Selasa, 06 Desember 2011

Tiada Bulan tanpa Selamatan


BULAN Suro (Asy-syura), ketika saya kecil di kampung dulu, datangnya selalu ditandai dengan bubur beras putih. Sesama tetangga saling berhantar sepiring bubur yang diatasnya ditaburi telur dadar , tempe-tahu goreng yang semua diiris tipis-tipis. Taburan itu juga dilengkapi beberapa butir kacang tanah digoreng.
Hanya sepiring? Bagaimana cara kami membagi memakannya padahal saya dirumah ada berenam? Oh, jangan khawatir. Semua akan kebagian. Benar memang hanya sepiring, tetapi semua tetangga, dihari itu, saling menghantar. Jadilah ia berpiring-piring.

Dikampung saya (mungkin juga dikampung sampeyan), banyak sekali bulan yang datangnya sering diselameti. Nyaris tiada bulan tanpa selamatan. Selain Suro yang saya ceritakan diatas, bulan lain yang juga ditandai dengan bubur adalah bulan Sapar (Syafar). Walaupun sesama bubur, di bulan Sapar bentuk dan bahannya berbeda. Kalau bubur Suro warna lebih dominan putih (warna asli beras), bubur Sapar berwarna merah. Tentu bukan semerah darah. Karena sekalipun merah, sebenarnya ia lebih cenderung ke coklat. Ya, warna itu didapat dari gula Jawa sebagai pemanis.

Selain warna, beras yang digunakan adalah jenis ketan. Lebih beda lagi, bubur Sapar ini berbentuk bulatan-bulatan kecil. Menthul-menthul. Bubur ini  juga disebut jenang Sapar. Nama lainnya lagi adalah; jenang grendul.

Tetapi selamatan paling meriah tentu adalah acara Mulutan. Begitulah lidah kami menyebutnya. Ia digelar serentak ditanggal 12 Robiul Awwal. Ya, Mulutan ini memang untuk ‘memeriahkan’ peringatan maulid nabi SAW.

Ia meriah bukan karena berbentuk tumpeng dan bukan bubur. Lebih dari itu, tumpeng itu dihias sedemikian rupa dengan aneka bendera kecil warna-warni yang ditancap diseputar ‘encek’ (nampan dari pelepah pisang yang dialasi anyaman bambu) yang berisi tumpeng lengkap dengan ayam panggang dan aneka buah.

Begitulah, kemiskinan yang saban hari diakrabi, tidak lantas kami merasa makin miskin karena sering menggelar selamatan. Ada saja rejeki sebagai biaya membeli beberapa butir telur atau seekor ayam plus beras putih. Walau nasi jagung, sambal terasi dipadu dengan ‘gangan mrong-gih’ (sayur daun kelor) sebagai menu nornal kami.

Menulis catatan ini, bukan berarti saya hendak mengumbar kemiskinan kami. Tidak. Saya hanya rindu sepiring bubur Suro.
Sekarang, di Surabaya ini, dan masih dibulan Suro ini, saya tunggu kiriman sepiring bubur Suro dari sampeyan.

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar