MALAM
pergantian tahun tiga hari yang lalu, untuk pertama kalinya Surabaya
menggelar Car Free Night. Dalam acara (yang mungkin meniru
Jakarta Night Festival) itu ada beberapa ruas jalan yang
ditutup untuk kendaraan bermotor sehingga untuk mencapai ke
lokasi-lokasi yang disediakan hiburan gratis di situ pengunjung harus
berjalan kaki atau bersepeda. Sejauh yang saya dengar (karena saya
termasuk orang yang kuno, yang kurang suka menghabiskan malam
pergantian tahun dengan melekan begadang di jalanan sambil
meniup terompet) acara itu terbilang sukses.
Detik-detik
pergantian tahun yang secara cuaca sangat bersahabat ini (karena
biasanya hujan semalaman), tiada kemacetan terjadi seperti
tahun-tahun yang silam. Dengan ditutupnya jalan-jalan tertentu, dan
disediakannya kantong-kantong parkir yang representatif, saya kira
keberhasilan acara tahun ini akan semakin memantapkan pihak Pemkot
untuk menggelarnya lagi pada tahun-tahun mendatang.
Sayangnya,
dari beberapa konsep acara di setiap zona yang berbeda, kok
saya tidak mendengar ada pementasan ludruk di salah satunya. Kalau
benar demikian, mungkin kesenian khas Surabaya ini sudah mati di
daerah asalnya. Semoga belum, semoga jangan.
Bicara
tentang ludruk, ketika kecil sepulang mengaji, nyaris setiap malam
saya menyusup ke gedung kesenian di desa saya. Saya ingat, acara
dimulai setelah beberapa kali petasan dibunyikan. Layar dikerek ke
atas dan di tengah pentas berdiri penari remo, tarian pembuka.
Disusul kemudian sederetan 'perempuan' berkebaya melantunkan
gending-gending Jawa. (saya beri tanda kutip karena perempuan itu
adalah wandu, laki-laki yang berdandan sebagai perempuan). Dan
begitulah, sejauh yang saya tahu, ludruk senantiasa identik dengan
hal demikian.
Sebelum
lakon inti dimainkan, lebih dulu muncullah dagelan. Berpenutup kepala
khas ludruk atau sering pula berkopiah, seorang dagelan muncul dengan
jula-juli dan juga parik'an. Kalau jula-juli rangkaian kata yang
dilagukan kait-mengait secara makna, dalam parikan sebelum isi
(maksud) lebih dulu ada sampirannya. Ya, Sampeyan benar,
semacam pantun.
Pantun
terkenal pada masa penjajahan Jepang yang lahir dari seniman ludruk
Surabaya adalah yang diucapkan Cak Durasim; pagupon omahe doro,
melok Nippon tambah soro.
Bila
Surabaya identik dengan ludruk, maka ludruk pun identik dengan
parik'an. Ludruk mungkin sulit ditemui manggung di kota ini, tetapi
parik'an dapat dengan mudah ditemui di jalan-jalan. Parik'an itu
dipasang secara resmi oleh pihak kepolisian sebagai ajakan untuk
tertib berlalu lintas.
Di
dinding sudut KBS yang bisa terbaca dari seberang terminal Joyoboyo
begini bunyinya, “Tuku susu dino Jumat, ojo kesusu supoyo
salamat.”
Di
bundaran Satelit tadi pagi masih saya temui poster-poster yang
dipasang menjelang tahun baru kemarin. “Jangan terong diincaki
kucing, knalpot brong mbrebeki kuping,” demikian isinya.
Di
tempat lain, bisa jadi ada parik'an lain dengan ajakan yang lain
pula. Karena dengan pantun itu, selain secara pesan bisa lebih
mengena, si penerima pesan pun bisa tersenyum karena kata-katanya
yang kadang sedikit jenaka..
Semasa
senang bersurat-suratan ketika remaja dulu, 'pantun kebangsaan' di
setiap akhir surat adalah empat kali empat enambelas, sempat tidak
sempat mohon dibalas. Sekarang, demi mengakhiri tulisan ini, akan
saya tutup pula dengan pantun; bungkus ketupat dari daun lontar,
kalau sempat kasih dong komentar. Hehe... *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar