Jumat, 08 Juni 2012

Senandung Masa Puber


(Tajuk tulisan ini seperti judul sinetron yang melejitkan Raffi Ahmad. Biarlah)

ADAKALANYA ingatan tentang masa lalu yang berseliweran di kepala, sesekali mampir di ketika saya SMP. Mengingat teman-teman lama, mengingat sekolah yang lokasinya sungguh sangat strategis; dekat pasar, tidak jauh dari kuburan dan mepet masjid. Pasar adalah tempat favorit ketika saya dan teman-teman yang bengal menghindarkan diri dari pelajaran bahasa Inggris, bahasa Arab atau Matermatika. Kuburan itu, yang letaknya hanya berbatas pagar dengan pasar dan hanya berjarak sekitar dua puluh lima meter dari sekolah, adalah tempat dimana kami memetik buah sirsak yang sudah tua, yang banyak sekali pohon sirsak tumbuh di areal pekuburan, untuk kemudian kami peram dengan menaruhnya di sudut sebuah cungkup. Dan dua atau tiga hari dari waktu meletakkannya itu, sudah matanglah si sirsak yang terasa segar sekali dinikmati ketika bolos siang. Tetapi jangan khawatir, ada masjid yang mengharuskan kami sholat duhur berjamaah. Saya sering sekali menguras bak besar tempat wudhunya, hanya (kok hanya?!) karena saya termasuk kelompok anak yang malas sekali bawa sarung. Dan lebih memilih berjamaah di 'kloter kedua' bersama sesama penganut faham 'meminjam sarung teman' yang telah sholat duluan. Dan itu, dianggap melanggar peraturan. Menguras bak wudhu lalu memenuhinya lagi dengan menimba air pakai kerekan sebagai hukuman, tetapi dengan 'cerdas' itu sekaligus kami nikmati sebagai kesenangan. (Dasar anak ndablek!) (Saat saya  SMP masih bercelana pendek, jadi untuk bersholat jamaah, kami harus sekalian bawa sarung dari rumah).

Waktu SMP pula ketika jerawat di wajah mulai muncul. Puber. Juga baju di bagian ketiak yang terus saja basah oleh keringat yang baunya begitu sedapnya. Saat-saat awal remaja itu dipersenang oleh teman-teman yang juga menyenangkan. Lucu. Dan cinta pertama!

Merokok di sekolah dengan sembunyi-sembunyi di belakang kelas, yang sebatang dihisap empat mulut secara bergantian, adalah juga sebuah pengalaman yang tak terlupakan. Salah satu teman saya, Zaenal Mustofa namanya, ingin memamerkan keberanian merokok itu di depan kelas. Toh masih jam istirahat, pikirnya. Tetapi, seringkali karena keasyikan melakukan sesuatu, waktu terasa begitu singkat. Selebihnya, suara lain, bel masuk kelas, misalnya, kurang diperhatikan indera pendengaran. Setelah menghisap dengan kuat sehingga asap rokok memenuhi rongga mulutnya, si Zaenal ingin menghembuskan di depan kelas sebagai unjuk keberanian

Tetapi baru muncul di sudut kelas yang berbatas dengan tempat wudhu masjid, seorang guru, Pak Maryono namanya, sudah memergokinya sebagai yang telah terlambat masuk kelas. Dan satu pertanyaan, “Darimana kamu kok baru muncul?” membuat kedoknya terbongkar.

Dengan menjawab, “Dari belakang, Pak,” suara itu disertai kepulan asap rokok yang meloncat tak beraturan dari mulutnya.

Sungguh, si Zaenal bukanlah 'penjahat' yang tegar. Ia dengan tega 'mencokot' kami sehingga hukuman atas merokok itu harus kami jalani berempat secara berjamaah.****


2 komentar:

  1. ada tindakan sundut bara setelah dihukum? seram lho...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Alhamdulillah, tidak, Ra.

      Kenangan lain 'hanya' kami dibelikan sekilo gula agar kami memakannya gara-gara kami mencuri tebu secara istiqomah. Sehingga, sekalipun kebun tebu itu dari luar nampak rapat dan rimbun, di bagian tengahnya sudah 'botak' oleh ulah kami...

      Hapus