Selasa, 05 November 2013

Arisan Hompimpah



PERNAH saya membaca sebuah tulisan yang mengangkat tentang rujakan dan arisan sebagai dua hal yang hanya ada di Indonesia. Penulis perempuan itu (sayang sekali saya lupa namanya), mengisahkan teman-teman bulenya di negeri seberang begitu heran ketika diterangkan apa itu rujakan dan arisan.

Tentang rujakan, penjelasan akan lebih sempurna manakala disertai contoh sebagai bukti nyata. Dan nyatalah adanya ketika si rujak itu jadi dan para bule itu mencicipi. Wajah yang sudah merah makin merah saat lidah mereka tersentuh pedasnya rujak. Tak biasa makan pedas, mencocol irisan mangga ke sambal membuat liur mengucur deras.

Sekalipun tak segila rujak, tentang arisan pun sulit diterima akal mereka. Untuk apa, pikir mereka, sekadar mengumpulkan uang dari sejumlah orang dalam satu kumpulan, lalu ketika semua sudah terkumpul, sebuah botol yang tutupnya dilubangi dan di dalamnya berisi lintingan kertas berisi nama para anggota, dikopyok untuk menentuka siapa yang dapat arisan.

Bagi para bule, arisan itu adalah sebuah hal yang kurang praktis. Kenapa uang itu harus dikumpulkan di satu tempat? Kok tidak langsung ditransfer saja ke rekening si pemenang? Kenapa harus dikopyok untuk menentukan pemenang?

Penjelasannya begini;
di masyarakat kita biasanya arisan itu sebagai 'menu tambahan' dari sebuah acara. Pertemuan keluarga, misalnya. Diharapkan, dengan ditambahi arisan, acara pertemuan akan lebih meriah. Walau, sisi buruknya juga ada. Umpamanya, saat pertemuan itu tiba, dan sedang tidak punya uang arisan, tidak hadir ke pertemuan keluarga adalah suatu pilihan.

Sebagaimana saya juga pernah rujakan tradisional (berbahan pepaya, mangga, belimbing, jantung pisang atau babal dsb), saya juga pernah ikut arisan. Dengan jumlah peserta yang ikut lumayan banyak, kemungkinan menang juga menjadi satu berbanding 125, misalnya. Bila arisan digelar seminggu sekali, untuk menuntaskan dibutuhkan waktu125 minggu. Kalau dikopyoknya bulanan, diperlukan 125 bulan!

Demi sebuah arisan menjadi cepat selesai, bersama empat teman saya pernah mengadakan arisan. Diundinya setiap gajian. Karena pesertanya hanya berlima, kami tidak memerlukan botol untuk mengopyoknya. Tetapi dengan hompimpah. Hal ini, selain simpel, ternyata ramainya bukan main. Karena sambil hompimpah, kami bersorak seperti anak-anak.

Hompimpah berkali-kali sampai ketemu telapak tangan yang berbeda dari yang lain. Dalam arisan hompimpah ala kami itu, ketika peserta tinggal dua, pemenang tidak hanya ditentukan dalam sekali tarikan. Dengan tinggal dua, tentu bukan lagi memakai sistem hompimpah. Namun harus suit. Dan itu bisa berkali-kali. Makin sering draw (misalnya jempol ketemu jempol, kelingking ketemu kelingking atau telunjuk lawan telunjuk), makin lama pula suit itu dilakukan. Sampai ada pemenang. Sampai kelingking melawan jempol, umpamanya.

Mengingat arisan hompimpah itu, ingin rasanya saya mengulang begitu lagi. Bagaimana, apa Sampeyan berminat ikut? *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar