Kamis, 28 November 2013

K e r u p u k


PAGI tadi, saat Kang Karib bertamu ke rumah Mas Bendo, si tuan rumah baru saja selesai sarapan. Keringat yang menempel di wajah, plus bibirnya yang memerah, bisa ditebak, Mas Bendo makan kalau bukan nasinya masih panas ya karena pedas.

“Wih, lauknya apa kok kamu sarapan sampai keringat ndromos begitu, nDo?”

“Beginilah, Kang kalau orang ayem; sarapan nasi hangat lauk kerupuk dan sambal terasi saja sudah luar biasa mak nyus-nya.”

“Kamu itu, nDo, nDo. Kerupuk saja kok mak nyus.”

“Ya daripada makan enak, serba mahal tetapi tak bisa menikmati sepenuh hati karena hidupnya selalu dihantui kecurigaan; curiga ditipu teman bisnis, curiga ketahuan belangnya, curiga ditusuk dari belakang oleh orang kepercayaan, curiga telepon atau email disadap. Aku kan enggak. Jadi, sekali pun cuma makan berlauk kerupuk, ya nikmat-nikmat saja.”

“Makan sama kerupuk saja kok bangga!”

Sampeyan jangan meremehkan kerupuk, Kang. Karena kerupuk pun ada filosoinya.”

“Filosofi mbelgedhes apa!, Orang kerupuk itu hanya ramai dalam kemriuknya tetapi tak ada gizinya kok.”

“Nah, itu dia, Kang,” Mas Bendo menyahut. “Dalam hidup ini, entah itu dalam lingkungan sosial atau dalam organisasi apa pun, seringkali ada yang bersifat seperti kerupuk itu; ramai tetapi tak bermutu...”

Sambil tertawa Kang Karib menunjuk Mas Bendo, “Itu lak kamu sendiri...”

“Juga Sampeyan,” balas Mas Bendo juga sambil nyengenges. “Tetapi begini, Kang. Dalam lingkungan kita, entah itu tetangga sekitar atau di tempat kerja, selalu ada yang sebagai krupuk, sambal, penyedap rasa atau yang lainnya lagi. Untuk apa? Ya agar sebuah menu menjadi lengkap, menjadi sedap. Kalau terlalu banyak sambel, ngomong dan kelakuannya selalu bikin pedas, ya nggak bagus, karena bisa bikin sakit perut. Terlalu banyak penyedap, bicara palsu, menjilat atas menjilat bawah ya tak baik juga untuk tubuh. Semua harus dalam takaran yang wajar, karena kalau dalam dosis yang keterlaluan, apa pun akan tidak baik.” *****


1 komentar: