TIADA hari tanpa kejadian kecelakaan lalu-lintas. Dan,
seperti selalu saya dengar dari radio Suara Surabaya
(sebuah radio yang nyaris
semua konsentrasi siarannya memantau kedaan lalu lintas –lewat program andalan Kelana Kota). Yang paling sering terlibat dalam lakalantas itu adalah R-2,
dan yang paling besar kemungkinan cedera --atau bahkan lebih dari itu-- adalah
pengendara motor. Ini membuktikan, sepeda motor adalah moda transportasi yang paling tidak aman. Helm
pun, kalau tidak dibuatkan UU-nya, ada saja yang tidak mengindahkan untuk
mengenakannya. Seolah batok kepalanya sebagai barang tahan benturan!
Semakin hari, semakin banyak saja motor memenuhi setiap ruas
jalanan. Sebagai yang gampang sekali mendapatkan kreditnya, plus aneka merek
berlomba memproduksi sebanyak-banyaknya, dengan promosi yang sedemikian gencar,
dan selain mengaku sebagai yang paling irit tetapi bisa sebagai yang paling
kencang larinya. Kemudahan dalam memiliki R-2 ini, sepertinya, tidak berbanding
lurus dengan kesadaran pengemudinya dalam mengikuti aturan yang ada.
Asal sudah bisa menjalankannya, nekat saja ia memacu seenak
hati di jalanan yang padat. Salip kiri, salip kanan. Terobos sini, terobos
sana. Zig kiri, zag kanan. Padahal, sesuai aturan, R-2 telah dibuatkan lajur khusus,
lajur terkiri.
Sebagai yang sadar betapa riskannya risiko yang harus
ditanggung bila terjadi lakalantas, sebisa mungkin saya mematuhi segala yang
dianjurkan. Termasuk menyalakan lampu utama di siang hari, dan tentu saja
dengan memakai helm sampai pengaitnya berbunyi ‘klik’. Untuk akan berbelok pun,
sejak jarak yang saya rasa cukup, saya juga selalu menyalakan riting.
Misalnya, kalau saya berkendara dari arah Kalirungkut, dan
akan belok kanan lewat gang 7 yang menuju rumah saya, sejak sebelum toko
Pangestu (berjarak lebih dari lima puluh meter dari mulut gang 7), saya sudah
ambil lajur kanan sambil mengedipkan lampu sein. Setiap hari saya mengecek keadaan
lampu kendaraan R-2 saya, dan selalu mendapati semua berfungsi normal. Tetapi,
sekali pun saya sudah menyalakan lampu tanda akan berbelok kanan, saya tidak
percaya begitu saja.
Saya juga harus melirik spion. Ini penting, sangat penting. Karena
tidak jarang, sekali pun saya sudah menyalakan lampu sein, ada saja yang ‘menyalip’
saya lewat sisi kanan. Dengan begitu, kalau saya hanya percaya pala lampu
riting, bukan tidak mungkin akan terjadi senggolan. Karena si penyalip itu
tiba-tiba wuzzz... dengan kecepatan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar