MINGGU pagi kemarin (3 Juni 2012) saya mengajak dua anak saya
jalan-jalan pakai motor. (hehe, jalan-jalan kok pakai motor?).
Acara ini mempunyai dua tujuan. Dan bukan dalam rangka olahraga,
tentu saja. Pertama; agar istri saya bisa memasak dengan khusu'
tanpa diganggu si bungsu yang suka sekali ngerusuhi apa pun yang
dilakukan ibunya –memasak, cuci piring atau cuci baju---. Alasan
kedua; saya sedang menunjukkan jalur jalan kalau nanti si sulung
(sudah kelas enam sekarang, dan sedang menunggu pengumuman kelulusan)
sekolah di MtsN di daerah Medokan Ayu.
Ini saya anggap penting. Karena, dengan memakai ketentuan dalam PPDB
Surabaya ini, anak saya kemungkinan untuk diterima di SMP Negeri
hanya 1%! Kenapa? Ya, karena sekalipun saya sudah sebagai warga
'negara' Surabaya, tetapi Kartu Keluarga saya baru diterbitkan
Dispendukcapil tertanggal 17 Januari. Padahal, KK tertangga mulai 1
Januari 2012 kena peraturan itu.
Saya kira, memang ada orang tua yang karena ingin anaknya bisa
mengenyam pendidikan sekolan negeri di Surabaya lalu beramai-ramai
mengurus KK anaknya untuk –bisa-bisa-- dititipkan ke famili yang
sudah sebagai warga Surabaya. Entah itu diatur sebgai anak angkat
atau apa. Dan, sepertinya, aturan yang menganggap KK yang dikeluarkan
mulai 1 Januari 2012 itu hanyalah sebagai untuk tujuan itu, tentu
tidak seratus persen benar. Namun ketika dibikin pagu yang hanya 1%
itu, saya bisa apa? Padahal saya pindah KK sungguh tidak karena itu.
Tetapi karena saya bekerja disini, sekaligus telah punya rumah di
kota ini. Tetapi sudahlah. Selalu ada harapan, sekaligus selalu ada
keajaiban.
Sambil menunggu datangnya mukjizat itu, saya ke Medokan Ayu pagi itu
dalam rangka mempersiapkan plan B. Jadi, rencana saya –dan
sudah disetujui anak saya-- kalau memang tidak diterima di SMP
Negeri, si Edwin saya masukkan ke MtsN. Harapannya begitu. Tetapi
tentu memilih sekolah bukan sama dengan memilih channel televisi yang
untuk menentukan tinggal menekan tombol pada remote control. Kalau
terpaksa, bila gagal masuk MtsN yang konon prosesnya tidak online
dan masih memakai sistem test, saya telah menyiapkan rencana
terakhir. Dan itu butuh biaya lebih. Karena anak saya akan saya
sekolahkan ke luar negeri. (Swasta maksudnya...Hehe...)
Dalam menunjukkan jalur ke sekolah MTsN itu (kalau nanti diterima
sih), saya tunjukkan jalur dengan jarak tempuh terpendek. Saya
perhitungkan itu karena tentu saya kasihan kalau terlalu jauh dia
nanti dalam mengayuh sepeda. Jalurnya ini; dari depan SMA 17, belok
kiri menuju U turn, masuk gang pertama, tembus MERR, belok
kiri menuju U turn, masuk gang Pandugo lurus mengikuti jalan
disisi sungai, dan sampailah sudah ke TKP. Dalam hitungan odometer
motor saya, jarak sekali jalan dari rumah ke sekolah dibawah naungan
Departeman Agama itu sekitar lima kilometer. Lumayanlah.
Pulang dari situ, saya lewat Rungkut Lor gang 9 dekat sekolah SD si
Edwin. Di pinggir jalan, didekat pedagang soto yang pakai gerobak
dorong yang rupanya sedang ada beberapa pembeli, saya melihat seorang
sedang istirahat dari berolah raga sepeda. Wajahnya sudah sangat saya
kenali. Lelaki itu memakai pakaian olah raga warna biru. Dan
sekalipun tanpa pengawalan, lelaki itu adalah pejabat tinggi negara.
Namanya; M Nuh. Ya, beliau adalah Mendiknas.
Saya mengangguk sebagai sapaan, dan anggukan bercampur senyuman itu
saya terima sebagai balasan. Hanya itu. Dan saya terus saya
mengendarai motor saya menuju pulang. Tetapi setelah saya
pikir-pikir, tolol amat saya. Kenapa saya tidak ikutan nimbrung
ngobrol bareng pak Menteri yang bersahaja itu. Setelah sekian jauh,
barulah saya putar balik. Niat pertama tentu ingin ikut jagongan
dengan pak M. Nuh. Niat susulannya lagi, saya hendak curhat tentang
ketentuan penerimaan peserta didik baru sekolah negeri di Surabaya
ini yang sepertinya agak kurang ikhlas saya terima.
Tetapi, saya benar-benar telat. Pak menteri sudah pergi. Sudah
mengayuh sepedanya entah kemana. Saya kira beliau pulang ke rumahnya
di Gunung Anyar, Rungkut.
Dalam beberapa hal, sering sekali saya telmi (telat mikir), sehingga
mengakibatkan telti (telat bertindak). Saya kermudian menjadi ingat
kalimat yang pernah disampaikan seorang ustad saat acara buka bersama
di tempat kerja pada Ramadhan tahun lalu. Ustad yang masih muda itu,
yang juga menjabat sebagai direktur lembaga sosial yang mempunyai
usaha jasa Aqiqoh siapa saji (bahkan dalam brosurnya tertulis sebagai
pelopor di bidang ini), antara lain bilang, “Untuk hal baik, laksanakan apa yang
pertama kali ada di pikiran. Jangan suka menundanya.”******
Tidak ada komentar:
Posting Komentar