Sabtu, 16 November 2013

Nasi Bebek Wonokromo

Nasi bebek.
Foto: blog.gerombolancinta.com
SALAH satu menu yang saya suka adalah nasi bebek. Di Surabaya ini, banyak sekali kedai/warung yang menjualnya. Mulai kelas kali lima sampai yang lebih tinggi dari itu.

Ada istilah yang mengatakan, pembeli membawa pembeli. Artinya, ketika sebuah kedai ramai oleh pengunjung, hal itu menarik orang lain untuk pula mengunjunginya. Tentu saja karena penasaran. Entah itu karena lezatnya menu yang dijual, atau sebab lain. Harganya murah, misalnya.

Ilmu itu saya gunakan pula saat 'kelaparan' di tempat yang saya tak biasa. Umpamanya ketika di kota lain. Tentu kalau saya lagi bepergian sendiri, saya lebih leluasa menerapkan teori ini. Saat transit di terminal Bayuangga, Probolinngo, dalam perjalanan pulang kampung, seringkali saya makan bukan di depot-depot yang berjajar di dalam arena terminal. Tetapi saya lebih memilih keluar. Mencari-cari; dimana ada warung yang ramai, ke situlah saya menuju.

Sebagai warung kaki lima, tentu akan kurang 'sreg' makan di situ kalau tak terbiasa. Tata letak menu yang sedemikian rupa, plus higienitas yang patut dipertanyakan. Tetapi, syukurlah, saya baik-baik saja menyantap makanan di warung-warung kelas teri itu. Lebih dari itu, untuk sepiring munjung nasi pecel lauk ayam goreng plus tempe dan rempeyek remuk lengkap dengan segelas es teh, uang sepuluh ribu rupiah masih susuk.

Karena penasaran akan ramainya, pernah saya mampir ke sebuah warung yang menu utamanaya adalah nasi bebek. Setelah menu dihidangkan dan saya santap, ah, ternyata rasanya kurang mengena bagi lidah saya yang berkelas kaki lima ini. Sebagai nasi bebek, bagi saya penampilannya terlalu 'cantik'. Lagian, dengan semacam kuah warna kekuningan, ia mengingatkan saya akan kuah sayur lodeh. Lebih kurang nikmat lagi ketika saya harus membayar agak mahal untuk itu.

Untuk nasi bebek, lidah saya ini cocoknya di warung kaki lima di daerah Wonokromo, tidak jauh dari lampu merah sisi timur. Sambil makan, saya bisa menikmati suasana macetnya jalanan. Tukang martabak yang asyik membanting-banting adonan sampai tipis dan lebar. Tidak jauh dari situ ada tukang tambal ban yang kesepian, tiada 'pasien'. Atau kalau pas ada kereta api lewat, telinga ini menangkapnya sebagai irama yang menggema.

Warung nasi bebek ini sudah saya kenal sejak masih di seberang jalan dulu, tidak jauh dari pos polisi. Tetapi sekarang di area itu sudah tidak boleh ada PKL mangkal. Di lokasi sekarang, dengan menu yang sudah dikenal pelanggannya, yang datang tetaplah ramai. Lagian, secara lokasi, di tempat yang baru ini pun tak kalah strategisnya. Karena, ia berada di ujung selatan 'pasar maling'. Sebuah tempat dengan aktifitas jual-beli yang kalau makin malam makin ramai. Kenapa disebut 'pasar maling'? Ya, karena di tempat itu bisa didapat ponsel kosongan, baju, jaket, sepatu dan barang-barang second lainnya dengan harga bantingan. Dengan harga semurah itu, dicurigai barang itu adalah dari hasil nyolong. Itulah sebabnya ia dibilang sebagai pasar maling.

Nasi bebek di Wonokromo ini secara tampilan lebih 'serem', dengan sambal lebih nendang. Dibubuhi taburan srundeng yang khas, ia nikmat sekali disantap di tempat. Tetapi bagi yang ingat anak-istri di rumah, bisa pula dibungkus untuk dibawa pulang. Dengan memakai kertas minyak ala kaki lima, sebungkus nasi bebek Wonokromo ini dibandrol seharga sebelas ribu rupiah. Bagi saya, itu harga bersahabat untuk seporsi menu kuliner kali lima yang mantap. *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar