(Tajuk tulisan ini seperti judul sinetron yang melejitkan Raffi Ahmad. Biarlah)
ADAKALANYA ingatan tentang masa
lalu yang berseliweran di kepala, sesekali mampir di ketika saya SMP.
Mengingat teman-teman lama, mengingat sekolah yang lokasinya sungguh
sangat strategis; dekat pasar, tidak jauh dari kuburan dan mepet masjid.
Pasar adalah tempat favorit ketika saya dan teman-teman yang bengal
menghindarkan diri dari pelajaran bahasa Inggris, bahasa Arab atau Matermatika.
Kuburan itu, yang letaknya hanya berbatas pagar dengan pasar dan hanya berjarak sekitar dua puluh lima meter dari sekolah, adalah tempat
dimana kami memetik buah sirsak yang sudah tua, yang banyak sekali
pohon sirsak tumbuh di areal pekuburan, untuk kemudian kami peram
dengan menaruhnya di sudut sebuah cungkup. Dan dua atau tiga
hari dari waktu meletakkannya itu, sudah matanglah si sirsak yang
terasa segar sekali dinikmati ketika bolos siang. Tetapi jangan khawatir,
ada masjid yang mengharuskan kami sholat duhur berjamaah. Saya sering
sekali menguras bak besar tempat wudhunya, hanya (kok hanya?!) karena
saya termasuk kelompok anak yang malas sekali bawa sarung. Dan lebih memilih berjamaah di 'kloter kedua' bersama sesama penganut faham 'meminjam sarung teman' yang telah sholat duluan. Dan itu, dianggap melanggar peraturan. Menguras bak wudhu lalu memenuhinya lagi dengan menimba air pakai kerekan sebagai hukuman, tetapi dengan 'cerdas' itu sekaligus kami nikmati sebagai kesenangan. (Dasar anak ndablek!) (Saat saya
SMP masih bercelana pendek, jadi untuk bersholat jamaah, kami harus
sekalian bawa sarung dari rumah).
Waktu SMP pula ketika jerawat di wajah
mulai muncul. Puber. Juga baju di bagian ketiak yang terus saja basah
oleh keringat yang baunya begitu sedapnya. Saat-saat awal remaja itu
dipersenang oleh teman-teman yang juga menyenangkan. Lucu. Dan cinta
pertama!
Merokok di sekolah dengan
sembunyi-sembunyi di belakang kelas, yang sebatang dihisap empat
mulut secara bergantian, adalah juga sebuah pengalaman yang tak
terlupakan. Salah satu teman saya, Zaenal Mustofa namanya, ingin
memamerkan keberanian merokok itu di depan kelas. Toh masih jam
istirahat, pikirnya. Tetapi, seringkali karena keasyikan melakukan
sesuatu, waktu terasa begitu singkat. Selebihnya, suara lain, bel
masuk kelas, misalnya, kurang diperhatikan indera pendengaran. Setelah
menghisap dengan kuat sehingga asap rokok memenuhi rongga mulutnya,
si Zaenal ingin menghembuskan di depan kelas sebagai unjuk keberanian
Tetapi baru muncul di sudut kelas yang
berbatas dengan tempat wudhu masjid, seorang guru, Pak Maryono
namanya, sudah memergokinya sebagai yang telah terlambat masuk kelas.
Dan satu pertanyaan, “Darimana kamu kok baru muncul?”
membuat kedoknya terbongkar.
Dengan menjawab, “Dari belakang,
Pak,” suara itu disertai kepulan asap rokok yang meloncat tak
beraturan dari mulutnya.
Sungguh, si Zaenal bukanlah 'penjahat'
yang tegar. Ia dengan tega 'mencokot' kami sehingga hukuman atas
merokok itu harus kami jalani berempat secara berjamaah.****
ada tindakan sundut bara setelah dihukum? seram lho...
BalasHapusAlhamdulillah, tidak, Ra.
HapusKenangan lain 'hanya' kami dibelikan sekilo gula agar kami memakannya gara-gara kami mencuri tebu secara istiqomah. Sehingga, sekalipun kebun tebu itu dari luar nampak rapat dan rimbun, di bagian tengahnya sudah 'botak' oleh ulah kami...