DULU saya pernah kost di daerah Bungurasih Timur. Sayang saya lupa tahunnya. Pokoknya dulu sekali. Ketika itu Ramayana masih pondasi. Yang jelas waktu itu saya masih bujang. Dan karena saban hari menghirup pergaulan terminal, saya ketularan 'agak' nakal.
Tempat kost saya itu tidak jauh dari terminal. Setiap malam, saya dan beberapa teman selalu ngeluyur kesitu. Cari hiburan. Cari sasaran cuci mata. Apalagi kalau malam Minggu. Selain sarana cuci matanya membludak, juga di malam itu pasti ada siaran langsung sepak bola di televisi. Karena di tempat kost tidak ada televisi.
Karena, sebagai kuli bangunan yang daerah operasinya seputar Surabaya, rupanya mandor saya punya alasan tepat untuk meng-kost-kan anak buahnya didekat terminal. Mau ke arah manapun tersedia sarana angkutan. Yang ke proyek Sheraton, ke apartemen Puncak Marina, atau yang ke Wisma Dharmala, sumua diberangkatkan dari 'embarkasi' Purabaya ini.
Saya dan beberapa teman yang kebagian ke proyek Puncak Marina (Margorejo), selalu memakai bus kota jurusan Bratang dengan gratis. Sekalipun tidak serombongan, yang penting semua dapat terangkut dengan bebas bea. Jurusnya? Setiap bus kota jurusan Bratang antri sesuai giliran, kami pun berbagi giliran. Berperan sebagai calo penumpang.
“Bratang, Bratang, Bratang...” teriak saya sefasih calo beneran.
Terus saja berteriak sampai bus penuh sesak. Bila sudah begitu, satu-dua dari kami baru ikutan masuk bis. Tentu tidak duduk. Cukup berdiri bergelantungan di bibir pintu. Selain memang semua kursi dan area berdiri di dalam bus sudah penuh, karena kami naik bus cukup dengan cara barter.
Sekian lama di terminal, saya sering mendapati orang-orang yang sama ikutan nimbrung di ruang tunggu. Saban hari. Siang-malam. Orang-orang itu tidak pergi kemana-mana. Tetapi tentu punya tujuan tertentu. Entah apa. Dan bila orang hanya selintas lalu saja di terminal, tentu tak paham tentang orang-orang model begini.
Ketika itu saya masih perokok. Untuk urusan ini, saya mempunyai cara agar membeli rokok berbonus koran. Inilah yang saya bilang pada kalimat terakhir di paragraf pertama tulisan ini. Untuk membeli sebungkus Bentoel International, saya selalu memilih kios yang sedang paling ramai. Sambil ikutan antre, saya menarik sebuah koran yang biasanya tergantung di kiri-kanan toko. Saya melipatnya lalu mendekati pelayan.
“BI, satu bungkus,” kata saya.
Dengan tenang saya menunggu uang kembalian. Setelahnya, dengan tenang pula saya melangkah meninggalkan kios itu. Korannya? Ah, pasti si pemilik kios mengira saya telah lebih dulu membelinya di kios lain.
NB:
Untuk kelakuan saya yang begini ini, saya berharap buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar