Jumat, 21 Juni 2013

Donor Darah Demi Hadiah

SUDAH sekitar setahun ini, sejak musholla Badrussalam 'naik kelas' menjadi masjid, untuk sholat Jumat saya dan beberapa teman memilih ke situ. Dari tempat kerja saya letaknya relatif dekat dibanding masjid lain yang sebelumnya selalu kami tuju untuk berjumatan. Dengan berjalan kaki menyusuri emperan ruko Surya Inti Permata di timur tempat kerja saya, menerobos ke belakang melewati tanah kosong yang ditanami pisang, sampailah kami ke masjid yang sekompleks dengan sekolah SD dan Mts dengan nama yang sama. Mungkin memakan waktu tak sampai sepuluh menit.

Padahal bila Jumatan ke masjid lama di barat tempat kerja, akan lebih lama dari itu. Lebih-lebih kalau jalan kaki. Tetapi beberapa teman, masih ada yang tidak bisa pindah ke lain masjid. Di barat sana, pilihannya ada dua; kalau tidak ke Al Hikmah di Simpang Darmo Permai Selatan, ya ke Nurul Jannah yang sekarang letaknya nyelempit di 'ketiak' bangunan toko Hartono Elektronika Bukit Darmo Buelevard di Pradah. Kalau ke sana, ya jarang yang berjalan kaki, pada naik motor.

Dengan naik motor, padahal harus belok kiri dulu menuju U-turn di depan Hartono Elektronika, baru balik kanan grak melintasi jajaran ruko yang ditempati apotek dan beberapa bank, bisa lebih dari limabelas menit.

Sepulang Jumatan tadi, sesampai kemabli di kantor, ada seorang teman membawa bingkisan berisi nasi kotak, buku agenda, gelas cantik, snack, minuman kotak dan kapsul vitamin.

“Lumayan, pulang Jumatan, mampir donor di depan Bank BNI, dapat hadiah,” katanya sambil membuka nasi kotak bermenu nasi campur spesial.

Saya yang Jumatan di masjid Badrussalam tak melewati BNI. Kalaulah kemudian saya punya hasrat ikut donor, selain karena memang sudah lama tidak donor, tentu karena bingkisannya yang lumayan itu. Ini bila dibandingkan dengan donor di kantor PMI yang sekantong darah 'hanya' diganti sebutir telur asin atau sebungkus Biskuat. Hehe...

Menujulah saya ke kantor BNI yang di depannya terparkir mobil PMI.

Seorang petugas mendekati saya ketika saya baru memarkir motor, “Mau donor, Pak?”

Sambil melirik bingkisan berbungkus tas kertas berlogo BNI yang tertata rapi di meja, saya iyakan pertanyaan petugas itu. Dengan perut tas segemuk itu, saya telah tahu, isinya sama seperti yang dibawa tema saya tadi.

“Maaf, Pak., persediaan kantong darah yang kami bawa sudah habis, jadi dengan sangat terpaksa kami tidak menerima pendonor lagi.”

Sekali lagi saya melirik tas bingkisan yang berdiri rapi di atas meja. Saya menarik nafas sambil membujuk agar saya sadar. Bahwa donor darah adalah juga sebagai ibadah, yang tak elok dimuati keinginan mendapat hadiah. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar