PERTAMA kali saya menginjakkan kaki di Surabaya, juga pada musim haji begini. Tetapi karena waktu itu saya baru kelas dua atau tiga SD, tentu tak banyak yang bisa saya ingat. Waktu itu saya diajak ayah dan ibu mengantar kanek-nenek yang berangkat haji. Tidak tanggung-tanggung, dari desa Grenden-Puger, kakek mecarter tiga bis Akas.
Dalam perjakanan, lebih banyak saya fly, mabuk. Tetapi di Surabaya saya ingat diajak ke Bonbin. Itu saja. Peristiwa lain tidak ada yang menempel diingatan saya.
Kali kedua ke Surabaya, sekitar duapuluh tahun yang lalu. Sudah tidak fly. Tetapi memang tidak naik bis. Tetapi truk. Lengkapnya; truk gandeng! Jangan bayangkan duduk di depan didekat sopir. Tidak. Tetapi di bak belakang. Sekalipun tentu tidak di gandengannya.
Peristiwa itu bermula ketika saya diajak seorang teman mencari kerja ke kota Pahlawan ini. Sebuah kepergian yang tanpa rencana, mendadak, sekaligus minim sangu. Seingat saya ketika itu masih di bulan Syawal. Sepanjang perjalanan, kami sekitar enam orang, selalu ngemil jajan lebaran yang masing-masing kami membawanya. Tetapi tentu kami tak bisa melihat pemandangan. Bahkan tak tahu truk sudah sampai dimana. Hanya terasa mak sliyut kalau truk berbelok saja. Karena truk tertutup terpal secara brukut.
Juga, lik Slamet, sopir truk Pantja Jaya yang lagi mengangkut batu kapur untuk dikirim ke pabrik karbit MDQ, selalu melarang kami bersuara. Lebih-lebih kalau masuk jembatan timbang. Lik Slamet sang pilot yang baik hati itu adalah tetangga kami.
Hari sudah malam ketika kami diturunkan di Medaeng. Saling menertawai teman. Karena ternyata wajah kami semua laksana Hanoman.
Tidak menyangka, berawal dari perjalanan penuh kenangan itu, kalau saya hitung-hitung, sudah sekitar duapuluh tahun lebih saya tinggal di kota buaya ini. Belum berhasil menjadi pahlawan, rasanya. Tetapi masih untung, paling tidak saya terhindar dari menjadi buaya.
Masih cerita tentang saat pertama ke kota Surabaya, cak Jum, sorang kenalan, juga punya pengalaman unik. Ia asal Jombang. Ia lebih berkelas, ketimbang saya. Karena pengalaman pertama keluar kotanya naik bis. Selain itu perjalanannya sungguh telah dipersiapkan dengan matang. Tidak mendadak seperti saya.
Kata cak Jum, malam sebelum keberangkatannya, simbok-nya menanak nasi putih. Bukan nasi jagung seperti biasanya. Dan lebih lengkap lagi dengan lauk kare ayam. Sungguh suatu kemewahan.
“Apa memang tradisi di kampung sampeyan, kalau ada keluarga ke kota selalu selamatan begitu?”
tanya saya.
“Itu bukan selamatan,” jawab cak Jum. “Simbok memasak nasi putih dan ayam begitu, karena ia tahu aku ini kalau naik bis selalu mabuk.”
Saya belum nyantol atas penjelasan cak Jum barusan. Apa hubungannya naik bis mabuk dengan nasi putih plus ayam. Kenapa tidak minum Antimo saja?
“Begini,” kata cak Jum. Rupanya ia tahu saya menunggu keterangan lanjutan.”Biasanya aku makan nasi jagung lauknya ikan asin. Gengsi, kan, kalau huekk... mabuk yang keluar ikan asin. Kalau nasi putih dan daging ayam kan lebih mendingan...”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar