Minggu, 20 Februari 2011

sesal

rindu bertalu-talu
ditabuh pilu

malam tidur terlentang
lupa janji panjang
tentang
centang-perenang
cinta

uh
kau hanya melenguh

ah
ku hanya mengeluh

embun datang terlambat;
seperti cintaku yang pergi terlambat



Atas Nama Bawahan

SUATU ketika saya dan seorang teman diajak atasan saya ke rumahnya.Dan saya gagal membatasi 'jarak' kami; beliau atasan,saya bawahan.Begitu selalu,tak pandang waktu.

Pak Sigit Rahmat (nama atasan saya itu) membawa kami dari kantor ke rumahnya. Dan sedan putih kinyis-kinyis yang disopiri sendiri oleh atasan saya itu telah nongol dari parkiran ke bibir kantor.

Saya dan teman saya yang memang sama-sama 'katrok' jadi saling 'plerok' yang lalu memakai logika IQ yang sama-sama 'jongkok'; "dia atasan kami bawahan".Dan atas nama bawahan,kami pikir,tak pantaslah salah satu dari kami duduk di depan bersanding dengan atasan.
Jadilah kami berdua duduk di jok belakang dalam sedan kinyis-kinyis nan ber-AC isis ini. Sebuah penegasan tingkat strata kami; bawahan!
Tetapi,"Ayo duduk didepan,"suara atasan itu datang bak damprat yang menyengat."Kau kira aku ini sopirmu ya?"
Oh,atas nama atasan suara itu terdengar benar-benar benar.Ternyata lalu saya menyadari,(dalam kasus ini) ; atas nama bawahan,saya harus nurut...***

Kualat Duit Toilet



PERNAH sudah saya kemana-mana. Walau tentu tak sebanyak 'kemana-mana' Anda. Kemana-mana saya, antara lain ini; menggauli sekujur tubuh molek pulau Bali .(tentang tari pendet, klik disini) Termasuk mbambung di Ubung, terlunta tiada kerja di Kuta, nguli batu di Uluwatu, berlarian memaksiatkan mata di pantai Jimbaran, nyenyak pulas di Seminyak, atau tanpa pura-pura (untuk mengganjal perut) terpaksa mengambil buah sesajen di pura, termasuk nyaris tragis diamuk massa satu banjar yang kesetanan di Sesetan. Semua beraroma nelangsa. Walau belakangan menjadi semacam nostalgi. Nostalgi yang kalau dicecap menjadi berasa 'nano-nano'. Ada manis, ada asin, ada asem, ada-adaaa aja....!

 Dan syukurlah,dalam 'kemana-mana' itu saya terhindar dari angan untuk 'njajan' di 
Kedonganan.(?!)

Kalau semua ditulis, tentulah akan panjang. Makanya satu saja. Itupun kalau sebagai tayangan televisi, di bagian sudut atas harus ada tanda BO. Atau malah di bagian bawah ada running text: adegan tidak patut ditiru. Brutal? Tidak. Porno? Juga tidak. Hanya tidak layak tiru saja. Ini sekadar catatan ringan. Dan sama sekali benar-benar betul sungguhan saya alami (uh, kalimat apa pula ini!). 

Begini, TKP: terminal Ubung-Denpasar. Waktu: tengah malam Waktu Indonesia Tengah.  Tahun: sekitar akhir 80an. 

Bersama beberapa teman, saya akan pulang kampung. Memilih waktu tengah malam karena adem. Walau ada 'karena' yang lain. Yakni supaya sampai rumah di Jawa juga masih pagi buta. Agar tiada kentara para pemuda harapan desa pulang bertangan hampa. Uf. 

Malam itu terminal sudah tak terlalu ramai. Yang sesekali terdengar malah suara kondektur bus mencari penumpang dengan logat Probolinggo. Karena memang banyak armada bus berasal dari kota mangga itu. Menahan dingin malam saya hanya mendesis. Bukan desis ular, tapi desis kebelet pipis.

Menujulah saya ke toilet terminal. Gegas langkah saya jadi melambat begitu tahu penjaga toilet tidur mendengkur. Duduk membungkuk melampiaskan kantuk di atas meja. Saya membaca mantra meringankan tubuh seperti Brama Kumbara ala sandiwara radio Saur Sepuh. He, he... Kalau masuknya gak tahu, dan keluarnya juga gak ketahuan: terhindarlah saya dari membayar uang pipis yang cuma 500 rupiah itu!

Masuk, penjaga ngorok. Pas keluar (dengan segenap ilmu meringankan tubuh), "Bayar, mas," suara itu bukti ajian saya tidak mandi, tidak mempan. 

"Gak ada uang kecil," ini jurus ke dua saya.

 "Ada kembaliannya kok," tangkisnya masih dengan jurus ngantuk. Weladalah, apes tenan iki! 

Padahal yang saya bilang uang besar itu hanya 20 ribu. Nilai segitu menjadi besar karena cuma itu satu-satunya penghuni dompet saya. Pendekar ngantuk itu lamaaa... sekali menghitung uang kembalian saya. Dengan kusut akhirnya saya menerima segenggam uang yang juga kusut itu. Sambil bersungut, saya menghitung uang kembalian itu, dan... Ahaa, menjadi 29.500 rupiah! Dasar dewa ngantuk... Sekali pipis malah dibayar 9500, lha kalau 'beser', berkali-kali pipis, wah bisa hitung sendiri.

Mendapat 'rejeki nomplok', saya belikan uang pipis itu kue basah. Lumayan untuk ganjal perut.

"Lumayan, saya juga bisa segera pulang," kata pedagang asongan sambil ngeloyor pergi.

Saya ngeloyor menghampiri teman-teman saya, sambil menenteng satu tas kresek penuh kue basah bernilai 9500 rupiah. Dengan bangga saya ajak semua teman berpesta-pora. Tentu sebelumnya saya bumbui dengan kisah si 'pendekar toilet' ngantuk itu. 

Dasar pada lapar, semua saling comot isi tas kresek hitam yang saya tenteng. Tanpa dikomando semua bareng-bareng memasukkan kue ke mulut masing-masing. Tanpa dikomando semua langsung 'gebres-gebres' ; bersamaan memuntahkan isi mulutnya.

"Mambuuu... !!!" sebareng makannya mereka berkata.

Tanpa dikomando, mata saya mencari si pedagang asongan tadi. Blas gak kelihatan! Mungkin sudah dimakan leak!  Dan ketika saya menoleh ke penjaga toilet, tetaplah dia mendengkur. Dengkur yang menjadi bernada 'menyokorkan' (walah!) saya. Saya menjadi tak bisa bilang apa-apa. Kecuali satu kata, satu-satunya bahasa Bali yang saya bisa waktu itu; 'kleng' !!! ****

Jumat, 18 Februari 2011

Malam dalam seutas cinta

secarik sms terlempar
ke rumah tua
di sebuah kursi bambu;
tiada aroma bunga yang dirindui
tiada aroma rindu yang dibungai

malam menepi
berhenti
menyulut sebatang tentang
kunang-kunang yang padam

malam kembali tertatih
terseok
luka terlupa
lupa terluka

'pesanmu telah kuterima'
dia berkata
menyetujui perceraian sirri
malam ini

Kamis, 10 Februari 2011

Lalu

"MASIHKAH kamu tak lupa aku?"
"Tak,"jawabmu pendek,tapi masih serenyah dulu.
Ingin kucubit hidung mungilmu,karena gemesku.Tapi aku telah tak berhak untuk itu.Telah.Karena hidung mungilmu itu,juga segalamu,adalah milik Ku.
Ah,Ku.
Aku tak hendak mencemburui dengan laksana seekor babi buta.Sejak dulu aku telah melihat kesetiaan Ku menantimu.Ku telah sepantasnya mendapatkanmu.Walau dulu,dulu sekali,aku tak suka setiap kali Ku mendekatimu.Karena aku juga selalu ingin tak jauh darimu.
"Berapa lama ya kita tak jumpa?"engkau memecah segelas lamunku.
"Lama'"jawabku."Lama sekali"
"Seusia sulungku lebih dua tahun,"terangmu.Masih renyah.
Tapi kuping yang mendengarmu ini memerah.Tak marah aku.Tak.Karena tak ada hak aku untuk begitu.Juga saat Ku memenangkanmu atas aku.Yang membuat aku pergi sejauh-jauhnya dari hatimu.Walau semakin jauh terasa ada serat yang menjerat isi hatiku.Mungkin aku tak selayaknya cengeng begitu.Tak.
"Masih betah sendiri nih?..."
Duh,tanya itu.Tak adakah kata lain untuk kau ucapkan,batinku meronta.
"Adakah yang masih kau tunggu?"
Kupandang dengan lancang bola matamu,"Ada,"jawabku
"Siapa?"tanyamu dengan bola mata sebening dulu.
"Bulan purnama"
"Baru kemarin,"jawabmu.
"Memang selalu begitulah aku.Selalu terlambat..."
"Ragumu itu,masalahmu"
"Lalu,"panggilku."Hanya kamu yang tahu aku.Iya.Itu setelah kamu menjadi milik Ku baru aku sadari.Sungguh beruntung Ku memilikimu.Aku tahu Ku.Karena akupun juga sahabatnya.Seperti engkau yang dulunya hanya menyahabati Ku.Dan rasa itu datang bersama waktu.Dan karena waktu pulakah hingga engkau memilih Ku?"
"Tidak,"ujarmu."Tidak sekadar soal waktu.Tapi soal ragumu."
Aku diam.Dan diam-diam membenarkanmu.


Pertemuan yang tak diduga itu,melahirkan dugaanku yang membenar.Di bandara ini aku memandang yang lalu lalang.Juga memandang dalam-dalam Lalu Laksmi;kamu,teman sekolahku dulu.
"Percayalah,aku tetap ingat kamu,"katamu."Tapi aku tak bisa tak menyetiai seseorang yang menumpahkan kesetiannya sepenuh hati.Didalamnya tak kutemui sebutirpu ragu.Semua bisa begitu kalau mau.Termasuk kamu...."
Lalu menatapku dalam.Tatapannya,ditambah kalimat yang ia ucap barusan,itu tamparan bagiku.Tapi aku bisa apa kalau memang itu benar.
Sampai ketika ia terbang menuju kota tempat Ku bertugas,aku malah terbang ke masa lalu mengenang saat aku,Lalu dan Ku sebagai tiga sahabat.
Saat ini,di bandara ini,ketika bunyi mesin pesawat meraung-raung hendak terbang,aku ingin pula menerbangkan keraguanku.Melesat setingginya,dan tak kembali lagi.