Selasa, 25 Oktober 2011

Sasaran Tembak


KAMERA, bagi seorang fotografer (baik yang profesioanal maupun yang kelas amatir) adalah barang yang fardu 'ain hukumnya untuk selalu ditenteng. Ia ibarat senjata bagi tentara atau polisi. Dimana ada sasaran yang layak ditembak, tinggal klik!

Saya bukanlah termasuk yang begitu itu. Yang amatir sekalipun. Walau, pernah berhari-hari membawanya, membayangkan ada obyek langka yang layak 'tembak'. Tetapi saya bukanlah orang yang sabar. Dalam berhari-hari itu, sambil berangkat dan pulang kerja, hanya satu-dua yang kena sasaran saya. Selebihnya nihil.

Disitulah lalu saya menyerah. Eman-eman si Canon saya tentang-tenteng tanpa pernah ditembakkan. Tetapi, lhadalah. Disaat saya tanpa 'senjata' itu, melintas depan hidung saya obyek yang saya idamkan; seorang bapak bersepeda ontel ikut berjejal dipadatnya lalu lintas raya Wonokromo ssebelah Bonbin ke arah raya Darmo. Seorang bersepeda, apa istimewanya?

Kalaulah ia sekadar seorang bapak yang sedang bike to work secara lazim, tentu saya tak istimewakan dia. Tetapi karena ia tampil beda, tentu ia saya nilai beda. Perbedaan itu adalah; ia memakai helm lengkap dengan jaket dan sepatu kets. Dan, perlu saya tegaskan, helm itu bukan helm sepeda, tetapi helm teropong SNI yang sebagai pasangan orang bermotor.

Kalau ketika itu saya bawa kamera, dan berhasil 'menembaknya', tentu saya tak perlu berbuih-buih menulis deskripsinya kepada sampeyan..

Besoknya, saya kembali bawa kamera. Berharap ketemu si bapak itu lagi. Atau paling tidak nemu obyek lain yang tak kalah menarik. Saya merasa, kok kayak aparat kemanan yang kembali bergairah melakukan razia setelah kebobolan bom. Dalam membawa kamera ini, saya terkesan 'hangat-hangat tahi ayam'.

Lama tak mendapat sasaran tembak, kelakuan saya kumat lagi. Si Canon saya tinggal lagi. Ia saya biarkan tidur nyenyak di laci lemari kamar saya yang panas di akhir bulan Oktober ini.
Dan, ndilalah, disaat saya tak berkamera begitu, muncul lagi sasarannya. Bukan si bapak yang tempo hari itu. Bukan sekadar sepeda ontel, tetapi sepeda motor.

Kali ini saya mengikutinya sampai di jalan Mayjen Sungkono. Namun saya mulai melihatnya sejak di lampu merah depan bekas studio radio Lavictor diujung jalan Adityawarman menjelang Mayjen Sungkono. Motor itu sejenis yang saya tunggangi. Honda dari jenis Supra X-125. Warnanyapun tak berbeda dengan punya saya; kombinasi merah hitam dengan velg bintang. Nopolnya; L 6844 AE.

Yang membedakan dari motor saya, pada 'pinggul' kanan kiri, dibawah joknya, tak tertera tulisan resmi Honda. Tetapi Akas, warna kuning persis seperti yang menempel pada tubuh PO Akas.

Saya ikuti si Akas itu, sambil menyesal saya tak membawa kamera. Terus saja saya ikuti sampai ia berbelok ke SPBU di sebelum taman makam pahlawan. Sampai disitu saya baru berusaha menghibur diri; saya bukan fotografer. Saya ingin menjadi penulis. Karena dengan 'hanya' sebagai penulis, nyaris saya tak memerlukan alat bantu ketika membidik sasaran. Saya hanya perlu menyimpannya diotak, kemudian menuliskannya. Walau, tentu saja, tulisan itu akan lebih memikat bila disertai hasil jepretan kamera.

Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar