Kamis, 28 Februari 2013

Kopdar dengan Tamu tak Diundang



SAYA mempunyai beberapa ratus teman dunia maya. Sebagian di antaranya adalah teman dunia nyata yang, karena kemajuan zaman plus kemajuan jejaring sosial, melanjutkan hubungan ke dunia maya. Kategori kedua itu sepertinya sebagai sesuatu yang tak teramat istimewa. Biasa saja. Namanya juga sudah saling kenal. Akan lain halnya ketika pertemanan di dunia maya berlanjut ke dalam jenjang dunia nyata. Pertemanan yang tulus, membuat sebuah pertemuan (kopi darat sebutannya) pertama akan menjadi ‘biasa’. Sebiasa kita bertemu dengan teman-teman akrab di dunia nyata.

Jam delapan seperempat suasana di dekat patung Suro dan Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya sudah begitu teriknya. Menunggu di dekat situ akan membuat kulit saya yang sudah hitam akan menjadi makin gosong. Saya terus ke utara di jalan Diponegoro. Membeli koran pada penjual yang mangkal di trotoar tak jauh dari hotel Oval, lalu langsung belok kiri masuk jalan Ciliwung, dan belok kiri lagi ke jalan Setail. Melajukan motor secara pelan, sambil mencari tempat teduh untuk membaca koran, sekaligus tempat yang bisa langsung melihat ke jembatan penyeberangan di dekat Bonbin.

Membaca Manufacturing Hope Dahlan Iskan di halaman pertama, dilanjut membaca berita-berita lainnya, jam 09.09.51 WIB (Waktu Indonesia bagian Bonbin) saya kirim pesan singkat, “Sudah sampai mana, Ra?”

M. Faizi (yang selalu saya panggil Ra Faizi) membalas mengabarkan sudah naik bis kota Damri kelas ekonomi, sekaligus membuat prediksi akan sampai Bonbin empat puluh menit kemudian.

Empat puluh menit dari jam 09.09 tentu akan menjadi jam sepuluh kurang sebelas menit. Padahal, acara di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dimulai jam 9.30. Itu tidak seberapa. Dibanding ketika saya mendapat pesan singkat kalau ia hadir ke acara presentasi buku itu juga tidak mendapat undangan. “Saya datang karena Pak Berthold (Damshauser) kirim tautan (di FB-nya). Itu saja.” balasnya dalam pesan singkat.

Wadduh, berarti saya ke Unesa ini dalam rangka mengantar tamu tak diundang! Yang ketika saya tanya ‘apa dengan tidak diundang begitu, nanti boleh masuk ke arena acara atau tidak’ juga tak tahu. Semprul  ini. Dan kesemprul-an itu, akan bisa melahirkan kejutan. Ditolak masuk, misalnya.

Senin, 25 Februari 2013

Obat Cap Ultraman

ANAK bungsu saya, usianya hari ini sudah tiga tahun kurang enam hari, kemarin agak kurang sehat badannya. Segeralah istri saya melihat kartu berobatnya. Tertera di situ, terakhir kali si kecil dibawa ke dokter pada tanggal cantik; 12-11-12. Oh, itu sudah lebih tiga bulan yang lalu.

Rentang waktu yang lumayan lama untuk sebuah kunjungan rutin ke dokter. Karena, biasanya, usia batita begitu, bisa sebulan sekali berobat ke dokter. Ada saja penyakit yang menyambanginya. Pileklah, batuklah, 'kringet buntet'-lah dsb. Nah, pada tanggal 12-11-12 itu, menurut catatan yang tertera di selembar kertas kuning ini, si kecil saya terserang penyakit gatal-gatal.

Dan, tadi malam itu, saya bawa lagi anak saya ke dokter langganan yang biasanya anak saya cocok berobat di situ. Saking cocoknya, sering kali anak saya sudah tampak sehat sebelum diperiksa dokter. Baru nyampai depan ruang praktik dokter saja ia sudah sehat wal afiat lagi.

Tarifnya sih, karena itu balai pengobatan milik yayasan, hanya paling mahal 20 ribu. Itu sudah lengkap dengan obatnya. Namun tadi malam, untuk mengobati adem-panas plus batuk-pilek anak saya, kami hanya dikenakan biaya 15 ribu rupiah saja.

"Kalau tiga hari panasnya tidak turun, datang lagi ke sini untuk periksa darah," bu dokter berambut pendek yang berkacamata itu berkata tanpa berhias senyum di bibirnya.

Saya mafhum. Bertugas menangani pasien begitu banyaknya, mungkin ia bertugas sedari pagi, membuat stok senyumnya habis saat sudah malam begini. Tentang saya harus datang lagi tiga hari lagi kalau panas anak saya tidak turun, ah, saya santai saja. Tidak perlu menunggu tiga hari, lha wong sekarang saja panasnya sudah turun kok.


Belum minum obat kok sudah tidak panas?

Lihat anak saya. Setelah diperiksa, sambil menunggu pembagian obat, ia sudah tampak berlari kesana- kemari di ruang tunggu sambil membawa boneka Ultraman yang baru dibelikan ibunya di depan balai pengobatan ini.

Begitulah selalu. Setiap berobat ke sini, selalu ia minta beli  mainan ke stan yang terdapat di depan balai pengobatan. Harganya? Jangan tanya. Membeli mainan sambil mengajak si kecil yang sudah ngebet ingin memilikinya, adalah sebuah kesempatan bagi si penjual. Pilihannya hanya dua, dibelikan tetapi harganya tidak wajar, tidak dibelikan si kecil akan menangis sekeras-kerasnya.

Istri saya memilih pilihan pertama. Saya paham akan maknanya. Karena, seringkali saya alami, mainan itu adalah juga obat bagi si kecil atas sakitnya. Tak apalah, sekalipun itu lebih mahal dibanding harga obat yang sebenarnya.*****

Minggu, 03 Februari 2013

Balada Air Kelapa Muda


SELESAI mengerjakan tugas lalu mendapat tip, itu hampir menjadi semacam kelaziman. Walau, misalnya, di mobil petugas PLN itu ada tulisan besar ‘Layanan Tanpa Suap’, dengan memberikan sekadar uang rokok, bagi sebagian orang bukanlah pelanggaran. Saya garis bawahi; sebagian orang. Karena, tentu saja, sesuai peraturan, hal itu pun tidak dibenarkan.

Di lingkup pekerjaan saya pun berlaku hukum demikian. Tetapi yang akan saya ceritakan ini, tampaknya, adalah perkecualian. Ia lebih terkesan sebagai akibat dari hubungan pertemanan; Saya di bagian building maintenance, sementara teman saya itu di departemen food and baverage. Suatu bagian yang tidak pernah kering dari makanan dan minuman.

Singkat cerita, setelah membetulkan pintu menuju kitchen yang bermasalah, saya bersama seorang teman, tidak boleh pergi dulu. Mochdar, tetapi lebih kondang dipanggil Modar, menahan kami berdua agar mau menunggu minuman segar yang akan ditampilkan beberapa menit  lagi. Di kitchen sebelah utara, di dekat kitchen zink, ia terlihat sedang membelah kelapa muda. Prakiraan saya, ia adalah teman yang baik hatinya. Tahu betul kalau siang-siang begitu minum es kelapa muda betapa nikmatnya.

“Bikinlah sendiri,” katanya sambil memindah kelapa muda yang sudah terbelah. Ia hanya membawa sebagian air kelapanya, sebagiannya lagi ia tinggal di dalam wadah.

Kami mendekati baskom satainless berisi air kelapa muda. Okelah, kami harus tahu diri. Daging kelapa muda itu untuk dijual ke pelanggan. Dengan hanya disisai airnya saja tidaklah perlu merasa iri. Lebih-lebih kemudian Modar datang lagi membawa gula pasir dan es batu. Sekalipun tak terlalu lengkap, paduan air kelapa muda, gula pasir dan es, membuat minuman itu tentu sudah mujarab untuk mengusir roh haus. (Bukan roh halus. Hehe...)

Gula pasir dituang, es batu dibenamkan. Setelahnya, kami aduk cairan yang masih telihat satu-dua potongan kecil serabut kelapa mudanya. Setelah dirasa semua bahan sudah tercamur sempurna, kami menuangkan ke gelas. Subelum minum, seperti biasa, secara otomatis –sekalipun tanpa remote control-- lidah sudah bersiap merasakan sensasinya.

Dan, oh kok aneh. Kalau minuman itu terasa manis dan dingin sudah demikianlah niscayanya. Namanya juga dikasih gula dan es batu. Tetapi, sebagai air kepala muda, sungguh tidak ditemukan jejaknya. Untuk meyakinkan, kami ulangi lagi ritual meminumnya. Sama. Tiada rasa khas air kelapa.

Kami saling pandang. Dan Modar memandangi kami dengan hiasan tawa lebar di bibirnya. “Kenapa? Aneh ya?” tanyanya.

“Ini air kelapa, kan?” saya mengangkat gelas ke arahnya.

“Tidak salah,” mantap Modar menjawab. “Tetapi lebih tepatnya lagi; itu air dari kran bekas membersihkan kelapa muda...” *****