SUDAH sekitar setahun ini, sejak
musholla Badrussalam 'naik kelas' menjadi masjid, untuk sholat Jumat
saya dan beberapa teman memilih ke situ. Dari tempat kerja saya
letaknya relatif dekat dibanding masjid lain yang sebelumnya selalu
kami tuju untuk berjumatan. Dengan berjalan kaki menyusuri emperan
ruko Surya Inti Permata di timur tempat kerja saya, menerobos ke
belakang melewati tanah kosong yang ditanami pisang, sampailah kami
ke masjid yang sekompleks dengan sekolah SD dan Mts dengan nama yang
sama. Mungkin memakan waktu tak sampai sepuluh menit.
Padahal bila Jumatan ke masjid lama di
barat tempat kerja, akan lebih lama dari itu. Lebih-lebih kalau jalan
kaki. Tetapi beberapa teman, masih ada yang tidak bisa pindah ke lain
masjid. Di barat sana, pilihannya ada dua; kalau tidak ke Al Hikmah
di Simpang Darmo Permai Selatan, ya ke Nurul Jannah yang sekarang
letaknya nyelempit di 'ketiak' bangunan toko Hartono Elektronika
Bukit Darmo Buelevard di Pradah. Kalau ke sana, ya jarang yang
berjalan kaki, pada naik motor.
Dengan naik motor, padahal harus belok
kiri dulu menuju U-turn di depan Hartono Elektronika, baru balik
kanan grak melintasi jajaran ruko yang ditempati apotek dan beberapa
bank, bisa lebih dari limabelas menit.
Sepulang Jumatan tadi, sesampai kemabli
di kantor, ada seorang teman membawa bingkisan berisi nasi kotak,
buku agenda, gelas cantik, snack, minuman kotak dan kapsul vitamin.
“Lumayan, pulang Jumatan, mampir
donor di depan Bank BNI, dapat hadiah,” katanya sambil membuka nasi
kotak bermenu nasi campur spesial.
Saya yang Jumatan di masjid
Badrussalam tak melewati BNI. Kalaulah kemudian saya punya hasrat
ikut donor, selain karena memang sudah lama tidak donor, tentu karena
bingkisannya yang lumayan itu. Ini bila dibandingkan dengan donor di
kantor PMI yang sekantong darah 'hanya' diganti sebutir telur asin
atau sebungkus Biskuat. Hehe...
Menujulah saya ke kantor BNI yang di
depannya terparkir mobil PMI.
Seorang petugas mendekati saya ketika
saya baru memarkir motor, “Mau donor, Pak?”
Sambil melirik bingkisan berbungkus tas
kertas berlogo BNI yang tertata rapi di meja, saya iyakan pertanyaan
petugas itu. Dengan perut tas segemuk itu, saya telah tahu, isinya
sama seperti yang dibawa tema saya tadi.
“Maaf, Pak., persediaan kantong darah
yang kami bawa sudah habis, jadi dengan sangat terpaksa kami tidak
menerima pendonor lagi.”
Sekali lagi saya melirik tas bingkisan
yang berdiri rapi di atas meja. Saya menarik nafas sambil membujuk
agar saya sadar. Bahwa donor darah adalah juga sebagai ibadah, yang
tak elok dimuati keinginan mendapat hadiah. *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar