Minggu, 23 Oktober 2011

Ayam Goreng 'Striker'

DIDEKAT rumah saya ada penjual jamu yang laris sekali dagangannya. Banyak yang cocok, rupanya. Tetapi, kalau saya amati, jamu yang dijual sama saja dengan yang djiual tukang jamu yang lain. Ada Sido Muncul, Air Mancur, Jamu Jago, Dua Putri Dewi, Nyonya Meneer dan lain-lain. Jan pleg sama. Ataukah kecocokan itu sama halnya dengan; semua orang bisa bikin sambel pecel tetapi, lain tangan lain pula kesedapannya. Begitu? Entahlah.

Di kios jamu yang terletak didepan rumahnya itu ada tersedia beberapa bangku. Itu untuk tempat berantre. Karena cak No, begitu tukang jamu itu biasa dipanggil, mengaduk ramuan jamunya menggunakan tangannya. Tidak pakai mesin pengaduk. Jadi, ya memang lama. Tetapi sekalipun begitu, karena banyak yang 'jodo', tetap saja orang rela antre.

Sebagaimana lazimnya tukang jamu, ia sangat tidak sama dengan dokter! Begini maksud saya; kalau saya ke dokter, setelah diperiksa, saya pasrah bongkokan saja mau dikasih obat apa. Itu menjadi semacam hak prerogatif dokter. Ke tukang jamu tidak begitu. Kita bebas menentukan jamu apa yang kita minum. Misalnya, kita bisa meminta jamu Ngeres Linu dari merek Nyonya Meneer dicampur Esha yang buatan Jamu Jago. Dan tukang jamu seperti cak No ini, akan tidak banyak tanya tentang hal itu.

“Jamu apa, cak?” tanya cak No ketika giliran saya.

“Ngeres Linu yang Nyonya Meneer,” jawab saya.

“Campur?”

“Tidak, cak.”

“Telurnya?”

“Satu saja.”

Selanjutnya, istrinya yang mengambil bungkusan jamu pesanan saya. Menggunting bungkusnya, menuang ke gelas. Tiba giliran mengaduk, itu bagiannya cak No.
“Yang linu apanya?” bertanya begitu cak No sambil mengaduk jamu pesenan saya.
Boyok, cak”

Boyok kiri apa kanan?”

Halah, memangnya ada jamu yang khusus boyok tertentu begitu? Saya tersenyum, bisa jadi itu sekadar intermezo agar pelanggan sedikit terhibur setelah sekian lama menunggu.


Suatu kali saya diajak teman purchasing belanja ke pertokoan di jalan Baliwerti. Ketika tiba waktu makan siang, diajaklah saya andok ke sebuah warung pinggir jalan. Seperti halnya warung jamunya cak No, warung nasi inipun ramai sekali. Tak perlulah saya ceritakan kenapa sebuah warung menjadi sangat laris. Pasti sampeyan telah tahu; kalau gak murah, ya masakannya yang enak. Dan kata teman purchasing tadi, warung itu perpaduan dari keduanya. Ya murah, ya sekaligus enak.

“Pakai apa, cak?” tanya Joko, si teman purchasing kepada saya. Ya, ia berhak bertanya begitu kepada saya karena memang ia yang mbayari.

“Wah, aku ya ikut kamu saja,” jawab saya.

Akhirnya, “ Pakai ayam goreng dua, buk,” pesan Joko ke si ibu warung.

“Paha apa dada?” tanya ibu warung.

“Sayap ada?”

“Ada.”

“Ya, saya sayap saja.”

“Sayap kiri apa sayap kanan?” tanya ibu warung lagi.

Saya melirik Joko sambil tersenyum, “Kamu pilih yang 'striker' saja, Jok.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar