SAYA mempunyai beberapa ratus teman dunia maya. Sebagian di antaranya adalah teman dunia nyata yang, karena kemajuan zaman plus kemajuan jejaring sosial, melanjutkan hubungan ke dunia maya. Kategori kedua itu sepertinya sebagai sesuatu yang tak teramat istimewa. Biasa saja. Namanya juga sudah saling kenal. Akan lain halnya ketika pertemanan di dunia maya berlanjut ke dalam jenjang dunia nyata. Pertemanan yang tulus, membuat sebuah pertemuan (kopi darat sebutannya) pertama akan menjadi ‘biasa’. Sebiasa kita bertemu dengan teman-teman akrab di dunia nyata.
Jam delapan seperempat suasana di dekat patung Suro dan Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya sudah begitu teriknya. Menunggu di dekat situ akan membuat kulit saya yang sudah hitam akan menjadi makin gosong. Saya terus ke utara di jalan Diponegoro. Membeli koran pada penjual yang mangkal di trotoar tak jauh dari hotel Oval, lalu langsung belok kiri masuk jalan Ciliwung, dan belok kiri lagi ke jalan Setail. Melajukan motor secara pelan, sambil mencari tempat teduh untuk membaca koran, sekaligus tempat yang bisa langsung melihat ke jembatan penyeberangan di dekat Bonbin.
Membaca Manufacturing Hope Dahlan Iskan di halaman pertama, dilanjut membaca berita-berita lainnya, jam 09.09.51 WIB (Waktu Indonesia bagian Bonbin) saya kirim pesan singkat, “Sudah sampai mana, Ra?”
M. Faizi (yang selalu saya panggil Ra Faizi) membalas mengabarkan sudah naik bis kota Damri kelas ekonomi, sekaligus membuat prediksi akan sampai Bonbin empat puluh menit kemudian.
Empat puluh menit dari jam 09.09 tentu akan menjadi jam sepuluh kurang sebelas menit. Padahal, acara di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dimulai jam 9.30. Itu tidak seberapa. Dibanding ketika saya mendapat pesan singkat kalau ia hadir ke acara presentasi buku itu juga tidak mendapat undangan. “Saya datang karena Pak Berthold (Damshauser) kirim tautan (di FB-nya). Itu saja.” balasnya dalam pesan singkat.
Wadduh, berarti saya ke Unesa ini dalam rangka mengantar tamu tak diundang! Yang ketika saya tanya ‘apa dengan tidak diundang begitu, nanti boleh masuk ke arena acara atau tidak’ juga tak tahu. Semprul ini. Dan kesemprul-an itu, akan bisa melahirkan kejutan. Ditolak masuk, misalnya.
“Ya. Itu yang mahal memang,” balasnya, santai.
Sering mengikuti blog-blognya, dan tentu saja akun Efbi-nya, membuat saya tahu bagaimana wajahnya. Tetapi foto profil FB saya yang di atas bibir masih melintang kumis setebal milik Andi Mallarangeng (padahal foto itu adalah hasil jepretan hampir duapuluh tahun lalu) dan sekarang kumis itu sudah saya babat habis, membuat saya perlu menyebutkan ciri-ciri saya lengkap dengan dress code yang saya kenakan hari itu.
Yang saya tunggu datang terlambat empat menit dari prakiraan waktu yang tadi disebutkan. Dari kejauhan saya lihat lelaki berperawakan sedang, turun dari bis kota dan naik jembatan penyeberangan. Bercelana panjang secara tumben (karena biasanya pakai sarung), bersepatu secara njanur gunung (sebab biasanya hanya bersandal), pakai baju batik warna hitam lengan panjang dengan motif bis (ah, ia memang bismania sejati!), dan tentu saja memakai songkok nasional yang saya duga keras sebagai made in Gresik.
Karena dalam SMS sudah menyebutkan di mana saya menunggunya, saya yakin ia langsung menuju ke tempat yang saya maksud. Sekalipun begitu, tangan saya tetap melambai-lambaikan koran.
Akhirnya, teman akrab di dunia maya bertemu secara nyata. Kami bersalaman secara hangat.
Demi menguber acara, saya ajak langsung menuju kampus Unesa di Lidah Wetan, tetapi lewat tanda tangannya (iya, tanda tangan. Maksudnya tanda tangan yang saya pahami sebagai isyarat 'makan dulu') kami lalu masuk ke sebuah warung tidak jauh dari situ.
Berangkat dari Guluk-guluk (Sumenep, Madura) pagi buta, sepertinya Ra Faizi tiada sempat sarapan dulu. Sementara bagi saya, semangkok soto ayam itu adalah sebagai benar-benar sarapan kedua pengganti kapsul Supertin. Cuaca Surabaya yang gerah ditambah soto yang panas mongah-mongah, membuat sehabis makan peluh tercurah dari setiap pori seperti air bah. (Uh, sok serba berakhiran ‘ah’ ini).
Makan sudah, ngopi sudah, merokok sudah, selanjutnya langsung tancap gas menuju Auditorium Prof. Dr. Leo Idra Ardiana di kampus Unesa Lidah Wetan. Tempat digelarnya acara Buchprasentation Gedichte von Johann Wolfgang vo Goethe - ‘Orient und Okzident sind nicht mehr zu trennen’ (Presentasi Buku Puisi-puisi karya Johann Wolfgang Goethe – Telah Berpilin Timur dan Barat’)
M. Faizi (paling kiri), Pak Berthold (nomor tiga dari kiri) |
Tata suara yang kurang sempurna, ditambah beberapa mahasiswa di sekitar saya yang asyik ngerumpi, beberapa lainnya asyik dengan gadget-nya, ditambah kurang akrabnya saya akan karya-karya Goethe, membuat saya asal saja mengikutinya. Tak apalah. Toh dengan begitu saja saya sudah mendapat Syafaat (roti maksudnya).
Sebagai ‘tukang ojek’, saya ikut saja ke mana Ra Faizi pergi. Berkenalan dengan Mas Agus, foto bareng pak Berthold, ngopi di kantin kampus, bahkan seandainya pun ia menuruti permintaan Mas Agus R. Sarjono agar menyusulnya ke kamar 207 di hotel Elmi, saya akan mengantarkannya. Tetapi kedipan matanya itu, yang mengisyaratkan agar saya menjawab ‘tidak tahu’ saat Mas Agus bertanya apakah saya tahu letak hotel Elmi, membuat sebubar acara itu saya langsung membawanya ke Purabaya.
Sungguh, pertemuan hari Senin itu terasa singkat saja. Sekalipun begitu, sepertinya beberapa maksud sudah kesampaian. Saya kesampaian meminta tanda tangan di buku yang ditulis Ra Faizi sebagai oleh-oleh dari kunjungannya ke Jerman dalam acara sastra di sana, Ra Faizi kesampaian memberikan buku Sareyang untuk Pak Berthold. Selebihnya kami berdua kesampaian kopdar dengan lancar, bertemu secara nyata setelah beberapa tahun hanya saling sapa di dunia maya.*****
Semoga awet terus ya tali silaturahminya. Ntap!
BalasHapus