APA yang Sampeyan ingat tentang kuliner khas Lamongan?
Soto ayam? Tentu tidak keliru. Atau nasi goreng? Boleh juga. Wingko Babat? Bisa jadi. Lalu apa lagi? Kalau saya sebut nasi boranan, walau ada yang tahu, saya duga ada juga yang belum kenal. Ya, sekalipun tak sepopuler soto ayam, nasi goreng atau tahu tek, nasi boranan adalah juga makanan khas Lamongan.
Soto ayam? Tentu tidak keliru. Atau nasi goreng? Boleh juga. Wingko Babat? Bisa jadi. Lalu apa lagi? Kalau saya sebut nasi boranan, walau ada yang tahu, saya duga ada juga yang belum kenal. Ya, sekalipun tak sepopuler soto ayam, nasi goreng atau tahu tek, nasi boranan adalah juga makanan khas Lamongan.
Kalau wingko, soto, nasi goreng, tahu tek sudah bisa ditemui
di daerah di luar Lamongan, sementara ini, seperti halnya Persela (maaf), nasi
boranan baru menjadi jago kandang. Ia masih bisa ditemui sebatas wilayah kota
Lamongan saja. Di sekitar pasar atau alun-alun, atau ada juga (kalau malam)
digelar secara lesehan di sekujur trotoar di wilayah Dapur, tak jauh dari
Lamongan Plaza.
Karena penasaran, suatu siang saat mengantar ibunya
anak-anak belanja di pasar Lamongan, saya yang memang termasuk suami kurang
setia dalam hal menemani belanja si istri, mencari tahu adakah yang berjualan
nasi boranan di siang bolong begitu.
“Itu,” kata tukang parkir menjawab pertanyaan saya. Ia menunjuk
seorang ibu setengah tua memakai kebaya yang menggelar dagangannya tak jauh
dari tangga pasar di seberang jalan. Pasar besar Lamongan yang tak jauh dari
alun-alun kota itu memang terbagi dua; dibatasi jalan, namun ada akses di atas
jalan untuk keduanya. Nah, di sebelah tangga pasar sisi selatan itulah kemudian
saya menuju.
Sepintas, tak ada yang istimewa dari nasi boranan itu. Lauknya
ada daging ayam, ikan tombro, udang dan tentu saja bandeng. Semuanya saya duga
dimasak bumbu bali. Satu-satunya yang khas, menurut saya, yang kemudian menjadi
nama nasi boranan adalah wadah nasinya yang terbuat dari anyaman bambu dengan
bentuk sedemikian rupa. Itu, menurut istilah orang Lamongan, disebut boran. Karena
si nasi diletakkan disitu, jadilah disebut nasi boranan. Hanya itu? Tentu tidak.
Yang spesial, lauk nasi boranan adalah ikan sili. Sayangnya saya kurang tahu secara
detail tentang ikan yang sekarang konon sudah langka ini.
“Karena langkanya itu,” cerita seorang teman yang asli Lamongan,”sebungkus
nasi boranan berlauk ikan sili, harganya selangit; duapuluh ribu!”
Ya, dibanding harga soto ayam atau nasi goreng kelas kaki
lima yang seporsi tak sampai sepuluh ribu, sebungkus nasi boranan dengan harga
segitu tentu terbilang mahal. Sangat mahal malah. Tetapi untuk yang berlauk
bandeng seperti yang saya beli siang itu, harganya tak jauh dari taksiran saya;
di bawah sepuluh ribu.
-oOo-
Kemarin malam, sepulang dari bezoek famili di RSUD Lamongan,
maksud hati ingin makan malam nasi boranan di pinggir jalan. Namun apa daya
para PKL yang menggelar dagangan di trotoar secara lesehan semuanya berada di
sisi selatan. Sementara saya yang pulang ke arah Surabaya, agak malas
menyeberang pakai motor tunggangan saya di antara padatnya kendaraan, bus-bus dan truk-truk besar ke arah
pantura. Lagian, perut saya belum lapar-lapar amat. Lagian saya sudah pernah
merasakan nasi boranan.
Tapi bagi yang belum, bila sedang melintas di kota Lamongan,
tidak ada salahnya mencoba makan nasi boranan secara lesehan di pinggir jalan,
sambil memandang kendaraan-kendaraan besar berseliweran. Ya, hitung-hitung
menikmati menu alternatif selain soto di kota soto.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar