Itu pertama kali Murni mengenal sang loper korannya.

Sejak itu, seringkali ia menggantikan bapaknya mengantar koran. Semakin lama- semakin sering saja. Sampai kemudian pak Joko menyerahkan semuanya kepada Anton. Lelaki berkacamata itu begitu dingin. Paling tidak, tak seramah bapaknya. Bahkan, jarang sekali Murni melihatnya tersenyum. Jangankan berbicara basa-basa tentang ini-itu. Tak pula pernah bercerita tentang kesehatan bapaknya. Pak Joko memang sudah terlalu tua menjadi pengantar koran. Tapi Murni tahu, tubuh tua itu takkan berhenti bila tidak benar-benar tidak kuat. Murni jadi ingat bapaknya. Sudah mendiang beliau. Tiga tahun sebelum ibunya. Bapak, lelaki pensiunan guru Agama itu, tak pernah mau berhenti. Selalu saja ada yang dikerjakannya. Pohon mangga dan gading kuning itu, yang rimbun daunnya tampak mengigil digoda gerimis pagi itu, adalah selalu mengingatkan sebaris kalimat ketika bapak menamannya dulu,” Mungkin aku tak akan sempat meikmati buahnya, tetapi aku ingin cucuku, anak-anakmu, kau ceritakan bahwa pohon ini kakeknya yang menanam...”
Ingatan itu masih sering merambat dalam hati Murni. Seperti binatang melata yang sekalipun tidak berbisa, membuat Murni merasakan sesuatu yang aneh bila dihinggapinya.

Maaf, agak kesiangan. Motor saya sedang ngambek, gampang mogok.”

Lima bulan lalu Anton berkata. Murni, tak tahu kenapa, seperti telah ketularan sikap Anton. Tentu kalau menghadapi Anton. Karena semua orang kampung sini tahu, Murni mewarisi sikap grapayak-semanak ibunya. Tetapi, pikir Murni, ia tak bisa menerapkan keramahan itu kepada Anton. Si lelaki berkacamata yang dingin itu. Sekadar mengucap terima kasih tanpa ekspresi yang lebih berarti adalah ritual rutin bila ia menerima koran dari Anton. Dan seperti ritual yang membosankan pula Anton langsung menuju motornya yang diletakkan dibawah pohon mangga, lalu melanjutkan mengantar koran ke pelanggan lainnya. Tetapi hari itu Murni melihat tubuh motor Anton berlumur lumpur. Ingat ia, dimulut gang sana ada pekerjaan perbaikan pipa PDAM yang bocor. Tanah bekas galiannya, dikanan-kiri seperti adonan bubur. Kemarin sore Murni sempat hampir terpeleset ketika bermotor disitu. Beberapa saat Anton masih dibawah pohon mangga. Setelah gagal beberapa kali menghidupkan motor pakai electric starter, ia pakai kick starter. Gagal juga. Motornya mogok lagi, rupanya. Padahal, Murni lihat, ada setumpuk koran yang masih harus dia antarkan.

Pakailah motor saya saja dulu. Kasihan pelanggan kalau harus menunggu,” menyesal juga Murni megucapkan kata-kata itu. Takut ditanggapi tidak semestinya oleh Anton.

Anton melihat jam tangannya. Lalu beralih melihat langit pagi yang mungkin saja sedang disalahkan; pagi-pagi mengucurkan gerimis. Lalu matanya beralih memelotoyi motornya, yang –lagi-lagi-- mendapat umpatan dalam hati, barangkali. Ya, itu semua dugaan Murni. Dugaan yang muncul melihat sikap Anton. Hei, dengar tidak? Ingin sekali Murni meneriaki lelaki itu dengan kalimat itu. Tetapi tidak jadi. Karena lelaki itu, dengan mata yang sukar diterjemahkan dengan kata-kata, menoleh kearah Murni.

Bu Guru nanti berangkat mengajar naik apa?”

Murti tertawa kecil. Bukan pada pertanyaan Anton barusan, tetapi cara dia memanggil. Bu Guru?

Seratus meter jarak rumah ini ke madrasah tentu saja saya hanya butuh payung digerimis begini. Bukan motor,” kata Murni.

Tapi saya akan agak siang menyeselaikan mengirim koran-koran ini.”

Beberapa hari ini angin memang sedikit tidak seperti biasanya. Ia berhembus lebih kencang. Di televisi sering dikabarkan sampai merobohkan rumah atau sekolah. Tetapi angin pagi itu, hanya semilir saja. Itupun aneh. Pagi-pagi ada angin? Atau angin itu hanya ingin mengibarkan ujung coklat muda jilbab Murni. Entahlah.

Ya sejak itu, sejak Anton meminjam motor matiknya, mereka tidak hanya bertegur sapa sekaku dulu. Setidaknya ada senyum yang menyertainya. Tetapi, seperti kepada setiap senyum laki-laki, Murni sudah kehilangan keberanian untuk berharap lebih. Lebih-lebih, si Anton itu secara usia masih dibawahnya. Ia, dengan usia nyaris tigapuluh tujuh, bukan lagi pantas berharap tentang sesuatu yang indah dibalik senyum Anton.

Senyum itu, menjadikan sebuah hubungan terasa lebih dekat. Tetapi, ketika ia sedikit dekat saja dengan seorang laki-laki, hatinya kembali teringat ancaman Seno. Anak juragan sapi yang dulu pernah menaksirnya. Anak orang terkaya dikampung. Ketika itu keluarga Murni belum pindah kesini. Tetapi dengan tabiat yang seurakan itu, tentu Murni tak kuasa menerimanya. Berkali-kali Seno mengucap cinta, berulang kali pula Murni meminta waktu untuk mempertimbangkannya. Ini sebagai siasat semata, tentu saja. Karena untuk langsung menolaknya, Murni merasa terlalu akan menyakitkan. Padahal hatinya tidak ingin menyakiti hati siapapun. Termasuk hati Seno. Itu memang masa lalu. Dan masa lalu itu membuat kadang-kadang Murni mengakui kesalahannya. Gara-gara, karena terus didesak untuk memberi kepastian, ia berterus terang tidak bisa menerima cintanya, membuat Seno berang. Dan tersinggung. Ketersinggungan itu diucapkannya lewat sebuah kalimat, “sampai kapanpun, kalau ada laki-laki yang akan jatuh cinta kepadamu, jangan sebut aku Seno.” Ingin menangis rasanya Murni mendengar kata-kata itu. Ketika itu bukan takut yang ia rasa. Tetapi, ia merasa telah menyakiti seseorang. Sesuatu yang tak ia inginkan, dengan alasan apapun. Tentang ancaman itu, Murni yakin, Seno bukan penentu nasib seseorang.

Untunglah, kemudian Bapak dipindah tugaskan mengajar ke lain tempat yang lumayan jauh. Mereka pun pindah rumah ke yang ditempatinya sekarang ini. Dengan begitu Murni bisa tidak selalu ketemu Seno. Dengan begitu pula ia berharap bisa sedikit demi sedikit mengubur masa lalu.

Tetapi ketika setahun, dua tahun, lima tahun, sepuluh tahun, lima belas tahun... tidak juga ada seorang lekaki yang dekat dengannya, ia jadi ragu akan keyakinannya. Keragauan itu tercermin dari desah yang tanpa diketahui oleh siapapun. Termasuk oleh bapaknya, atau kemudian ibunya. Sampai keduanya meninggal pun tak pernah ia bercerita tentang Seno. Namun sekuat-kuatnya kuda berlari, pada saat tertentu ia akan berhenti juga. Murni sedang menunggu saat berhenti itu. Saat ketika perkataan Seno yang diucapkan dulu menemui ketidakbenarannya. Saat itu, Murni yakin ada langkah baru yang akan ditempuhnya. Sekalipun itu mendaki. Seperti menaiki anak tangga. Tapi kapan? Padahal seperti menaiki anak tangga, usianya pun selalu merambat naik.

Itulah kenapa ia berusaha memandang Anton tidak lebih dari sebuah pertemanan. Kalaulah itu memang harus ke jenjang lebih dekat, Murni membatasinya pada tingkat persahabatan saja. Dengan begitu, ia merasa main aman. Bukan seperti menebak permainan dadu. Dan sebulan, dua bulan, lima bulan, Murni melihat Anton lebih menyenangkan, lebih memperhatikan. “Cerpen Anda yang dimuat  kemarin di tabloid, saya curigai sebagai kisah nyata,” katanya suatu ketika. Dan senyum Murni, walau tak semanis gula adalah semacam pengiyaan atas tanya itu. “Cerita cinta memang tak ada habisnya,” lanjut Anton dengan senyum penuh arti dalam balutan semanis madu dimata Murni. Ya, cerita cinta memang tidak apa habisnya. Murni meyakini itu sambil merajut keyakinan lama, bahwa ancaman Seno suatu hari tidak terbukti.



USIA yang terbilang sudah tidak lagi muda, hidup dirumah sendiri. Aktifitas sehari-hari dijalani Murni sebagai seorang pengajar disebuah madrasah. Darah ayahnya sebagai guru rupanya menitis dalam aliran hidupnya. Kalau malam tiba, --ketika murid lesnya sudah pulang--, Murni membunuh rasa sepi dengan menulis. Dengan menulis cerpen-cerpen itu, Murni merasa tidak sendiri. Tidak kesepian. Dan ketika tulisannya dimuat media, ia merasakan hal yang hanya terkalahkan oleh rasa bahagia seorang ibu yang baru melahirkan anaknya. Ya, melahirkan cerita cinta dalam kemasan kata indah, melahirkan pula kembarannya; kepuasan yang tiada tara. Dan pagi ini, ia sedang bersiap , membaca tulisannya sendiri. Tetapi kenapa Anton, laki-laki berkacamata itu belum juga muncul. Mana gerimis masih belum bosan membasahi pagi lagi. Dan tetes air yang jatuh berantai pada daun-daun mangga didepan rumahnya, kalau didengar lebih seksama, serupa mantera yang asing. Atau itu hanya suara gigil daun yang tak kuasa menghindari guyuran gerimis.


HARI Minggu pagi yang gerimis dipadu dengan menunggu yang bikin jemu, jam dinding berdenting delapan kali ketika Murni menyalakan laptopnya didalam kamar dengan jendela yang menghadap ke halaman depan dari sisi samping. Dari situ Murni bisa melihat rintik gerimis, bisa melihat pagar depan rumah, karenanya --seperti yang sudah-sudah--, ia bisa melihat Anton datang mengantar koran. Baru saja ia akan membuka edisi online koran itu, sebuah deru mesin motor yang sudah sangat ia kenal makin mendekat. Dan benar saja, Anton muncul. Dilihatnya, tumpukan koran yang biasanya diletakkan disela jok dan setang kemudinya telah habis terantar kerumah pelanggan. Disitu, ditempat  yang biasanya ditempati tumpukan koran, ada terselip sebungkus kado berlapis tas plastik. Bukan takut terkena debu tentu saja, karena debu di pagi yang gerimis ini telah menjelma menjadi benda lain. Sudahlah, tak perlu membahas debu, tak perlu pula membahas gerimis. Lihatlah, Murni menyambut Anton dengan pandang aneh. Belum pernah Anton mengirim koran pagi sesiang ini.

Maaf, agak siang. Sengaja,” katanya sambil melepas mantel dibibir teras. Sengaja, katanya. Aku ingin segera membaca cerpenku yang dimuat pagi ini sementara ia bilang sengaja datang mengantar koran agak siang, ada apa coba? Tetapi Murni buru-buru ingat, bisa saja Anton selepas subuh tadi tidur lagi. Pasti ia masih capek seharian kemarin sibuk sebagai remaja masjid yang sedang menggelar acara Mauludan. Dan malam tadi, Murni lihat Anton juga tampil sebagai MC.

Boleh saya duduk,” tanya Anton sambil menyerahkan koran, sebuah suara yang membuat Murni sadar dari lamunannya.

Murni terkesiap,” Oh, tentu saja,” sambil memegang koran Murni menyilakan.

Duduk diteras, pagi-pagi berhias gerimis, oh ada apa ini.

Hari ini saya ulang tahun. Ini ada hadiah untuk Bu Guru.”

Panggil saya Murni. Ya, Murni saja. Saya bukan guru Anda, kan?” Murni ingin menghangatkan pagi yang dingin. “Anda yang ulang tahun saya yang dapat hadiah, bagaimana ini?”

Bukan barang mahal. Tetapi saya lihat mm... Bu guru, eh mbak Murni, suka warna coklat. Semoga cocok.”

Boleh saya buka sekarang?”

Tentu saja.”

Oh, sebuah jilbab terlipat rapi dalam kardus mungil. Murni jadi ingat ibunya. Ya, ibunya yang pertama kali berhasil membuatnya menutupi mahkotanya, dari kelas dua SMA sampai sekarang. Dan, “Bercerminlah, engkau terlihat lebih cantik dengan jilbab coklat itu,” kata ibu kala itu. Ya jilbab coklat yang dibelikan ibu itu masih Murni simpan sampai sekarang. Kali ini, pagi ini, ia mendapatkan jilbab dengan warna nyaris sama. Apakah ini kebetulan?

Tunggu dulu, biasanya yang ulang tahun yang dapat kado. Ini kok aneh.” kata Murni. “Saya jadi malu, seharusnya saya yang ngasih hadiah. Tetapi mana tahu kalau hari ini Anda ulang tahun.”

Baiklah kalau begitu,” kata Anton. “Sampeyan  boleh memberi saya hadiah, tetapi bentuknya saya yang menentukan. Bagaimana?”

Murni tertawa kecil mendengar lanjutan kelucuan ini.” Memangnya Anda mau hadiah dalam bentuk apa?”

Hati yang murni.”

Murni tak ada alasan tidak untuk diam. Bukan saat yang tepat untuk tertawa. Lagian, sorot mata Anton mencerminkan ia tidak sedang melucu.

Bisa diulangi sekali lagi?” pinta Murni.

Sebuah cinta.”

Murni diam. Gerimis yang menjelma menjadi hujan suaranya kalah riuh dibanding gejolak hati yang gaduh. Yang kasat mata, beberapa saat suasana hening. Dua insan sedang membiarkan hujan menari-nari menghias pagi sesuka hati. Murni mendekap erat jilbab hadiah dari Anton. Saat berikutnya  ia tutupkan kain itu kewajahnya. Hangat terasa matanya. Kemudian, Murni merasakan air mata itu tak sanggup ia bendung.

Kenapa menangis?” Anton menatap penuh harap. “Jangan salah duga, sebagai laki-laki saya telah siap mendapat jawaban terburuk hari ini. Katakanlah, sepahit apapun kenyataan, akan saya telan.”

Murni mengeleng. Sebuah gelengan sebagai pencegah Anton menelan kepahitan.*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar