Selasa, 12 November 2013

Kacamata Politik



SUNGGUH saya sadari, seiring bertambah (atau berkurang ?) umur, mata saya ini ikutan kabur. Huruf-huruf dalam halaman koran atau buku makin kecil dan suram saja rasanya bagi penglihatan saya. Kalau dulu masih mampu memasukkan benang dalam lubang jarum sebelum menjahit ketiak baju yang robek, kini pekerjaan sepele itu tak mampu lagi saya lakukan. Saya mesti meminta anak sulung saya untuk melakukannya, sebagaimana saya memintanya membacakan aturan pakai pada botol sirup obat batuk untuk adiknya.

Mengatasi menurunnya kemampuan penglihatan itu, lazimnya tentu saya harus pakai kacamata. Tetapi entah kenapa, saya masih enggan membeli kacamata baca yang harganya sebenarnya tak seberapa. Tentang kenapa saya semuda ini (weiihh, lebih empat puluh tahun masih merasa muda?!....), kalau dirunut ke belakang tentu ada penyebabnya. Yakni, sejak kecil saya suka sekali membaca. Kesukaan membaca itu kadang tak pandang waktu. Bisa siang, sore atau malam. Untuk siang tentu tak ada masalah, karena terang. Sementara ketika malam, dalam membaca itu seringkali saya hanya ditemani lampu minyak. Iya sih, bapak punya lampu petromaks (ketika itu kami menyebutnya strongking, walau mereknya Tingwon dan bukan Storm King), tetapi lampu itu hanya dinyalakan saat-saat khusus saja. Misalnya kalau pas ada hajatan selamatan, atau, tentu saja, ketika hari raya tiba. Aliran listrik? Oh, tiang-tiangnya saja kala itu belum ada!


Ketika aliran listrik masuk ke desa kami, saya masih setia membaca ditemani lampu oblik dengan sinar mendrip-mendrip, redup. Yang ketika minyaknya tinggal sedikit, sehingga si minyak tak terjangkau sumbu, Ibu memasukkan air ke dalam botol lampu itu agar minyaknya naik menyentuh ekor sumbu sehingga api tetap menyala. Dengan kondisi ekonomi yang begitu, kala itu untuk berlangganan listrik sungguh kami tak mampu.

Kembali ke kacamata; sore sepulang kerja, sehabis menenggak air putih dalam botol yang saya ambil dari kulkas, saat menutup lemari es itu saya dapati selembar kertas ditaruh di atasnya.

“Undangan pemeriksaan mata dan pembagian kacamata gratis, nanti sehabis maghrib di rumah Pak Rinekso,” istri saya berkata.

Nah, ini dia. Untung saya belum membeli kacamata, dan sekarang dapat yang secara percuma. Tetapi betulkah ini benar-benar gratis sementara di undangannya tertera yang menyelenggarakan adalah tokoh yang berasal dari partai politik. Tidak ada makan siang yang gratis! Dan kacamata gratis ini sungguh berlumur tujuan politis.

Sebulan setelah saya antre ikutan memeriksakan mata, kemarin tibalah saatnya pembagian kacamatanya. Kalau waktu pemeriksaan kami diperiksa begitu saja, saat pembagian ada kata sambutannya segala. Dari siapa lagi kalau bukan dari caleg yang tempo hari saya dapati nama dan gambarnya tertera pada undangan. Beliau mengenalkan diri sekaligus mohon doa restu untuk maju pada Pemilu Legislatif nanti.

“Ada dua model surat suara, tetapi belum diputuskan KPU akan memakai bentuk yang mana,” sang Caleg berkata sambil membeber contoh surat suara. “Pemilih harus jeli menentukan pilihan agar jangan sampai salah. Dua belas partai yang bertarung, begitu banyak nama yang diusung. Ya, hanya nama, tanpa foto. Makanya, selain kacamata yang saya berikan itu bisa untuk men-deres kitab suci agar pandangan lebih terang, ia bermanfaat pula saat memilih di bilik TPS nanti...”

Santun, benar-benar santun. Sang caleg itu sama sekali tak mengobral janji sebagaimana di ajang kampanye sering terjadi. Dan, memang, malam itu bukan acara kampanye. Hanya pembagian kacamata baca.

Tetapi, lazim terjadi, kita kental sekali mengenal tradisi balas budi. Hanya dengan dibagikan kacamata baca yang secara nominal tidak terlalu mahal, bukan tidak mungkin sebagian langsung gelap mata; memilih ia di Pileg nanti. Atau bukan menutup kemungkinan ada di antaranya yang memakai pakem politik 'wani piro'. Sehingga siapa yang lebih unggul dalam pemberian, kepadanyalah pilihan dijatuhkan, tanpa menakar kapasitas, kapabelitas dan track record-nya.

Kacamata yang saya terima kemarin itu, bisa digunakan untuk memandang secara sempit begitu, atau malah bisa dipakai melihat lebih luas, lebih rasional. Bahwa; memilih wakil kita harusnya tak semudah meludah. Tak sedikit contoh di masa kemarin, yang sebelum terpilih sibuk mencari dukungan, setelah jadi sungguhan ia kurang amanah akan rakyat yang diwakilinya dan diam-diam malah sibuk menggendutkan kekayaan pribadi dengan cara-cara diluar kepatutan. *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar