SUATU hari seorang teman Ansor datang kerumah saya. Ia membawa buntalan berisi seragam kebesaran Banser.
“Tugas mendadak ke Situbondo,” katanya.
Saya tidak kuasa menolak. Lebih-lebih ayah saya memang NU tulen. Beliau bisa jadi sangat bangga bila saya mengenakan baju Banser.
Karena tugas mendadak, saya langsung saja mengenakan seragam yang entah milik siapa itu. Sungguh ia adalah baju kebesaran karena ukuran tubuh saya yang kerempeng.
Siang itu pula kami diangkut truk bak terbuka menuju TKP. Sungguh laksana militer. Alih-alih bangga, saya malah merasa aneh dengan penampilan saya itu. Baju yang kedodoran dipadu dengan sepatu model Hansip yang kekecilan. Sungguh suatu paduan yang tak padu.
Sampai di Situbondo, massa sudah menyemut di sebuah lapangan berpagar tembok. Saya lupa, apa nama stadion itu. Didalamnya, ada panggung besar dengan sound system juga berkekuatan besar. Tohoh yang ditunggu ribuan nahdliyin pun memanglah orang besar; KH Abdurrahman Wahid. Yang ketika itu masih ketua PBNU.
Dalam koordinasi dengan pasukan Banser dari beberapa daerah, dibagilah tugas masing-masing kami. Ada yang kebagian mengamankan luar stadion, ikut membantu pak polisi di simpul-simpul jalan seputar lokasi, dan tentu saja ada sebagai pengaman dalam arena.
Saya dan teman-teman kebagian yang di dalam stadion. Skenarionya, begitu mobil yang membawa Gus Dur memasuki pintu stadion, kami membuat rantai Banser dengan cara saling mengaitkan tangan. Posisinya berdiri berjajar saling terikat laiknya berkacak pinggang. Dengan begitu, diperkirakan akan sulit orang-orang untuk menerobos mendekati Gus Dur.
Tetapi skenario berubah total. Tidak memungkinkan menurunkan Gus Dur agak jauh dari panggung. Gus Dur harus menuju panggung sekalian mobilnya. Massa sudah sedemikian bernafsunya bahkan untuk sekadar mendekati mobilnya. Maka yang terjadi kemudian, lautan manusia merangsek bak gelombang laut betulan. Kami yang bergandeng tangan menghalagi gelombang itu menerpa mobil NU-1, sungguh merasakan gempuran yang makin lama makin kuat.
Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, saya temui kebenarannya hari itu. Benar, kami para Banser juga bersatu. Tetapi kalah teguh ketimbang ribuan orang nahdliyin itu. Saya yang kerempeng malah nafasnya tinggal satu-dua. Kalau tidak terikat dalam satu rantai dengan Banser yang lain, tentu saya bukan tidak mungkin untuk berfikir melakukan desersi.
Tetapi tidak. Ini tugas mulia. Mana mungkin seorang Banser mudah menyerah!
Puncaknya, ketika arus massa makin menguat, kami yang malah telah terengah-engah. Akhirnya, kami para Banser yang justru berhasil terjungkal secara berjamaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar