PERNAH saya membaca
sebuah tulisan yang mengangkat tentang rujakan dan arisan sebagai
dua hal yang hanya ada di Indonesia. Penulis perempuan itu (sayang sekali saya
lupa namanya), mengisahkan teman-teman bulenya di negeri seberang begitu heran
ketika diterangkan apa itu rujakan dan arisan.
Tentang rujakan,
penjelasan akan lebih sempurna manakala disertai contoh sebagai bukti nyata. Dan
nyatalah adanya ketika si rujak itu jadi dan para bule itu mencicipi. Wajah
yang sudah merah makin merah saat lidah mereka tersentuh pedasnya rujak. Tak
biasa makan pedas, mencocol irisan mangga ke sambal membuat liur mengucur
deras.
Sekalipun tak segila rujak,
tentang arisan pun sulit diterima akal mereka. Untuk apa, pikir mereka, sekadar
mengumpulkan uang dari sejumlah orang dalam satu kumpulan, lalu ketika semua
sudah terkumpul, sebuah botol yang tutupnya dilubangi dan di dalamnya berisi
lintingan kertas berisi nama para anggota, dikopyok untuk menentuka siapa yang
dapat arisan.
Bagi para bule, arisan itu
adalah sebuah hal yang kurang praktis. Kenapa uang itu harus dikumpulkan di
satu tempat? Kok tidak langsung ditransfer saja ke rekening si pemenang?
Kenapa harus dikopyok untuk menentukan pemenang?
Penjelasannya begini;
di masyarakat kita biasanya arisan itu sebagai 'menu tambahan' dari sebuah acara. Pertemuan keluarga, misalnya. Diharapkan, dengan ditambahi arisan, acara pertemuan akan lebih meriah. Walau, sisi buruknya juga ada. Umpamanya, saat pertemuan itu tiba, dan sedang tidak punya uang arisan, tidak hadir ke pertemuan keluarga adalah suatu pilihan.
di masyarakat kita biasanya arisan itu sebagai 'menu tambahan' dari sebuah acara. Pertemuan keluarga, misalnya. Diharapkan, dengan ditambahi arisan, acara pertemuan akan lebih meriah. Walau, sisi buruknya juga ada. Umpamanya, saat pertemuan itu tiba, dan sedang tidak punya uang arisan, tidak hadir ke pertemuan keluarga adalah suatu pilihan.
Sebagaimana saya juga pernah
rujakan tradisional (berbahan pepaya, mangga, belimbing, jantung pisang atau
babal dsb), saya juga pernah ikut arisan. Dengan jumlah peserta yang ikut
lumayan banyak, kemungkinan menang juga menjadi satu berbanding 125, misalnya.
Bila arisan digelar seminggu sekali, untuk menuntaskan dibutuhkan waktu125
minggu. Kalau dikopyoknya bulanan, diperlukan 125 bulan!
Demi sebuah arisan menjadi
cepat selesai, bersama empat teman saya pernah mengadakan arisan. Diundinya
setiap gajian. Karena pesertanya hanya berlima, kami tidak memerlukan botol
untuk mengopyoknya. Tetapi dengan hompimpah. Hal ini, selain simpel,
ternyata ramainya bukan main. Karena sambil hompimpah, kami bersorak
seperti anak-anak.
Hompimpah
berkali-kali sampai ketemu telapak tangan yang berbeda dari yang lain. Dalam
arisan hompimpah ala kami itu, ketika peserta tinggal dua, pemenang
tidak hanya ditentukan dalam sekali tarikan. Dengan tinggal dua, tentu bukan
lagi memakai sistem hompimpah. Namun harus suit. Dan itu bisa
berkali-kali. Makin sering draw (misalnya jempol ketemu jempol,
kelingking ketemu kelingking atau telunjuk lawan telunjuk), makin lama pula suit
itu dilakukan. Sampai ada pemenang. Sampai kelingking melawan jempol,
umpamanya.
Mengingat arisan hompimpah
itu, ingin rasanya saya mengulang begitu lagi. Bagaimana, apa Sampeyan
berminat ikut? *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar