“PPDB
Surabaya, sereemmm....”
“Masa sih?”
“Iya, Om.”
“Berdoa aja.”
“Masuk negeri sudah gak ada harapan.”
“Masih ada harapan.”
“?!”
“Iya, di terminal: banyak Bis Harapan Jaya...”
BEGITULAH yang sempat saya intip di dinding Facebook seorang pelajar lulusan SMP yang sedang ketir-ketir memelototi website penerimaan peserta didik baru, dan dia mengincar sekolah lanjutan negeri. Boleh SMA, boleh SMK. Dan selalu, kegalauan yang kadarnya sunguh-sungguh, ada saja yang mengomentari secara bercanda di socmed.
“Masa sih?”
“Iya, Om.”
“Berdoa aja.”
“Masuk negeri sudah gak ada harapan.”
“Masih ada harapan.”
“?!”
“Iya, di terminal: banyak Bis Harapan Jaya...”
BEGITULAH yang sempat saya intip di dinding Facebook seorang pelajar lulusan SMP yang sedang ketir-ketir memelototi website penerimaan peserta didik baru, dan dia mengincar sekolah lanjutan negeri. Boleh SMA, boleh SMK. Dan selalu, kegalauan yang kadarnya sunguh-sungguh, ada saja yang mengomentari secara bercanda di socmed.
PPDB
yang online
ini, sungguh adalah biang dari (tidak hanya calon siswa)
dag-dig-dugnya orang tua. Lebih-lebih yang hanya punya amunisi nilai
pas-pasan. Salah dalam membidik sekolah tujuan, bisa jadi malah
tersingkir dan harus sekolah di luar negeri (baca: swasta).
Bagi orang kebanyakan, sekolah swasta dianggap agak menakutkan. Biaya besar adalah alasannya. Walau, secara prestasi, tidak sedikit kok sekolah swasta yang jempolan. Tentu bagi yang dompetnya tebal itu bukanlah masalah, dan justru sedari awal sama sekali sudah tak mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri.
Bagi orang kebanyakan, sekolah swasta dianggap agak menakutkan. Biaya besar adalah alasannya. Walau, secara prestasi, tidak sedikit kok sekolah swasta yang jempolan. Tentu bagi yang dompetnya tebal itu bukanlah masalah, dan justru sedari awal sama sekali sudah tak mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri.
Hari
ini PPDB sudah ditutup dan keributan masih terjadi. Yang tidak
diterima di sekolah negeri ribut mencari sekolah swasta, yang
diterima di negeri (dan swasta) sibuk melengkapi ini-itu dalam daftar
ulang. Iya, datang ke sekolah –dalam tahap ini-- tidak melulu
datang, menyerahkan berkas, lalu selesai dan pulang. Enteng sekali
kalau begitu. Tidak ada makan siang yang gratis, Bung. Apalagi
sekolah. Dan daftar ulang itu, berarti pula daftar uang.
Padahal hari-hari ini adalah hari menjelang lebaran. Dimana kebutuhan untuk dipenuhi ada panjang sekali daftarnya. Baju untuk anak-anak (karena untuk ibu-bapak item ini layak bisa dinomorsekiankan), beli kue untuk tamu yang berkunjung di hari raya nanti, biaya mudik-balik ke kampung halaman. Dan deretan senarai ini bisa panjang sekali manakala ganti korden, ganti furniture sampai cat ulang dinding yang sejatinya belum kusam dimasukkan.
Padahal hari-hari ini adalah hari menjelang lebaran. Dimana kebutuhan untuk dipenuhi ada panjang sekali daftarnya. Baju untuk anak-anak (karena untuk ibu-bapak item ini layak bisa dinomorsekiankan), beli kue untuk tamu yang berkunjung di hari raya nanti, biaya mudik-balik ke kampung halaman. Dan deretan senarai ini bisa panjang sekali manakala ganti korden, ganti furniture sampai cat ulang dinding yang sejatinya belum kusam dimasukkan.
Sekali
lagi, bagi yang sudah menyiapkan anggaran untuk aneka aneka kebutuhan
itu tentu bisa lebih nyantai. Lha,
bagi orang yang ekonominya pas-pan tentu hal ini adalah beban. Dan,
Anda tahu, selalu ada jalan untuk meringankan beban: hobi. Bagi
sebagian orang, burung peliharaan di kala pikiran suntuk, kicaunya
bisa meringankan. Begitu juga fenomena batu akik belakangan ini.
Siapa
tahu, sambil menyusun strategi menyelesaikan masalah, duduk santai di
teras rumah sembari menggosok batu akik kesayangan, tiba-tiba asap
tipis mengepul dari batu itu. Sesosok jin muncul dan berkata,
“Silakan Tuan ajukan tiga permintaan, niscaya akan saya kabulkan....” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar