KAMERA, bagi seorang fotografer
(baik yang profesioanal maupun yang kelas amatir) adalah barang yang
fardu 'ain hukumnya untuk selalu ditenteng. Ia ibarat senjata
bagi tentara atau polisi. Dimana ada sasaran yang layak ditembak,
tinggal klik!
Saya bukanlah termasuk yang begitu itu.
Yang amatir sekalipun. Walau, pernah berhari-hari membawanya,
membayangkan ada obyek langka yang layak 'tembak'. Tetapi saya
bukanlah orang yang sabar. Dalam berhari-hari itu, sambil berangkat
dan pulang kerja, hanya satu-dua yang kena sasaran saya. Selebihnya
nihil.
Disitulah lalu saya menyerah. Eman-eman
si Canon saya tentang-tenteng tanpa pernah ditembakkan. Tetapi,
lhadalah. Disaat saya tanpa 'senjata' itu, melintas depan
hidung saya obyek yang saya idamkan; seorang bapak bersepeda ontel
ikut berjejal dipadatnya lalu lintas raya Wonokromo ssebelah Bonbin
ke arah raya Darmo. Seorang bersepeda, apa istimewanya?
Kalaulah ia sekadar seorang bapak yang
sedang bike to work secara lazim, tentu saya tak istimewakan
dia. Tetapi karena ia tampil beda, tentu ia saya nilai beda.
Perbedaan itu adalah; ia memakai helm lengkap dengan jaket dan sepatu
kets. Dan, perlu saya tegaskan, helm itu bukan helm sepeda, tetapi
helm teropong SNI yang sebagai pasangan orang bermotor.
Kalau ketika itu saya bawa kamera, dan
berhasil 'menembaknya', tentu saya tak perlu berbuih-buih menulis
deskripsinya kepada sampeyan..
Besoknya, saya kembali bawa kamera.
Berharap ketemu si bapak itu lagi. Atau paling tidak nemu obyek lain
yang tak kalah menarik. Saya merasa, kok kayak aparat kemanan yang
kembali bergairah melakukan razia setelah kebobolan bom. Dalam
membawa kamera ini, saya terkesan 'hangat-hangat tahi ayam'.
Lama tak mendapat sasaran tembak,
kelakuan saya kumat lagi. Si Canon saya tinggal lagi. Ia saya biarkan
tidur nyenyak di laci lemari kamar saya yang panas di akhir bulan
Oktober ini.
Dan, ndilalah, disaat saya tak
berkamera begitu, muncul lagi sasarannya. Bukan si bapak yang tempo
hari itu. Bukan sekadar sepeda ontel, tetapi sepeda motor.
Kali ini saya mengikutinya sampai di
jalan Mayjen Sungkono. Namun saya mulai melihatnya sejak di lampu
merah depan bekas studio radio Lavictor diujung jalan
Adityawarman menjelang Mayjen Sungkono. Motor itu sejenis yang saya
tunggangi. Honda dari jenis Supra X-125. Warnanyapun tak berbeda
dengan punya saya; kombinasi merah hitam dengan velg bintang.
Nopolnya; L 6844 AE.
Yang membedakan dari motor saya, pada
'pinggul' kanan kiri, dibawah joknya, tak tertera tulisan resmi
Honda. Tetapi Akas, warna kuning persis seperti yang menempel pada
tubuh PO Akas.
Saya ikuti si Akas itu, sambil menyesal
saya tak membawa kamera. Terus saja saya ikuti sampai ia berbelok ke
SPBU di sebelum taman makam pahlawan. Sampai disitu saya baru
berusaha menghibur diri; saya bukan fotografer. Saya ingin menjadi penulis. Karena
dengan 'hanya' sebagai penulis, nyaris saya tak memerlukan alat bantu
ketika membidik sasaran. Saya hanya perlu menyimpannya diotak,
kemudian menuliskannya. Walau, tentu saja, tulisan itu akan lebih
memikat bila disertai hasil jepretan kamera.
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar