Rabu, 30 September 2009

Pulang




"Ban,ban,ban..." teriakan kondektur bis malam berbaju kusut membangunkan lelap lelaki yang juga kusut itu. Tangannya menjulur. Mencari-cari tas kumalnya yang lunglai di sela kaki kursi. Ya, tas itu semua hartanya. Semuanya. Selebihnya ia tak punya. Tiada pula asa, mungkin.

Ban, orang menyebutnya begitu. Belum berubah. Sekalipun lelaki itu sudah berbilang belasan tahun tak menginjakkan kaki disini. Ban itu, atau tepatnya rel itu, yang kayu-kayu bantalannya teramatlah tua. Lebih tua dari pak tua penjaga palang pintu yang hanya terbuat dari batang bambu. Bercat merah-putih. Selang seling. Seperti ular weling.


Laki-laki itu mendesah. "Pulang..." suaranya hanya didengar oleh sepi. Senyap. Tiada tarian selamat datang dari daun-daun nyiur. Atau nyanyian burung cemblek. Ah, suara itu. Kalau ada; cemblek-cemplir, cemblek-cemplir.....Berulang-ulang. Tandanya --kata ibunya suatu waktu dulu-- akan ada tamu jauh datang.

"Sekarang aku datang, ibu. Dari jauh. Tapi kenapa tiada suara burung cemblek itu. Berkicau di sini. Di jalan menuju rumah ibu. Kenapa, bu, kenapa?"

Pohon nyiur angkuh berdiri laksana sesosok lamdaur. Lamdaur? Ya, sosok yang tinggi menjulang itu tiba-tiba hadir lagi. Sekarang. Dijalan pulang menuju tempat yang nyaris melapuk dalam ingatannya. Kecuali entah kekuatan apa yang mendorongnya untuk menemui wanita yang mungkin teramatlah tua; ibunya. Dan lamdaur itu, adalah cerita yang berulang-ulang dituturkan ibu menjelang tidur.

Cerita yang selalu menghembuskan angin lembut menyentuh bulu kuduknya. Lamdaur berbaur dalam tangkapan imajinya di kala kecil; sosok tinggi besar, memegang gada, mendatangi semua dan bertanya, "Ikut aku apa ikut Tuhan? Ikut aku senang sekarang, Ikut Tuhan senang kemudian. Dan terimalah ini...Blakkk, gada menghancurkan isi kepala.

Lali-laki kecil itu, Baya namanya, sulit memilih. Membayangkan surga Tuhan, sekaligus kengerian yang sangat kala membayangkan isi kepala yang tumpah.

Baya melangkah. Tetap sepi. Berjalan menunduk. Seakan menghitung bantalan rel yang melapuk. Lupa sudah ia tentang waktu. Selepas maghrib atau menjelang subuh ia tak perlu peduli. Tak juga ia merindu suara kentongan dari batang bagian bawah bambu ori yang bentuknya aneh dengan suara yang khas. Dipukul terpantul-pantul. Menyelinap disela dingin yang menusuk-nusuk. Menembus selimut dari sarung tipis yang sia-sia memberikan kehangatan. Membangunkan yang mau bangun untuk begegas ke surau-surau.
Tak ada yang begitu sekarang. Atau memang belum masuk waktunya. Mungkin iya. Karena sedari tadi Baya belum mendengar suara tarkhim. Baya tetap melangkah. Sampai diperempatan, ia keluar rel. Ada tugu tak tinggi tapi gemuk di sebelah barat. Berbentuk bulat. Tapi tekat Baya justru tak lagi bulat hanya berjarak lima puluh meter dari rumah ibunya. Ia berhenti. Dibawah pohon jambu monyet yang rimbun, tempat tukang tambal ban bekerja kalau siang. Baya duduk di bangku kayu tukang tambal ban. Yang ini benar ban, bukan rel tentu.
Disebelah utara, berjajar bangu-bangu pasar. Bangu, orang disini menyebutnya begitu untuk lapak-lapak pasar Senin ini. Pasar yang hanya ramai kalau hari Senin saja.

Dan dulu,dibawah pohon jambu ini mbah Gunung buka reparasi sepeda angin. Dulu, di bawah pohon ini Baya dan Gembrot sering main-main. Gembrot yang cantik. Gembrot yang korban kecerobohan orang tua memberi nama. Mentang-mentang dinamakan Gumuk oleh mbah Gunung, lalu ia seenaknya menamakan bidadari itu sebagai Gembrot.

Dilemparkannya mata Baya ke arah pasar yang diam, sepi dan dingin. Dilemparkannya lagi jauh lebih jauh. Kala ia adalah anak yang dikakinya terikat 'kelinting'. Yang bersuara kemanapun kakinya melangkah. Persis seperti kucing. Lepas. Bebas. Kemanapun disetiap sudut pasar. Semua tahu. Semua kenal. Baya anak mak Muk. Baya yang gemuk dan lucu, kata orang-orang. Baya yang bebas meminta apapun pada penjual cenil, atau gulali dipasar ini. Bahkan ia satu-satunya anak yang berani bermain dengan si Slamet, orang kurang waras, dipasar ini.

Slamet yang telanjang bulat seperti tugu di perempatan itu. Melumuri sekujur tubuhnya dengan parutan ketela, yang kalau parutan itu kering, ia laksana Hanoman. Tertawa. Bicara seperti mengucap mantera; kasini, kasiro. Kasini, kasiro. Berulang-ulang. Kesana kemari. Memungut kacang, cabe, garam, terasi, mentimun, beras dan aneka sayur dari para pedagang di pasar ini. Lalu memasaknya jadi satu. Sungguh sangat praktis. Dan ia tetap Slamet yang sehat-sehat saja. Badannya, tentu saja.

Baya menunggu. Penungguan yang entah sampai kapan. Tentu sampai ada kehidupan yang dimulai dari rumah di timur pasar itu. Rumah yang dingin, yang hanya lamat-lamat lampu minyak mengintip dari sela selambu yang cingkrang. Tapi rumah itu diam-diam menyemai ketakutan di hati Baya. Ketakutan kalau-kalau. Karena ia hanya bisa mereka-reka yang terjadi, walau itu belum tentu. 
Entah apa yang telah terjadi pada kampung ini.Ia seakan kampung mati.


Baya merogoh sakunya. Ingin menghidupi isinya; sebatang rokok. Sedetik kemudian rokok itu telah terjepit bibirnya. Detik berikutnya ia mencari pasangannya; korek. ,semprul! umpatnya. Ia baru ingat, terakhir kali menyulut rokok di bis tadi, itu pun pakai korek pinjaman kondektur.
Sambil memainkan sebatang rokok yang terlanjur ia keluarkan dari bungkusnya, matanya ia lempar ke segala arah. Kalau-kalau ada sumber api. Aha, itu, hatinya girang saat ia menatap bangu pasar, ada setitik api. Tepatnya ada rokok yang sedang menyala. Ia bergegas menghampiri. Sesosok laki-laki tak berbaju di tengah malam dingin ini, berselimut sarung kumal hitam. Lelaki berjenggot.

Sebelum sempat meminta,lelaki itu telah menyodorkan rokoknya. Dengan menempelkan ujungnya yang menyala, Baya menghisap kuat-kuat rokoknya. "Terima kasih, pak," kata Baya sambil menuju tempatnya semula. Sambil pula ia nikmati sepenuh hati asap rokoknya.

Ada sudah kehidupan, kicau hati Baya. Paling tidak rokoknya yang telah hidup. Ia berpikir, untung ada bapak tua berjenggot itu. Yang tak berbaju dan hanya bersarung. Itu mengingatkannya akan Slamet di masa kecilnya dulu. Juga di pasar ini. Slamet yang kurang waras. Yang punya kelebihan; selalu ingat hari-hari ia harus menghadiri kenduri kematian di seantero kampung ini.

Slamet?
Tiba-tiba hatinya berdesir. Lelaki yang memberinya api barusan perawakannya sungguh laksana Slamet. Tapi tak mungkin ia Slamet, Baya membantah sendiri kata hatinya. Kalaulah masih hidup, tentulah Slamet sudah sangat tua. Tetapi laki-laki tadi, masih seusia Slamet saat Baya masih kecil. Tak lebih dan tak kurang.
Setelah hisapan ketujuh rokoknya, Baya tak kuasa untuk tidak menoleh ke lelaki barusan. Yang bersandar di tiang bangu. Yang tak berkata sepatahpun. Dan....laki-laki itu tidak ada lagi ditempatnya. Baya mengernyitkan kening.

Lalu laki-laki tadi siapa?
Baya tak ambil pusing. Ia hisap lagi rokoknya. Kuat-kuat. Ia hisap lagi. Ah,sialan. Mati. Baya memperhatikan rokoknya, dalam-dalam. Ia dapati rokok itu utuh, belum pernah tersentuh api.



Baya melangkah lunglai. Menuju tempatnya tadi. Bukan di bawah pohon jambu monyet, tapi menuju kearah tugu. Tugu yang lugu. Yang tak beralih tempat sejak Baya meninggalkannya. Sebelum mencapai tugu, Baya mendiamkan kakinya berhenti tepat di tengah rel. Melempar pandang ke kegelapan utara. Tiba-tiba ingatannya membara. Lagi-lagi kemasa kecilnya. Kala rumah mbah Sumo di utara perempatan sana terbakar hebat oleh sepercik api yang meloncat dari cerobong kereta lori berbahan bakar ampas tebu. Siang yang terik makin panas oleh pekik histeris ketika atap daduk --yang terbuat dari daun tebu yang diikat-- secepat kereta berubah jadi abu.

Ingatan itu tetap saja berkobar, sekalipun malam ini Baya tak sempat menyulut rokok pada nyalanya.
Baya melemparkan lagi pandangannya ke selatan. Arah kereta lori berasal. Mendengus-dengus menahan beban di pundaknya sampai ke Semboro sana. Sepi. Tak ada lengkingan suara peluit yang mengepulkan asap putih sebagai penyambung lidah sang masinis genit menggoda bu Untung penjual jamu di pasar Senin ini, suatu pagi. Ya, suatu pagi, entah berapa belas tahun lampau.

Kini,suatu tengah malam seakan tak mau beranjak. Waktu tertidur sepertinya. Oh, tidak. Itu ada lori yang menuju kesini, pikir Baya. Ada cahaya kecil makin mendekat,laksana mahkota di kepala lori. Dan Baya tak perlu menyesali kesalahan menebaknya. Karena mana ada lori berlari tengah malam begini. Cahaya itu hanya lampu karbit yang diikat dikepala seorang pencari kodok. Dan, itulah keberuntungan Baya; ada api untuk menyulut rokoknya.
"Ada rokok, pak?" sang pencari kodok melempar tanya sebagai pinta.
Barter yang adil,batin Baya.

Asap rokok telah mengepul dari dua mulut yang tak saling mengenal. Kepulan-kepulan itu makin membuat malam Baya makin berhenti. Sampai kemudian ia ingat ketika meminta api pada lelaki yang muspra di bangu pasar tadi. Dengan secepat kilat Baya melihat kaki pencari kodok ini. Oh ,masih menginjak tanah. Baya lega.

"Sampeyan siapa?"

"Saya?"

"Memangnya ada orang lain selain saya dan sampeyan."

Baya diam. Walau terbiasa sudah ia berganti nama. Tempat baru nama baru.

"Saya Bejo. Bejo Lithik," lelaki itu tak sabar rupanya menunggu Baya menyebut nama.

Baya tetap diam. Tapi kali ini diam yang bercampur kaget yang dengan rapat ia sembunyikan. Bejo Lithik?!
Bejo Lithik yang selalu jadi olok-olokan dulu, karena sekalipun laki-laki tapi kemayu. Bejo Lithik suruhan neneknya yang penjual dawet di pasar Senin ini. Bejo Lithik anak pak Kamisan yang juga angon kerbau milik pak Tinggi. Bejo Lithik? Ah, Baya benar-benar mendapatkan api yang membakar jiwanya. Bejo Lithik sudah setua ini? Berarti ia pun sudah setua itu. Teman sepermainan yang sudah sama-sama tua. Kalau Bejo tidak mengenali Baya, selain rentang waktu lama tak ketemu, karena operasi wajahnya telah sedemikian sempurnanya sejak misi terakhirnya lima tahun lalu.

Dan Baya mendapati Bejo Lithik ini adalah pintu baginya untuk mengintip kabar tentang ibu. Tapi Baya menjadi tak terlalu cerdas untuk mengetuknya.

Sampai kemudian ada jeritan histeris dari arah rumah seberang sana. Jeritan yang sama sekali tak mengagetkan seisi kampung ini.

Baya menoleh ke wajah Bejo.

"Berarti sampeyan memang bukan orang sini."

Baya mengernyitkan kening.

"Anak durhaka telah membuat kerinduan seorang ibu berubah menjadi gila."

"Gila?!"

"Ibu mana yang tak menjadi gila bertahun-tahun rumahnya diawasi polisi karena ulah anaknya yang suka meledakkan amarah ke orang-orang yang dianggap salah. Bertahun-tahun diinterogasi, bertahun-tahun bilang tak tahu. Bertahun-tahun pula kampung ini dijejali polisi. Baru sejak empat tahun lalu polisi ditarik sebiji demi sebiji. Sejak Baya diyakini ikutan hancur bersama pesawat yang ditabrakkannya ke Istana. Sampai lebaran haji kemarin kampung ini baru benar-benar bebas tak tertinggal sebijipun polisi. Seperti mak Muk yang juga telah benar-benar terbebas dari ingatannya..."
Baya tak kuasa diam. Ia mengajak kedua kakinya segera menemui ibu dirumah tua itu.*****

Jumat, 18 September 2009

Menunggu Tidur, Menanti Blanggur

ALHAMDULILLAH, salah satu 'ritual' jelang lebaran telah terlaksana. Mudik. Terguncang-guncang semalaman dalam bis yang penuh sesak, berhiaskan asap rokok dari para penumpang. Nyaris laksana kotak asap berjalan. Pengap dan, tapi mau bagaimana lagi. Jam dua dini hari, nyaris lima jam, akhirnya sampai juga di kampung halaman. Termasuk melewati halamannya pak kampung.

Lebaran di kampung. Tepatnya sholat Ied di kampung, wuih....tiada terasa sudah lebih sepuluh kali lebaran saya tiada merasakan 'aura' lebaran di kampung halaman. Ada apa dengan lebaran di kampung?

Baiklah. Saya ingin terlempar kemasa lalu. Sekitar duapuluh tujuh lebaran yang lampau. Di kampung ini, jangankan warnet yang kini hanya selangkah dari rumah, listrikpun belum nongol . Lalu ketika saya menyebut nama Za, Gi atau Su, bukan lantas saya ingin memunculkan Lintang, Kucai atau Ikal-nya Andrea Hirata. Sekalipun, yang namanya anak-anak, pastilah ada selalu yang kini menjadi sedap diingat. Salah satunya tentang menyetop bis (sekalipun kampung, desa saya dilewati bis lho...) yang kalau bis sudah berhenti, kami, anak-anak yang tak sempat dinamai Laskar Pelangi oleh guru-guru kami itu, malah berlari dengan riang karena berhasil menipu sang sopir bus. Ah, kalau saja ada bu guru Muslimah.
Itulah bedanya. Ini Jember, bung! Bukan Bilitong!

Lalu, karena manjing (sebutan untuk menjelang maghrib) diawali dengan munculnya kelelawar yang bersembunyi di potongan ruas bambu pada 'usuk' teras rumah kami, kami sogoklah kelelawar-kelelawar itu. Agar muncul lebih awal, agar maghrib segera tiba. Agar cepat datang waktu buka puasa.

Hari-hari begini, beberapa hari jelang lebaran, kami gauli malam dengan memeluk baju baru. Yang masih tercium aroma pasar Reboan, tempat emak membelinya. Baju istimewa, yang kalau tak lebaran adalah keajaibanlah kalau dibelikan.

Maka, menunggu hari lebaran terasa sangat panjang. Kami tentu tidak mengerti tentang sidang itsbat, tidak mengerti rukyat atau hisab. Yang kami tahu kalau besok lebaran pasti sorenya ada tidur.  Suara bedug yang ditabuh terus-menerus. Dag-dug, dag-dug...Nyaris sesuara dengan hati kami yang ikutan berdebar.
Membayangkan besok nglencer. Tidak hanya ke rumah sanak famili, tetapi ke rumah semua orang. Ke semua rumah yang pintunya terbuka. Karena ini hari lebaran. Yang penting bisa makan jajan enak dan syukur-syukur juga disangoni. Biarlah ,lima rupiah atau, kalau lagi untung, dapat limapuluh rupiah satu rumah. Kalikan sekian puluh rumah sehari, kali lima atau enam hari. Lumayanlah. Uangnya itu bisa untuk biaya kupatan emak.

Tapi ada satu orang. Namanya pak Kartin, kalau bertandang ke rumahnya, kami (anak-anak yang bukan siapa-siapanya) selalu disangoni petasan. Eit, tunggu dulu. Itu bukan untuk dibawa pulang. Melainkan untuk disulut di depan rumahnya, yang masih berserakan kertas-kertas bekas letusan petasan. Yang tidak dibersihkan, karena sebagai tanda gengsi. Bahkan di tengah halaman rumahnya, ada bekas tanah yang agak cekung. Itu bekas blanggur, petasan ukuran besar yang disulut seturun dari sholat ied.

Itu semua dulu. Dulu sekali. Ketika baju lebaran kami tentu beda dengan anak-anak kami sekarang. Baju lebaran adalah baju yang disakunya ada tanda Tunas kelapa. Ya, baju kami adalah busana dwi guna. Baju baru untuk lebaran, sekaligus baju pramuka untuk sekolah. Hh, sungguh cerdas ya orang tua kami dulu.*****