Jumat, 30 Desember 2011

Tanda Tangan


DULU, ketika masih sekolah di Aliyah, secara berkala sekolah kami sering tampil live di saluran RRI Jember. Untuk unjuk kemampuan olah vokal dan pembacaan puisi. Saya ingat, saat itu teman-teman saya suka menyanyikan lagunya Ratih Purwasih, Gelas-gelas Kaca-nya Nia Daniaty, dan lagu-lagu lain yang masa itu lagi top-topnya. Misalnya lagu-lagu ciptaan Obbie Mesakh, Rinto Harahap atau Wahyu OS. Banyak dari lagu-lagu itu yang bernuansa sendu. Yang agak rancak, yang seingat saya pernah ditampilkan secara duet oleh teman saya adalah Kalau Bulan Bisa Ngomong-nya Doel Sumbang-Nini Karlina.

Saya kebagian apa? Nyanyi? Ah, mana bisa saya menyanyi. Wong bersin saja suara saya sengau... Hehehe....
Saya, sering diminta sebagai MC saja. Walau belakang hari, saya jadi tahu diri; 'memangnya saya saja yang bisa bercuap-cuap?'. Saya ingin ada teman lain yang tampil. Dan pihak pengasuh vokal grup di sekolah kami menyetujui. Tapi ada syaratnya; “Naskahnya kamu yang buat,” katanya.

Okelah. Setelah beberapa kali tampil hanya puisi (yang kalau dibaca lagi sekarang saya malu) yang dibacakan teman lain, sekarang giliran saya juga menulis naskah untuk sang pembawa acara.


Suatu hari ditempat parkir, ketika saya ikutan keluar dari mobil yang membawa kami ke studio RRI, Joko Sambang, sang gitaris andalan sekolah kami mendekati saya, “Kamu jangan pura-pura,” katanya.

“Pura-pura apa, mBang?” jawab saya.

“Pegang gitar ini!” ia menyodorkan gitar akustik merk Yamaha kepada saya. “Mainkan!”

“Aku gak bisa main gitar, mBang...”

“Jangan bohong, dari bentuk jari tanganmu aku tahu, kamu bisa main gitar...”

Lhadalah, baru kali itu saya mendengar seorang bisa mengetahui bisa-tidaknya orang main gitar dilihat dari tangannya. Tetapi, tentu saja si Joko Sambang sangat keliru. Ya, saya tak bisa main gitar. Sampai sekarang!

Tetapi, tanpa berguru kepadanya, belakangan saya bisa menebak sebuah tanda-tanda dari tangan seseorang. Bukan tentang gitar. Tetapi tangan tukang becak.
Tentu sampeyan juga tahu, bila seorang tukang becak melambaikan tangan kekanan (dengan tanpa menoleh kebelakang) bersiaplah; abang becak itu akan belok kanan. Berhati-hatilah 'melawan' kendaraan (dan pengemudi) model ini, yang sering dengan gagah berani melawan arus dipadatnya arus lalu lintas....

Rabu, 28 Desember 2011

Pengemis Naik Kelas

BATAS antara meminta-minta dan mengamen, saya perhatikan, makin tipis saja. Seringkali, pengamen yang mampir kerumah saya saya lihat tidak menyanyi. Ia hanya genjrang-genjreng gitar dengan nada ngawur. Alat itu ia bunyikan sekadar memberitahu pemilik rumah akan kedatangannya. Lalu, ketika uang receh telah diterimanya, ia akan melanjutkan pindah ke rumah sebelah. Juga dengan modus yang sama.

Ada lagi sejenis pengamen tapi menakutkan; ngamen jaranan. Dengan dandanan khas jaranan (celana kombor hitam, kaos loreng putih-merah, ikat kepala, bedak kemerahan). Tentu ia tak membawa gitar untuk mengiringi atraksinya. Ia membawa tape yang memutar gamelan rancak kesenian khas Jawa ini. Satu lagi; sambil menari-nari, sesekali ia memcambukkan pecut. Dan cambukan itu makin keras saja manakala si pemilik rumah tak segera keluar untuk memberinya uang kecil. (Ngamen kok neror...)

Hari Minggu adalah hari yang padat akan kunjungan pengamen. Mereka rupanya tahu, hari itu rumah-rumah yang dihari lain selalu tutup (karena ditinggal pergi penghuninya untuk kerja), banyak yang berpenghuni. Artinya lagi, income bagi para pengamen berpeluang untuk meningkat, ketimbang hari kerja.

Tidak hanya pengamen, hari Minggu adalah hari kunjungan para pengemis. Saking seringnya, saya sampai hapal wajah para pengemis itu. Salah satunya seorang laki-laki seusia kakak saya. Melihat fisiknya, saya kira ia sehat jiwa raga. Lebih kekar dari tukang becak yang mangkal dipertigaan pasar Rungkut. Tetapi kenapa mengemis? Tak perlulah saya tanyakan hal ini kepadanya. Sampeyan tentu pasti tahu.

Belakangan, saya juga kedatangan lelaki itu lagi. Untuk mengemis? Ah, tidak lagi sekarang. Rupanya ia telah 'naik kelas'. Ia datang tidak dengan baju lusuh dan celana kumal. Juga tidak menyandang tas compang-camping. Ia tampil lebih 'necis'; celana panjang warna hitam, baju putih lengan panjang, songkok putih ala haji, dan map hijau dengan lembaran yayasan 'anu' didalamnya lengkap dengan surat permohonan sumbangan.*****

Jumat, 23 Desember 2011

Daun yang Menipu


...di alam nyata
apa terjadi
buah semangka
berdaun sirih...”

PERCAYALAH, itu hanya ada dalam syair lagu. Tepatnya lagi, lagunya Broery Pesolima

Dialam nyata yang sesungguhnya, sering saya dapati daun penipu. Lihat dan perhatikan lebih jeli; dilapak-lapak pedagang buah dipinggir jalan, untuk memberi kesan buah nan segar, seringkali para pedagang buah menyelipkan dedaunan disela ikatan buah rambutan yang dipajang. Yakinlah, itu bukan daun rambutan sesungguhnya. Karena, mana ada orang membawa rambutan dari kampung sekalian sak daun-daunnya.

Ya, melihat bentuknya, saya curigai itu adalah daun pohon sono yang memang banyak ditanam Dinas Kebersihan dan Pertamanan di pinggir-pinggir jalan, berdekatan dengan lokasi para pedagang buah mangkal.

Masih tentang daun yang kadang menipu.
Begini; dikampung saya, ketika ada tetangga yang hendak menggelar selamatan, salah satu indikasinya adalah pagi ia akan mengambil daun-daun pisang. Daun yang masih menyatu dengan pelepahnya itu, kemudian disandarkan didinding rumah dihadapkan ke sinar matahari. Tujuannya agar daun itu layu. Sehingga ketika digunakan untuk membungkus 'berkat', daun itu tidak gampang sobek.

Melihat itu, biasanya para ibu tetangga kanan kiri sudah ambil langkah antisipasi. Kalau tidak membatalkan menanak nasi untuk dikonsumsi disore hari, paling tidak akan mengurasi porsinya. Alasannya jelas, bila ada tetangga selamatan, sebungkus 'nasi berkat'-nya bisa untuk mengenyangkan perut seisi rumah berpenghuni empat sampai lima jiwa.

Itu kalau beruntung. Kalau tidak (misalnya ternyata si tetangga mengambil daun pisang untuk dijual kepasar besok pagi), bagi yang sudah kadung tidak memasak, bukan tidak mungkin si ibu bakalan diprotes orang serumah.

Satu lagi.
Sampeyan tahu lemper? Iya, jajanan tradisional berbahan ketan yang dibentuk sedemikian rupa, dengan dibubuhi irisan daging atau abon dibagian tengahnya. Si lemper ini mempunyai ciri yang khas. Bungkusnya, yang dari daun pisang, selalu rangkap dua. Bagian dalam, adalah daun pisang agak tua, yang warnanya menjadi lebih tua karena ikutan ditanak dalam proses pembuatannya. Bungkus luar, tetap memakai daun pisang, tetapi dipilih yang daun muda. Sehingga warnanya cenderung lebih cerah; hijau kekuningan. Itu dulu. Sekarang, sekalipun bagian dalam tetap sama, bungkus luar adalah imitasi belaka; bukan daun pisang tulen. Sekalipun warnanya dibuat sepersis mungkin, ia adalah plastik semata.

Bagaimana, masih tertarik dengan daun muda?*****

Rabu, 21 Desember 2011

Mantera Madura

SEKALIPUN bukan bernama Karib, saya punya sahabat karib. Anto namanya. Lengkapnya; Anto Baruna. Sebuah nama yang tentu tidak mencerminkan bahwa ia berasal dari pedalaman Trenggalek sana.

Sebagai sahabat, sering saya pergi kemana-mana bersama dia. Suatu Minggu, dia mengajak saya pergi keluar pulau. Sekadar tamasya. Tujuannya, sekalipun luar pulau, tidak jauh-jauh amat; Madura. Kala itu Suramadu belum dibangun.

Ke Tanjung Perak kami naik bus kota. Menyeberang ke pulau garam kami ikut kapal Potre Koneng. Sesampainya di Kamal, blank. Tak tahu tujuan. Tetapi saya lihat ia lega. Hasrat menginjakkan kaki di Madura tunai sudah. Tetapi lalu ngapain?

Itu dia. Untuk beberapa saat kami hanya berjalan-jalan putar-putar pelabuhan Kamal. Lalu langkah kami menuju para pedagang didekat pelabuhan. Salak mengunung-gunung dilapak setiap pedagang buah. Rupanya saat itu lagi musim salak di Madura. Disitu tentu juga ada penjual souvenir khas Madura; odeng, miniatur celurit, juga pecut.

Kami tak membeli, baik salak maupun souvenir.
Tetapi sebagai wisatawan, kami terus saja berjalan-jalan. Dan, tibalah kami ke (kalau tidak salah ingat) terminal angkot di Kamal. Segera saja kami menjadi rebutan para makelar angkot. Saya, yang sedikit bisa bahasa Madura, tentu mudah saja menolak tawaran makelar yang terus saja memaksa (paling tidak) kami menjawab kemana tujuannya. Tetapi tidak demikian dengan si Anto. Ia tampak kewalahan menghadapi para makelar yang sebagian besar masih menggunakan bahasa Madura itu.

"Kamu kok tidak dipaksa sih. Kulihat kamu hanya mengucap dua kata, para makelar itu sudah pergi. Apa yang kamu ucapkan?" tanay Anto.

Tentu saja saya ketawa. "Ada manteranya, To," kata saya.

"Ajarin dong," pintanya memelas.

Maka, karena ini sebuah mantera, saya larang ia menuliskannya. Tak ada mantera yang ditulis. Harus dihapal diluar kepala. Dan, mantera Madura ini toh hanya dua kata. Tak sulitlah untuk menghapalnya. Bunyinya; "Bunten semak," kata saya kepada Anto.

Beres.
Saya lihat, setelah ia merasa hapal dengan manteranya, ia dengan pede meninggalkan saya yang minum es teh disebuah kedai di terminal Kamal itu. Saya lihat, ketika ia didatangi makelar, mulutnya komat-kamit merapal manteranya. Dan, ampuh. Makelar itu segera menjauh. Begitu berulang-ulang. Sampai kemudian, karena kekagumannya akan keampuhan mantera yang saya ajarkan, ia bertanya apa maknanya.

"Makna apa?" saya balik nanya.

"Ya makna 'bunten semak' itu. Kok ampuh amat," kata Anto.

Saya menyeringai. Sampeyan  tahu, yang saya ajarkan itu sebenarnya bukan mantera. Ia adalah bahasa Madura. Sebagai kalimat penolak ajakan para makelar. Artinya, lebih kurang, "Tidak, dekat (saja kok tujuan saya)."


Selasa, 06 Desember 2011

Tiada Bulan tanpa Selamatan


BULAN Suro (Asy-syura), ketika saya kecil di kampung dulu, datangnya selalu ditandai dengan bubur beras putih. Sesama tetangga saling berhantar sepiring bubur yang diatasnya ditaburi telur dadar , tempe-tahu goreng yang semua diiris tipis-tipis. Taburan itu juga dilengkapi beberapa butir kacang tanah digoreng.
Hanya sepiring? Bagaimana cara kami membagi memakannya padahal saya dirumah ada berenam? Oh, jangan khawatir. Semua akan kebagian. Benar memang hanya sepiring, tetapi semua tetangga, dihari itu, saling menghantar. Jadilah ia berpiring-piring.

Dikampung saya (mungkin juga dikampung sampeyan), banyak sekali bulan yang datangnya sering diselameti. Nyaris tiada bulan tanpa selamatan. Selain Suro yang saya ceritakan diatas, bulan lain yang juga ditandai dengan bubur adalah bulan Sapar (Syafar). Walaupun sesama bubur, di bulan Sapar bentuk dan bahannya berbeda. Kalau bubur Suro warna lebih dominan putih (warna asli beras), bubur Sapar berwarna merah. Tentu bukan semerah darah. Karena sekalipun merah, sebenarnya ia lebih cenderung ke coklat. Ya, warna itu didapat dari gula Jawa sebagai pemanis.

Selain warna, beras yang digunakan adalah jenis ketan. Lebih beda lagi, bubur Sapar ini berbentuk bulatan-bulatan kecil. Menthul-menthul. Bubur ini  juga disebut jenang Sapar. Nama lainnya lagi adalah; jenang grendul.

Tetapi selamatan paling meriah tentu adalah acara Mulutan. Begitulah lidah kami menyebutnya. Ia digelar serentak ditanggal 12 Robiul Awwal. Ya, Mulutan ini memang untuk ‘memeriahkan’ peringatan maulid nabi SAW.

Ia meriah bukan karena berbentuk tumpeng dan bukan bubur. Lebih dari itu, tumpeng itu dihias sedemikian rupa dengan aneka bendera kecil warna-warni yang ditancap diseputar ‘encek’ (nampan dari pelepah pisang yang dialasi anyaman bambu) yang berisi tumpeng lengkap dengan ayam panggang dan aneka buah.

Begitulah, kemiskinan yang saban hari diakrabi, tidak lantas kami merasa makin miskin karena sering menggelar selamatan. Ada saja rejeki sebagai biaya membeli beberapa butir telur atau seekor ayam plus beras putih. Walau nasi jagung, sambal terasi dipadu dengan ‘gangan mrong-gih’ (sayur daun kelor) sebagai menu nornal kami.

Menulis catatan ini, bukan berarti saya hendak mengumbar kemiskinan kami. Tidak. Saya hanya rindu sepiring bubur Suro.
Sekarang, di Surabaya ini, dan masih dibulan Suro ini, saya tunggu kiriman sepiring bubur Suro dari sampeyan.

Salam.

Menulislah!

”…Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.”

Pramoedya Ananta Toer

Senin, 05 Desember 2011

Politisi, Ulama dan Wartawan

"TAHUKAH kalian, apa yang terjadi dengan politisi, ulama dan wartawan? Politisi tidak mau tahu kebenaran. Ulama hanya tahu separoh kebohongan. Dan wartawan tidak tahu beda antara keduanya!"
 

-- Dr. Mustafa Ceric, Grand Mufti Bosnia-Herzegovina

Minggu, 04 Desember 2011

Musim Bencana

HALAMAN depan koran yang saya baca hari ini memampang peta. Peta bukan sembarang peta; peta bencana. Beginilah, musim hujan senantiasa datang berombongan bersama musim-musim yang lain. Musim banjir, musim angin putting beliung, musim pohon dan bangunan roboh dst, dsb.

Tetapi, sebencana-bencananya di negeri ini, bila belum ada lagunya Ebiet G Ade yang diputar berulang-ulang di semua stasiun televisi, itu artinya si bencana masih dalam taraf 'kecil'. Rumah roboh kok kecil? Kebanjiran kok kecil? Satu orang tewas kerobohan gedung madrasah di Pamekasan kok kecil?

Seperti sekolah, kesedihan pun ada kelasnya. Ada tingkatannya.Dan, apesnya, tingkatan itu tidak satu kata satu rasa oleh si korban dan si mengurusi bencana. Kelas bencana rutin yang ajeg datang saban tahun itu, turun karena kita pernah ditimpa bencana besar; tsunami Aceh!

Ya, sejak tsunami yang meluluh lantakkan bumi Serambi Mekkah itu, dengan jumlah korban jiwa begitu banyaknya, (yang untuk menguburkan para korbannya ditimbun 'begitu saja' memakai bolduzer,) membuat bencana lain yang datang belakangan. menjadi terkesan kecil. Ia selalu kalah telak oleh bencana Aceh.

Sebulan pasca tsunami Aceh itu, saya dapati seorang bulik (bibi) ipar saya membagi sarung, kaos, dan sabun mandi. Saya yang baru datang turut ditawarinya pula. Mula-mula, demi menghargai sebuah pemberian, saya mau saja sekalipun mutu kain sarung itu tak seberapa bagus. Tetapi, ketika saya tanya darimana mendapatkan sarung dan lain-lain itu, bulik saya menjawab begini; “Ini oleh-oleh dari paman suami saya yang bertugas mengantar bantuan untuk Aceh. Ia mengambil sebagian barang dari kapal yang turut diawakinya.”

Jawaban itu sungguh telah menghilangkan selera saya untuk turut mengambilnya. Saya malu. Saya hanya menyumbangkan pakaian bekas untuk mereka, kok ini malah mau ngambil barang baru yang seharusnya juga untuk mereka?

Sungguh, lagu Ebiet menemukan adegannya disitu, dalam kekalutan, masih banyak tangan, yang tega berbuat nista ho ho ho....