Kamis, 07 Juni 2012

Telmi Bikin Telti

MINGGU pagi kemarin (3 Juni 2012) saya mengajak dua anak saya jalan-jalan pakai motor. (hehe, jalan-jalan kok pakai motor?). Acara ini mempunyai dua tujuan. Dan bukan dalam rangka olahraga, tentu saja. Pertama; agar istri saya bisa memasak dengan khusu' tanpa diganggu si bungsu yang suka sekali ngerusuhi apa pun yang dilakukan ibunya –memasak, cuci piring atau cuci baju---. Alasan kedua; saya sedang menunjukkan jalur jalan kalau nanti si sulung (sudah kelas enam sekarang, dan sedang menunggu pengumuman kelulusan) sekolah di MtsN di daerah Medokan Ayu.

Ini saya anggap penting. Karena, dengan memakai ketentuan dalam PPDB Surabaya ini, anak saya kemungkinan untuk diterima di SMP Negeri hanya 1%! Kenapa? Ya, karena sekalipun saya sudah sebagai warga 'negara' Surabaya, tetapi Kartu Keluarga saya baru diterbitkan Dispendukcapil tertanggal 17 Januari. Padahal, KK tertangga mulai 1 Januari 2012 kena peraturan itu.

Saya kira, memang ada orang tua yang karena ingin anaknya bisa mengenyam pendidikan sekolan negeri di Surabaya lalu beramai-ramai mengurus KK anaknya untuk –bisa-bisa-- dititipkan ke famili yang sudah sebagai warga Surabaya. Entah itu diatur sebgai anak angkat atau apa. Dan, sepertinya, aturan yang menganggap KK yang dikeluarkan mulai 1 Januari 2012 itu hanyalah sebagai untuk tujuan itu, tentu tidak seratus persen benar. Namun ketika dibikin pagu yang hanya 1% itu, saya bisa apa? Padahal saya pindah KK sungguh tidak karena itu. Tetapi karena saya bekerja disini, sekaligus telah punya rumah di kota ini. Tetapi sudahlah. Selalu ada harapan, sekaligus selalu ada keajaiban.

Sambil menunggu datangnya mukjizat itu, saya ke Medokan Ayu pagi itu dalam rangka mempersiapkan plan B. Jadi, rencana saya –dan sudah disetujui anak saya-- kalau memang tidak diterima di SMP Negeri, si Edwin saya masukkan ke MtsN. Harapannya begitu. Tetapi tentu memilih sekolah bukan sama dengan memilih channel televisi yang untuk menentukan tinggal menekan tombol pada remote control. Kalau terpaksa, bila gagal masuk MtsN yang konon prosesnya tidak online dan masih memakai sistem test, saya telah menyiapkan rencana terakhir. Dan itu butuh biaya lebih. Karena anak saya akan saya sekolahkan ke luar negeri. (Swasta maksudnya...Hehe...)

Dalam menunjukkan jalur ke sekolah MTsN itu (kalau nanti diterima sih), saya tunjukkan jalur dengan jarak tempuh terpendek. Saya perhitungkan itu karena tentu saya kasihan kalau terlalu jauh dia nanti dalam mengayuh sepeda. Jalurnya ini; dari depan SMA 17, belok kiri menuju U turn, masuk gang pertama, tembus MERR, belok kiri menuju U turn, masuk gang Pandugo lurus mengikuti jalan disisi sungai, dan sampailah sudah ke TKP. Dalam hitungan odometer motor saya, jarak sekali jalan dari rumah ke sekolah dibawah naungan Departeman Agama itu sekitar lima kilometer. Lumayanlah.

Pulang dari situ, saya lewat Rungkut Lor gang 9 dekat sekolah SD si Edwin. Di pinggir jalan, didekat pedagang soto yang pakai gerobak dorong yang rupanya sedang ada beberapa pembeli, saya melihat seorang sedang istirahat dari berolah raga sepeda. Wajahnya sudah sangat saya kenali. Lelaki itu memakai pakaian olah raga warna biru. Dan sekalipun tanpa pengawalan, lelaki itu adalah pejabat tinggi negara. Namanya; M Nuh. Ya, beliau adalah Mendiknas.

Saya mengangguk sebagai sapaan, dan anggukan bercampur senyuman itu saya terima sebagai balasan. Hanya itu. Dan saya terus saya mengendarai motor saya menuju pulang. Tetapi setelah saya pikir-pikir, tolol amat saya. Kenapa saya tidak ikutan nimbrung ngobrol bareng pak Menteri yang bersahaja itu. Setelah sekian jauh, barulah saya putar balik. Niat pertama tentu ingin ikut jagongan dengan pak M. Nuh. Niat susulannya lagi, saya hendak curhat tentang ketentuan penerimaan peserta didik baru sekolah negeri di Surabaya ini yang sepertinya agak kurang ikhlas saya terima.

Tetapi, saya benar-benar telat. Pak menteri sudah pergi. Sudah mengayuh sepedanya entah kemana. Saya kira beliau pulang ke rumahnya di Gunung Anyar, Rungkut.

Dalam beberapa hal, sering sekali saya telmi (telat mikir), sehingga mengakibatkan telti (telat bertindak). Saya kermudian menjadi ingat kalimat yang pernah disampaikan seorang ustad saat acara buka bersama di tempat kerja pada Ramadhan tahun lalu. Ustad yang masih muda itu, yang juga menjabat sebagai direktur lembaga sosial yang mempunyai usaha jasa Aqiqoh siapa saji (bahkan dalam brosurnya tertulis sebagai pelopor di bidang ini), antara lain bilang, “Untuk hal baik, laksanakan apa yang pertama kali ada di pikiran. Jangan suka menundanya.”******




Tidak ada komentar:

Posting Komentar