Jumat, 03 Januari 2014

Surabaya Berpantun


MALAM pergantian tahun tiga hari yang lalu, untuk pertama kalinya Surabaya menggelar Car Free Night. Dalam acara (yang mungkin meniru Jakarta Night Festival) itu ada beberapa ruas jalan yang ditutup untuk kendaraan bermotor sehingga untuk mencapai ke lokasi-lokasi yang disediakan hiburan gratis di situ pengunjung harus berjalan kaki atau bersepeda. Sejauh yang saya dengar (karena saya termasuk orang yang kuno, yang kurang suka menghabiskan malam pergantian tahun dengan melekan begadang di jalanan sambil meniup terompet) acara itu terbilang sukses.

Detik-detik pergantian tahun yang secara cuaca sangat bersahabat ini (karena biasanya hujan semalaman), tiada kemacetan terjadi seperti tahun-tahun yang silam. Dengan ditutupnya jalan-jalan tertentu, dan disediakannya kantong-kantong parkir yang representatif, saya kira keberhasilan acara tahun ini akan semakin memantapkan pihak Pemkot untuk menggelarnya lagi pada tahun-tahun mendatang.

Sayangnya, dari beberapa konsep acara di setiap zona yang berbeda, kok saya tidak mendengar ada pementasan ludruk di salah satunya. Kalau benar demikian, mungkin kesenian khas Surabaya ini sudah mati di daerah asalnya. Semoga belum, semoga jangan.

Bicara tentang ludruk, ketika kecil sepulang mengaji, nyaris setiap malam saya menyusup ke gedung kesenian di desa saya. Saya ingat, acara dimulai setelah beberapa kali petasan dibunyikan. Layar dikerek ke atas dan di tengah pentas berdiri penari remo, tarian pembuka. Disusul kemudian sederetan 'perempuan' berkebaya melantunkan gending-gending Jawa. (saya beri tanda kutip karena perempuan itu adalah wandu, laki-laki yang berdandan sebagai perempuan). Dan begitulah, sejauh yang saya tahu, ludruk senantiasa identik dengan hal demikian.

Sebelum lakon inti dimainkan, lebih dulu muncullah dagelan. Berpenutup kepala khas ludruk atau sering pula berkopiah, seorang dagelan muncul dengan jula-juli dan juga parik'an. Kalau jula-juli rangkaian kata yang dilagukan kait-mengait secara makna, dalam parikan sebelum isi (maksud) lebih dulu ada sampirannya. Ya, Sampeyan benar, semacam pantun.

Pantun terkenal pada masa penjajahan Jepang yang lahir dari seniman ludruk Surabaya adalah yang diucapkan Cak Durasim; pagupon omahe doro, melok Nippon tambah soro.

Bila Surabaya identik dengan ludruk, maka ludruk pun identik dengan parik'an. Ludruk mungkin sulit ditemui manggung di kota ini, tetapi parik'an dapat dengan mudah ditemui di jalan-jalan. Parik'an itu dipasang secara resmi oleh pihak kepolisian sebagai ajakan untuk tertib berlalu lintas.

Di dinding sudut KBS yang bisa terbaca dari seberang terminal Joyoboyo begini bunyinya, “Tuku susu dino Jumat, ojo kesusu supoyo salamat.”

Di bundaran Satelit tadi pagi masih saya temui poster-poster yang dipasang menjelang tahun baru kemarin. “Jangan terong diincaki kucing, knalpot brong mbrebeki kuping,” demikian isinya.

Di tempat lain, bisa jadi ada parik'an lain dengan ajakan yang lain pula. Karena dengan pantun itu, selain secara pesan bisa lebih mengena, si penerima pesan pun bisa tersenyum karena kata-katanya yang kadang sedikit jenaka..

Semasa senang bersurat-suratan ketika remaja dulu, 'pantun kebangsaan' di setiap akhir surat adalah empat kali empat enambelas, sempat tidak sempat mohon dibalas. Sekarang, demi mengakhiri tulisan ini, akan saya tutup pula dengan pantun; bungkus ketupat dari daun lontar, kalau sempat kasih dong komentar. Hehe... *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar