Jumat, 08 November 2013

Panggilan Tu(h)an

DENGAN nyaris tak seorang pun yang tidak memiliki ponsel, lazim ditemui di dekat pintu atau di bagian tiang masjid ditempel himbauan agar orang mematikan perangkat itu bila masuk ke masjid. Tidak cukup sampai disitu, sebelum sholat jamaah dimulai, pihak takmir bahkan perlu mengulang anjuran itu lewat pengeras suara.

Sekali pun begitu, beberapa kali saya dapati dalam sholat Jumat, suara ponsel maraung di saat sholat sedang berlangsung. Dan dering itu makin terdengar nyaring dalam suasana yang hening. Sebagai kambing hitam, tentu bisa saja dialamatkan kepada penelepon yang tak tahu diri menelepon disaat shalat Jumat. Tetapi, entah lupa atau apa (atau karena datang telat disaat iqomat sudah lewat), sehingga tak mendengar himbauan takmir, seseorang itu tak mematikan ponselnya. Efek dari itu, tentu saja, bukan hanya si empunya ponsel yang bisa jadi kehilangan konsntrasi, jamaah semasjid pun ikutan kurang khusyu'.

Itu yang sengaja. Lain lagi ceritanya bila disengaja. Memangnya ada?

Sekali pun sederhana, tempat kerja saya ini juga punya musholla. Letaknya di lantai basement, tepat di bawah ramp in, akses jalan menurun dari depan lobby ke car park. Sehingga , kalau ada mobil lewat di atasnya, getarannya lamat-lamat terdengar juga. Dengan atap langsung cor beton yang makin ke utara makin rendah (sesuai fungsi ramp), di situlah kami semua karyawan biasa menjalankan sholat. Bukan hanya itu, para tenaga outsourching bagian cleaning, bila hendak 'laporan ke Tuhan', juga menunaikannya di tempat itu. Termasuk pula para driver dari para bos yang tinggal di hunian vertikal ini.

Pernah saya temui personel bagian cleaning itu bersiap menjadi makmum sholat berjamaah dengan peranghat handy-talky (HT) yang hanya dikecilkan volume suaranya. Maksudnya jelas, bila ada panggilan masuk yang meminta jasanya, ia bisa segera merespon. Makna dari itu juga jelas, bahwa panggilan Tuhan baginya bisa juga di-sambi. Tetapi, “Sstt... matikan dulu HT-nya,” bisik saya meminta.

Lain lagi bagi seorang driver yang sudah agak berumur dan saat itu didapuk menjadi imam. Setelah iqomat, beliau bersiap. Termasuk mengeluarkan semua penghuni saku; dompet, kontak, rokok/korek, dan dua buah ponsel. Celakanya, begitu memasuki rakaat kedua, salah satu dari dua ponsel itu menyalak galak. Tebakannya, itu panggilan dari si Tuan untuk suatu kepentingan. Minta diantar untuk makan siang di sebuah restorant, atau harus balik lagi ke kantor secepatnya karena ada kepentingan, misalnya. Sholat berjamaah yang hanya berlima menjadi seakan dilema; tidak melulu bagi imam yang tentu takut dimarahi tuan bila terlambat menjawab panggilan, namun juga bagi makmum yang konsentrasinya telanjur ikut berantakan. Pilihannya jelas; lebih memilih memenuhi panggilan Tuhan dan melanjutkan sholat dengan kecepatan wajar, atau demi sang tuan langsung tancap gas agar sholat cepat tuntas. Kadang-kadang (atau bahkan sering), bersegera saat dipanggil atasan, sebuah langkah berbanding terbalik dengan saat adzan telah dikumandangkan agar kita segera menemui Tuhan.*****




Tidak ada komentar:

Posting Komentar