DENGAN nyaris tak seorang pun
yang tidak memiliki ponsel, lazim ditemui di dekat pintu atau di
bagian tiang masjid ditempel himbauan agar orang mematikan perangkat
itu bila masuk ke masjid. Tidak cukup sampai disitu, sebelum sholat
jamaah dimulai, pihak takmir bahkan perlu mengulang anjuran itu lewat
pengeras suara.
Sekali pun begitu, beberapa kali saya
dapati dalam sholat Jumat, suara ponsel maraung di saat sholat sedang
berlangsung. Dan dering itu makin terdengar nyaring dalam suasana
yang hening. Sebagai kambing hitam, tentu bisa saja dialamatkan
kepada penelepon yang tak tahu diri menelepon disaat shalat Jumat.
Tetapi, entah lupa atau apa (atau karena datang telat disaat iqomat
sudah lewat), sehingga tak mendengar himbauan takmir, seseorang itu
tak mematikan ponselnya. Efek dari itu, tentu saja, bukan hanya si
empunya ponsel yang bisa jadi kehilangan konsntrasi, jamaah semasjid
pun ikutan kurang khusyu'.
Sekali pun sederhana, tempat kerja saya
ini juga punya musholla. Letaknya di lantai basement, tepat di bawah
ramp in, akses jalan menurun dari depan lobby ke car park. Sehingga , kalau ada mobil lewat di atasnya,
getarannya lamat-lamat terdengar juga. Dengan atap langsung cor beton
yang makin ke utara makin rendah (sesuai fungsi ramp), di
situlah kami semua karyawan biasa menjalankan sholat. Bukan hanya
itu, para tenaga outsourching bagian cleaning, bila
hendak 'laporan ke Tuhan', juga menunaikannya di tempat itu. Termasuk pula para
driver dari para bos yang tinggal di hunian vertikal ini.
Pernah saya temui personel bagian
cleaning itu bersiap menjadi makmum sholat berjamaah dengan
peranghat handy-talky (HT) yang hanya dikecilkan volume
suaranya. Maksudnya jelas, bila ada panggilan masuk yang meminta
jasanya, ia bisa segera merespon. Makna dari itu juga jelas, bahwa
panggilan Tuhan baginya bisa juga di-sambi. Tetapi,
“Sstt... matikan dulu HT-nya,” bisik saya meminta.
Lain
lagi bagi seorang driver yang
sudah agak berumur dan saat itu didapuk menjadi imam. Setelah iqomat,
beliau bersiap. Termasuk mengeluarkan semua penghuni saku; dompet,
kontak, rokok/korek, dan dua buah ponsel. Celakanya, begitu memasuki
rakaat kedua, salah satu dari dua ponsel itu menyalak galak. Tebakannya, itu panggilan dari si Tuan untuk suatu kepentingan. Minta
diantar untuk makan siang di sebuah restorant, atau harus balik lagi
ke kantor secepatnya karena ada kepentingan, misalnya. Sholat
berjamaah yang hanya berlima menjadi seakan dilema; tidak melulu bagi
imam yang tentu takut dimarahi tuan bila terlambat menjawab panggilan, namun juga bagi makmum yang
konsentrasinya telanjur ikut berantakan. Pilihannya jelas; lebih memilih
memenuhi panggilan Tuhan dan melanjutkan sholat dengan kecepatan
wajar, atau demi sang tuan langsung tancap gas agar sholat cepat
tuntas. Kadang-kadang (atau bahkan sering), bersegera saat dipanggil atasan, sebuah langkah berbanding terbalik dengan saat adzan telah dikumandangkan agar kita segera menemui Tuhan.*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar