Jumat, 10 Januari 2014
G e r i m i s
SEBELUMNYA, seperti juga siapa pun, aku mengenal gerimis sebagai air yang turun setelah bergelayutan meggantung pada sayap-sayap mendung. Ia menjadi semakin sering turun kala musimnya. Desember, atau Januari begini. Itu saja.
Sampai pada suatu senja, kala hatiku berselimut mendung, gerimis datang dalam rupa yang sebenarnya. Ia turun dengan lembut, mendarat dengan gemulai. Wajahnya putih, tetapi bukan pucat. Satu di antara dari gerimis itu, kulihat paling cantik, setelah mendarat di depan rumahku, berjalan mendekat ke teras dimana aku berdiri bersedekap di depan jendela.
“Maaf, kenalkan; namaku Gerimis. Boleh aku menemani?” ia bertanya, bibirnya merah, kontras sekali dengan kulitnya.
Hanya orang gila yang menolak kedatangan sesosok bidadari, dan aku merasa tidak gila. Kami lalu duduk di kursi teras, ditingkahi teman-temannya yang tetap turun berbaris dalam tarian yang ritmis. Senja dengan suasana begini, kukira otak siapa pun akan bisa melahirnya berlembar-lembar puisi.
“Sejak beberapa senja yang lalu, sebenarnya, aku ingin menemuimu.”
Aku tersenyum, “Betulkah?”
“Siapa pun akan senang berada di dalam rumah ketika kami turun menari,” katanya. “Tapi kulihat beberapa hari ini engkau tidak. Pasti engkau sedang punya masalah…”
Benar, ia benar. Tetapi, masalah ini aku tidak ingin orang lain tahu, lebih-lebih yang baru aku kenal.
“Kesakitan yang teramat sangat adalah ketika sebuah kesetiaan yang sekian lama terjaga, patah oleh sebuah kehadiran yang tak diharapkan. Aku tahu, karena aku pernah mengalami.”
Kulirik Gerimis, wajahnya dingin. Beberapa senja ia memperhatikan aku, ia tahu masalahku? Oh.
Ingin aku bercengkerama lebih lama sebenarnya. Tetapi, kulihat teman-temannya sudah memanggilnya untuk pulang. Tetapi syukurlah, Gerimis tahu isi hatiku, “Kapan-kapan aku kesini lagi…” janjinya.
Sejak saat itu aku punya lagi rasa rindu. Sekaligus perlahan-lahan bisa melupakan Intan, bidadari palsu yang kini hinggap ke lain hati.
Gerimis datang tak selalu senja. Malam ini, ia mengetuk pintu rumahku menjelang jam sebelas. Kudengar teman-temannya bermain di genting atau yang lain lembut menebuk-nepuk pipi daun-daun di halaman depan.
Untuk menyambutkan, kusuguhkan segelas teh hangat di meja. Dan tangan putihnya itu, meraihnya untuk kemudian digenggam dengan kedua tangan.
“Kenapa baru datang sekarang?” tanyaku berbalut rindu.
“Ibu melarangku turun,”
“Ibu? Engkau punya Ibu? Siapa Ibumu?”
“Ibuku Mendung, Ayahku Halilintar,” kata Germis. “Ibu melarangku turun karena ia takut Ayah.”
“Kenapa?”
“Nantilah aku ceritakan,” katanya, lalu bibir mungilnya didekatkan ke bibir gelas yang sedari tadi digenggamnya; ia meminum teh hangat yang kusuguhkan.
Malam itu aku dan Gerimis bercerita-cerita ringan. Tentang hujan yang katanya adalah Kakaknya. Atau Embun yang ia akui sebagai Nenek yang lembut penuh cinta.
Menjelang subuh, Gerimis pamit pulang. Kulihat, seperti juga tempo hari, teman-temannya telah menunggu di bawah pohon di depan rumahku. “Sebentar lagi saatnya Nenek turun, dan ia pasti tidak suka aku pulang terlambat…’”
Begitulah, hari-hari berikutnya aku makin akrab saja dengan Gerimis. Bagiku, ia adalah teman yang baik. Aku tidak tahu apakah aku juga sebagai teman yang baik baginya. Yang jelas, kami bisa nyaman berbagi cerita.
Sampai kemudian, ia ditinggal pulang teman-temannya pada suatu malam; Gerimis bermalam di rumahku. Pagi buta, saat Neneknya turun, ia pucat sekali dan kututupi tubuhnya dengan selimut. Kalau pulang terlambat saja tidak disukai, apalagi ia sekarang menginap di rumahku tanpa pamit, tentu Neneknya itu akan sangat marah.
Untunglah, Embun yang renta itu pulang saat matahari mulai mengintip di ufuk timur. Sementara Gerimis masih bersembunyi di kamar, aku membuka pintu depan. Melongok ke langit yang muram. Kulihat wajah Mendung, pucat-sedih. Aku maklum itu, Ibu mana yang tak khawatir anak kesayangannya tak pulang tanpa pesan. Lebih-lebih di jaman begini.
Samar-samar, di kejauhan, kudengar seperti suara drum kosong digelundungkan di permukaan langit. Gemeluduk suara itu membuatku menduga sebentar lagi akan disusul suara Hallintar, Ayah Gerimis, yang kehadirannya pasti makin membuatnya ketakutan di dalam kamarku.
Dugaanku benar; Halilintar menggelegar tepat di atas rumahku. Kulihat wajahnya merah. Aku pernah mimpi ketemu hantu dan takut sekali. Tetapi ketakutanku saat ini, saat berhadapan dengan Ayah Gerimis ini, sungguh melampaui semua ketakutan yang pernah kualami.
Wajahnya keras, dan di tangannya yang kekar itu seuntai cambuk besar siap digelegarkan kapan saja, “Di mana kau sembunyikan anakku?” sorot mata itu seperti hendak menelan utuh-utuh tubuhku.
Aku ingin bilang kalau aku tak menyembunyikan anaknya, tetapi ia datang sendiri ke rumahku dan enggan pulang. Namun, dalam keadaan sangat takut begitu, tenggorokanku serasa buntu, lidahku seakan hilang. Tak sabar menunggu jawabanku, Halilintar mengangkat cambuknya, dan…
“Ia tidak bersalah, Ayah,” Gerimis muncul dari balik pintu.
“Ia apamu sehingga kau membelanya?” tangan kekar Halilintar dengan kasar meraih putrinya. “Ayo pulang!”
Halilintar terbang membawa Gerimis yang menangis berliangan air mata. Suara gemelegar di atas sana, aku takut Gerimis dipukul Ayahnya. Tapi aku bisa apa? Sungguh aku tak tahu harus bagaimana. Setak tahu aku apa sebenarnya yang membuat Gerimis berat untuk kembali dan ingin berhenti menjadi rintik gerimis.
Kadang-kadang aku merasa terlalu bodoh untuk memahami segala yang kualami. Lebih-lebih tentang Gerimis; kenalan baru yang serasa sebagai sahabat yang telah kukenal lama. Darinya kutahu kalau ternyata pelangi itu benar jalan turun para bidadari ketika hendak bermain ke bumi. Atau ia juga sempat bercerita, dari segala yang ada di atas sana, hanya bintang saja yang paling periang.
Mendengar ceritanya itu, aku selalu tertawa. Ya, seperti juga kamu, cerita tentang bintang itu sungguh sebagai hal baru. Aku suka sekali mendengar segala ceritanya. Aku merasa nyaman bersamanya.
Sekarang, beberapa hari sejak Gerimis dijemput paksa Ayahnya, aku merasa ada sesuatu yang hilang dari dadaku. Ketika gerimis turun, kucari-cari adakah Gerimis yang kukenal ikut juga turun. Tidak pernah kutemukan. Malam-malam, saat genting berdenting oleh rinai, aku keluar di teras. Berharap Gerimis telah berdiri di depan rumahku; dalam keadaan apa pun itu. Tidak ada.
Yang kulihat wajah-wajah yang asing, yang tiada kukenal. Menjelang tengah malam, ketika tak kuat lagi aku berdiri mematung di teras, dan hendak masuk rumah, kulihat ada gerimis yang mendekat dalam langkah yang ragu-ragu. Jubah putih yang menutupi wajahnya kuyup, di baliknya wajahnya tersembunyi.
“Aku datang tidak lama.”
Oh, sungguh kukenal suara itu. Ya, itu suara Gerimis. Aku ingin merangkulnya dengan erat walau karena itu aku akan ikutan basah. Tetapi, dengan kehadirannya yang tak seriang dulu, sungguh aku harus tahu diri.
“Ini pertemuan terakhir kita,” katanya ketika kami berdua sudah berada di dalam rumah. “kecuali engkau mau membawaku pergi entah kemana asal jangan sampai ketahuan Ayah.”
“Bagaimana dengan Ibumu?”
“Aku pergi ini juga atas saran dari Ibuku.”
Sungguh, aku tidak mengerti ke arah mana ia bicara, sampai…
“Maaf, aku belum pernah bilang kalau sebenarnya Halilintar itu Ayah tiriku…”
“Lalu?”
“Ia sekarang telah menceraikan Ibuku dan berniat ganti mengawiniku…” *****
NB; tulisan ini juga saya posting di www.ediwinarno1.wordpress.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar