Minggu, 25 November 2012

Pengamen

PENGAMEN tak selalu bermodal suara bagus dan alat musik nggenah. Gitar, dalam hal ini, lebih mendominasi. Tetapi, tentu saja, ada alat lain yang tak kalah lazim. Ia tanpa senar namun sudah tenar; ecek-ecek. Beberapa buah tutup botol bekas yang dipipihkan, lalu dipaku pada sepotong kayu. Kemudian, dengan nada yang tentu saja tak ada jenis A minor atau C, ia hanyalah dikepyek-kepyekkan. Mengiringi lagu Iwak Peyek atau sungguh terpaksa-nya Rhoma. Kalau sudah begitu, terpaksalah saya memberinya beberapa butir koin. Lalu pengamen itu pergi. Pindah ke rumah sebelah, dengan modus yang sama; berlalu begitu dikasih uang sebelum sebuah lagu rampung betulan. Jadi, di sini, agak tidak berbeda ya antara pengamen dan pengemis?

Teman saya yang satu ini lebih menghargai kelompok pengamen. Lebih-lebih yang serius; membawa alat musik komplit, dan bisa menyanyi dengan normal. Tetapi harus bisa memenuhi dua syarat; bisa bernyanyi dangdut, dan bisa menyanyikan lagu Ani-nya Rhoma. Kalau dua hal itu bia dipenuhi, ia akan nanggap lima lagu dan dibayar 10 ribu! (info tambahan; ia menggemari lagu Ani karena nama istrinya Ani).

Sore kemarin, ada kelompok pengamen masuk ke gang kampung saya. Pengamen yang bukan sembarang pengamen. Bukan grup atau kelompok, namun keluarga. Ada bapak, ibu dan anak. Tidak membawa ecek-ecek atau gitar. Tetapi si ibu yang menggendong seperangkat speaker. Bukan untuk berkaraoke dangdut, tapi menyuarakan tabuhan jaranan. Rancak sekali iramanya, cemplang sekali terlontar dari pengeras suaranya.

Sungguh, pengamen jenis ini tidak memerlukan modal suara dari pita suaranya sendiri, hanya aki dan CD serta pemutarnya. Tetapi, tentu saja, harus bisa menari jaranan. Hal ini sudah serng saya dapati di perempatan jalan Jagir, Surabaya. Tetapi yang sampai door to door sekeluarga begini, baru kali ini saya dapati. Pertama, saya nilai sebagai upaya jemput bola yang 'cerdas'. Tetapi, dengan mengajak si anak (taksiran saya, usianya baru tiga tahun) sebagai yang harus mendekati pintu rumah untuk menerima koin pemberian, tentulah ini termasuk eksploitasi terhadap anak.

Agaknya ini diamini oleh banyak orang. Tetapi jeratan ekonomi sepertinya agak tak mengenal yang namanya eksploitasi anak. Yang malah telah akrab menjadi semboyan yang sering kita dengar diucapkan pengamen yang beroperasi di bis-bis adalah sebaris kalimat, “Ikhlas bagi Anda, halal bagi kami...” *****

2 komentar:

  1. saya hanya memberi beberapa keping (bukan butir) koin kepada pengamen yg memang serius menjual kemampuannya, bukan belas kasihan atau menggunakan ancaman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, ya. Yang benar memang 'keping'. Inilah perlunya seorang editor. Hehe...

      Pengamen jaranan itu, kesannya memang mengancam. Paling tidak, dengan tabuhan jaranan yang serancak itu, plus tarian yang begitu, anak saya yang biasanya dengan senang hati memberikan sat-dua keping koin kepada pengamen yang mampir ke depan rumah saya, sore itu takut melakukannya.

      Hapus