PADA pagar
besi pembatas jalan di Wonokromo, Surabaya, saya dapati berjajar lumayan rapat
sang merah putih melambai-lambai ditiup angin. Kehadirannya, sungguh menjadi
penyejuk di antara kibaran bendera lain milik partai-partai politik yang bulan-bulan
belakangan ini mulai ramai menghiasi aneka sudut kota. Bukan hanya bendera,
terpampang juga bermacam baliho bergambar tokoh-tokoh yang sedang ‘menjajakan
diri’ agar dipilih pada Pemilu legislatif nanti. ‘Jujur, bersih dan berani’,
‘Muda, Ulet dan Pro Rakyat’, ‘Bekerja untuk Sejahtera’ dlsb. Kata-kata itu
tertera sebagai pemanis buatan di bawah foto yang dibikin semenjual mungkin.
Untuk slogan terakhir, sepertinya patut diperjelas: untuk kesejahteraan pribadi
atau kesejahteraan rakyat?
Kembali ke jajaran bendera
merah putih yang menghiasi jalanan;
besok (tulisan ini saya buat Sabtu siang, tanggal 9 November) diperingati sebagai hari Pahlawan. Ada hal yang menyedihkan kala seorang yang dekat dengan Cak Ruslan Abdulgani mendapati dari tahun ke tahun makin sedikit saja orang yang mengibarkan merah putih di hari Pahlawan di kota Pahlawan. Entah karena membaca artikel yang ditulis seseorang itu atau apa, merah putih kembali berkibar di kota buaya ini di jalanan. Tetapi apakah ia juga akan dikibarkan di depan masing-masing rumah, entahlah.
besok (tulisan ini saya buat Sabtu siang, tanggal 9 November) diperingati sebagai hari Pahlawan. Ada hal yang menyedihkan kala seorang yang dekat dengan Cak Ruslan Abdulgani mendapati dari tahun ke tahun makin sedikit saja orang yang mengibarkan merah putih di hari Pahlawan di kota Pahlawan. Entah karena membaca artikel yang ditulis seseorang itu atau apa, merah putih kembali berkibar di kota buaya ini di jalanan. Tetapi apakah ia juga akan dikibarkan di depan masing-masing rumah, entahlah.
Mengibarkan bendera merah
putih tentu tak seberat para pejuang merebut dan berjuang memerdekakan negeri
ini dari cegkeraman penjajah. Terbayang bagaimana arek-arek Surabaya bertaruh
nyawa memanjat puncak hotel Yamato untuk merobek warna biru sehingga ketika
dikibarkan lagi bendera Belanda itu telah menjadi merah putih.
Horoisme itu, sepertinya,
sedang disulut lagi hari-hari ini. Ini bisa diketahui dari himbauan yang
dikeluarkan pihak sekolah (mulai SD sampai SMA) di Surabaya ini agar para siswa
mengenakan ‘baju pahlawan’ mulai kemarin sampai nanti hari Senin. Ini, bagi
sebagian orang tua siswa, adalah sebuah perjuangan. Menyewa ‘baju pahlawan’
atau ada yang sampai membelikan anaknya ‘baju pahlawan’ dalam kondisi baru.
Perjuangan orang tua sungguh makin berat bila dana untuk itu memang tidak ada,
sementara si anak dengan heroik memaksa orang tua untuk mengadakannya.
Entah karena alasan
dibanding perjuangan para pahlawan bertempur melawan penjajah, membeli ‘baju pahlawan’
tentu tak seberapa, akhirnya meluncurlah orang tua ke sentra penjual baju
doreng di dekat terminal Joyoboyo demi anaknya. Bagi para penjual, momen ini
memanglah membahagiakan. Saya lihat, di depan beberapa toko itu yang biasanya
tak begitu ramai (terbilang sepi, malah), pagi tadi di tempat itu bersiap
tukang parkir yang ikutan mengais rejeki di antara banyaknya para orang tua
berbelanja baju tentara.
Inilah salah-kaprahnya.
Ketika diminta mengenakan ‘baju pahlawan’ kenapa semua pada ramai-ramai memilih
baju tentara? Bukankah tidak semua pahlawan adalah tentara. Apakah arek-arek Surabaya yang gagah berani
bertempur dengan semangat bonek pada 10 November 1945 itu semua adalah tentara
yang berbaju doreng? Tentu tidak. Bisa jadi mereka adalah pemuda biasa, tetapi
punya nyali luar biasa.
Maka, ketika anak saya yang
baru kelas 2 SMP meminta ‘baju pahlawan’, saya sarankan ia ke sekolah
mengenakan kemeja lengan panjang warna putih dengan kopiah hitam sebagai penutup
kepala. Pesan saya, “Nanti kalau Bu Guru bertanya, bilang saja kamu sedang macak
sebagai KH. Agus Salim.” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar