ALHAMDULILLAH, salah satu 'ritual' jelang lebaran telah terlaksana. Mudik. Terguncang-guncang semalaman dalam bis yang penuh sesak, berhiaskan asap rokok dari para penumpang. Nyaris laksana kotak asap berjalan. Pengap dan, tapi mau bagaimana lagi. Jam dua dini hari, nyaris lima jam, akhirnya sampai juga di kampung halaman. Termasuk melewati halamannya pak kampung.
Lebaran di kampung. Tepatnya sholat Ied di kampung, wuih....tiada terasa sudah lebih sepuluh kali lebaran saya tiada merasakan 'aura' lebaran di kampung halaman. Ada apa dengan lebaran di kampung?
Baiklah. Saya ingin terlempar kemasa lalu. Sekitar duapuluh tujuh lebaran yang lampau. Di kampung ini, jangankan warnet yang kini hanya selangkah dari rumah, listrikpun belum nongol . Lalu ketika saya menyebut nama Za, Gi atau Su, bukan lantas saya ingin memunculkan Lintang, Kucai atau Ikal-nya Andrea Hirata. Sekalipun, yang namanya anak-anak, pastilah ada selalu yang kini menjadi sedap diingat. Salah satunya tentang menyetop bis (sekalipun kampung, desa saya dilewati bis lho...) yang kalau bis sudah berhenti, kami, anak-anak yang tak sempat dinamai Laskar Pelangi oleh guru-guru kami itu, malah berlari dengan riang karena berhasil menipu sang sopir bus. Ah, kalau saja ada bu guru Muslimah.
Itulah bedanya. Ini Jember, bung! Bukan Bilitong!
Lalu, karena manjing (sebutan untuk menjelang maghrib) diawali dengan munculnya kelelawar yang bersembunyi di potongan ruas bambu pada 'usuk' teras rumah kami, kami sogoklah kelelawar-kelelawar itu. Agar muncul lebih awal, agar maghrib segera tiba. Agar cepat datang waktu buka puasa.
Hari-hari begini, beberapa hari jelang lebaran, kami gauli malam dengan memeluk baju baru. Yang masih tercium aroma pasar Reboan, tempat emak membelinya. Baju istimewa, yang kalau tak lebaran adalah keajaibanlah kalau dibelikan.
Maka, menunggu hari lebaran terasa sangat panjang. Kami tentu tidak mengerti tentang sidang itsbat, tidak mengerti rukyat atau hisab. Yang kami tahu kalau besok lebaran pasti sorenya ada tidur. Suara bedug yang ditabuh terus-menerus. Dag-dug, dag-dug...Nyaris sesuara dengan hati kami yang ikutan berdebar.
Membayangkan besok nglencer. Tidak hanya ke rumah sanak famili, tetapi ke rumah semua orang. Ke semua rumah yang pintunya terbuka. Karena ini hari lebaran. Yang penting bisa makan jajan enak dan syukur-syukur juga disangoni. Biarlah ,lima rupiah atau, kalau lagi untung, dapat limapuluh rupiah satu rumah. Kalikan sekian puluh rumah sehari, kali lima atau enam hari. Lumayanlah. Uangnya itu bisa untuk biaya kupatan emak.
Tapi ada satu orang. Namanya pak Kartin, kalau bertandang ke rumahnya, kami (anak-anak yang bukan siapa-siapanya) selalu disangoni petasan. Eit, tunggu dulu. Itu bukan untuk dibawa pulang. Melainkan untuk disulut di depan rumahnya, yang masih berserakan kertas-kertas bekas letusan petasan. Yang tidak dibersihkan, karena sebagai tanda gengsi. Bahkan di tengah halaman rumahnya, ada bekas tanah yang agak cekung. Itu bekas blanggur, petasan ukuran besar yang disulut seturun dari sholat ied.
Itu semua dulu. Dulu sekali. Ketika baju lebaran kami tentu beda dengan anak-anak kami sekarang. Baju lebaran adalah baju yang disakunya ada tanda Tunas kelapa. Ya, baju kami adalah busana dwi guna. Baju baru untuk lebaran, sekaligus baju pramuka untuk sekolah. Hh, sungguh cerdas ya orang tua kami dulu.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar