Jumat, 24 Juli 2015

Mudik, Sebuah Catatan Kecil

"SETIAP Lebaran 'orang kota' pada mengaku berasal dari udik sehingga pada mudik," tulis seorang teman lewat akun FBnya. "sesampainya di kampung, 'orang udik' itu malah petita-petiti bergaya sebagai orang kota," lanjutnya.

Sudahlah, itu hal lain. Yang, bisa jadi, saya juga melakukan walau tanpa sadar. Sekarang saya berniat membuat catatan kecil tentang mudik. Dan sebagai orang kecil, tentu catatan ini saya bikin sendiri, karena kalau orang besar yang mudik, pasti ada media yang dengan senang hati menuliskannya. :)

Karena tiga hari pertama lebaran masih harus menjalankan tugas kenegaraan (lebay, ini memang saya lebay-kan...), maka saya baru sempat mudik hari ini. Dan karena (sekali lagi: karena) asap gunung Raung mengganggu penerbangan sehingga bandara di Banyuwangi dan Jember termasuk yang juga ditutup, terpaksa saya menggunakan angkutan darat. (padahal biasanya ya memang naik bis).

Saya take off dari Purabaya persis jam enam pagi naik bis Borobudur yang karena saya langsung naik menjadikan nopol tak sempat saya catat. Yang tercatat malah waktu tempuh Purabaya-Bayuangga yang gak jelek-jelek amat. Durasi yang biasanya rata-rata dua jam, Borobudur 'mabur' dengan capaian waktu 105 menit saja.

Namun, entah sebagai konsekuensi atau terkena tueslag, tarifnya pun dinaikkan sampai setinggi stupa. Yang normalnya 16 ribu atau 20 ribu per pantat, menjadi 25 ribu. Yo wislah, saya yang berangkat berempat, harus membayar 75 ribu, karena si bungsu (demi penghematan) masih cukup dipangku saja.

Tak ada kejutan berarti bersama Borobudur selain hal di atas.

Garis start di terminal Bayuangga, Probolinggo.

Transit sebentar di Bayuangga hanya untuk ke toilet. Pada saat buang air itu, bis Pari Kesit trayek Probolingo-Jember via Kencong berangkat. Dan saya sama sekali tak mengejarnya karena si sulung masih terjebak antrian panjang di pintu toilet. Lagian, walau namanya Pari Kesit, jalannya tak bakalan kesit sebagaimana umumnya bis yang via Kencong lainnya.


Di belakang Pari Kesit, syukurlah, telah ada bis Ladju Surabaya-Ambulu yang sudah siap di garis start. (Saya tidak tahu, si Ladju ini memang berangkat duluan dari Bungurasih ataukah ia yang tadi secara pol position ada di belakang Borobudur yang kami naiki.) Tetapi, yang pasti, karena saya masuk Ladju agak belakangan, kami tidak mendapatkan kursi isi tiga agar bisa berdampingan. Tak apalah. Nanti di Yosowilangun atau Jombang, kala ada penumpang yang turun, saya bisa bergesar untuk bisa duduk berdekatan dengan anak-istri.

Berangkat dari Bayuangga dengan kondisi kursi 85% terisi, nasib baik berpihak pada bis dengan speedometer mati ini, karena di pertigaan Jorongan tiada lagi kursi kosong. Musim lebaran bis sedang mengalami masa panen sehingga walau penuh begitu, kondektur tetap saja menambah penumpang. Penumpang yang diangkut belakangan, berdiri adalah keniscayaan sebagaimana murid yang dihukum guru sebab terlambat masuk kelas.

Dengan perut penuh penumpang begitu, sayangnya, bis Ladju ini melaju dengan tanpa menambah kecepatan. Taksiran saya, tak sampai 50km/jam. Macam mana pula ini: menambah penumpang sudah tak muat, menambah kecepatan sudah tak kuat. Bah.

Syukurlah, untuk etape ke 2 (Probolinggo-Mloko)
tarifnya sesuai yang tertera di kaca.

Kalau Anda pernah naik bis trayek ini, pastilah sudah paham bis-bis itu berjalan selalu pelan. Iya sih, kalau beruntung bisa mendapatkan Akas Asri atau bis Maduraan lainnya yang lajunya bisa diandalkan. Tetapi kalau Kenongo, Kentjono, Pari Kesit dan sebangsanya, bersabarlah. Ataukah bis-bis itu memang sedang melatih para penumpang agar lebih sering membaca istighfar?

Sudah jalannya pelan, ditambah lagi macet di Ranuyoso dan Klakah akibat pasar tumpah, lengkap sudah. Biar lambat asal selamat, adalah cara tepat menghibur diri karena pilihan lainnya hanyalah geregetan.

Toh akhirnya sampai juga. Saat adzan dluhur berkumandang, saya telah turun di mulut gang yang menuju rumah orang tua. Alhamdulillah, sekalipun jalannya ogah-ogahan, si Ladju tak memanfaatkan momen lebaran untuk mencekik penumpang. Tarifnya tetap seperti yang tertera di kaca; Surabaya-Ambulu 37 ribu, dan kalau cuma naik Proboliggo turun Mloko seperi saya ini, per pantat cuma ditarik enambelas ribu.****

* Mloko/Jember, 4 Syawai 1436 H
Dari gang, sebelum menyeberang jalan, saya lihat Sabar Indah dengan tulisan Kliwon di kaca belakang melintas.
Saya abaikan karena saya duga ia hanya akan sampai terminal Minak Koncar saja.
Tak sampai seperempat jam menunggu, ada penampakan bis dari timur.
Begitu dekat, eh Ladju trayek Ambulu-Surabaya ternyata.
Ini dia; mudik pakai Ladju, baliknya pun dapat Ladju.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar