DIDEKAT rumah saya ada penjual jamu
yang laris sekali dagangannya. Banyak yang cocok, rupanya. Tetapi,
kalau saya amati, jamu yang dijual sama saja dengan yang djiual
tukang jamu yang lain. Ada Sido Muncul, Air Mancur, Jamu Jago, Dua
Putri Dewi, Nyonya Meneer dan lain-lain. Jan pleg sama. Ataukah
kecocokan itu sama halnya dengan; semua orang bisa bikin sambel pecel
tetapi, lain tangan lain pula kesedapannya. Begitu? Entahlah.
Di kios jamu yang terletak didepan
rumahnya itu ada tersedia beberapa bangku. Itu untuk tempat berantre.
Karena cak No, begitu tukang jamu itu biasa dipanggil, mengaduk
ramuan jamunya menggunakan tangannya. Tidak pakai mesin pengaduk.
Jadi, ya memang lama. Tetapi sekalipun begitu, karena banyak yang
'jodo', tetap saja orang rela antre.
Sebagaimana lazimnya tukang jamu, ia
sangat tidak sama dengan dokter! Begini maksud saya; kalau saya ke
dokter, setelah diperiksa, saya pasrah bongkokan saja mau dikasih
obat apa. Itu menjadi semacam hak prerogatif dokter. Ke tukang jamu
tidak begitu. Kita bebas menentukan jamu apa yang kita minum.
Misalnya, kita bisa meminta jamu Ngeres Linu dari merek Nyonya Meneer
dicampur Esha yang buatan Jamu Jago. Dan tukang jamu seperti cak No
ini, akan tidak banyak tanya tentang hal itu.
“Jamu apa, cak?” tanya cak No
ketika giliran saya.
“Ngeres Linu yang Nyonya Meneer,”
jawab saya.
“Campur?”
“Tidak, cak.”
“Telurnya?”
“Satu saja.”
Selanjutnya, istrinya yang mengambil
bungkusan jamu pesanan saya. Menggunting bungkusnya, menuang ke
gelas. Tiba giliran mengaduk, itu bagiannya cak No.
“Yang linu apanya?” bertanya begitu
cak No sambil mengaduk jamu pesenan saya.
“Boyok, cak”
“Boyok kiri apa kanan?”
Halah, memangnya ada jamu yang khusus
boyok tertentu begitu? Saya tersenyum, bisa jadi itu sekadar
intermezo agar pelanggan sedikit terhibur setelah sekian lama
menunggu.
Suatu kali saya diajak teman purchasing
belanja ke pertokoan di jalan Baliwerti. Ketika tiba waktu makan siang, diajaklah saya
andok ke sebuah warung pinggir jalan. Seperti halnya warung jamunya
cak No, warung nasi inipun ramai sekali. Tak perlulah saya ceritakan
kenapa sebuah warung menjadi sangat laris. Pasti sampeyan telah tahu;
kalau gak murah, ya masakannya yang enak. Dan kata teman purchasing
tadi, warung itu perpaduan dari keduanya. Ya murah, ya sekaligus enak.
“Pakai apa, cak?” tanya Joko, si teman purchasing kepada saya. Ya,
ia berhak bertanya begitu kepada saya karena memang ia yang mbayari.
“Wah, aku ya ikut kamu saja,” jawab
saya.
Akhirnya, “ Pakai ayam goreng dua, buk,” pesan Joko ke si ibu warung.
“Paha apa dada?” tanya ibu warung.
“Sayap ada?”
“Ada.”
“Ya, saya sayap saja.”
“Sayap kiri apa sayap kanan?” tanya
ibu warung lagi.
Saya melirik Joko sambil tersenyum,
“Kamu pilih yang 'striker' saja, Jok.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar