MALAM saat
membuat tulisan ini, saya baru pulang dari menghadiri sebuah undangan. Bulan Dzulhijjah begini ini, undangan yang
datang silih berganti. Kalau bukan walimatul
khitan, ya walimatul arusy. Benar
sih, dalam acara walimahan itu, kami
para undangan hanya sebagai pendengar saja. Begitu datang, ada terima tamu yang
setelah salaman akan memberi sekotak kue dan segelas air mineral. Itu adalah
bekal dalam mengikuti rangkaian acara yang durasinya bisa agak lama.
Dalam walimahan,
sambil menunggu acara inti –biasanya mauidhoh
khasanah--, ada grup banjari yang menyenandungkan puji-pujian untuk Baginda
Nabi. Setelah acara inti, ditutup doa. Sudah? Belum. Sekalipun doa disebutkan
oleh pembawa acara sebagai acara penutup, tetapi bukan berarti sudah tidak ada
lagi acara yang lain. Masih ada. Dan ini lebih inti daripada yang inti. Yakni;
acara makan. Bahkan selesai makan pun masih ada lanjutannya; pembagian berkat (biasanya berisi nasi lengkap
dengan lauknya plus kue dan sebutir buah).
Begitulah, selain hanya meluangkan waktu, tak ada
pengeluaran sama sekali dalam menghadiri acara walimahan. Tetapi, sehari setelah walimahan (tetap di tuan rumah yang sama), lain lagi ceritanya.
Datang bukan sekadar datang. Iya sih,
dalam undangan disebutkan memohon kehadiran untuk mohon doa restu. Namun dalam
praktiknya tidak begitu. Harus bawa amplop yang di dalamnya diisi uang sekian
puluh ribu rupiah untuk disalam-tempelkan kepada shohibul hajjat.
Dengan undangan yang bertubi-tubi,
sebanyak itu pula harus disedian amplop beserta isinya. Kalau datang berdua dengan ibunya anak-anak, ya tinggal dikalikan dua saja. Sungguh, bulan penuh orang hajatan begini, mau tak mau, terpengaruh pula stabilitas isi dompet kami.
sebanyak itu pula harus disedian amplop beserta isinya. Kalau datang berdua dengan ibunya anak-anak, ya tinggal dikalikan dua saja. Sungguh, bulan penuh orang hajatan begini, mau tak mau, terpengaruh pula stabilitas isi dompet kami.
Dalam bersalam tempel itu (juga lazim, di dekat buku tamu,
biasanya disediakan pula kotak wadah amplop), ada perbedaan dengan tradisi di
kampung saya. Yang mana, di sebuah sudut depan, ada petugas yang khusus membuka
amplop buwuhan para tamu. Begitu si
tamu menyerahkan amplop, langsung saja dibuka isinya untuk dibukukan saat itu
juga.
“Tidak sopan,” komentar istri saya mendapati hal itu ketika
suatu kali saya ajak menghadiri undangan di kampung halaman saya. “Wong tamunya belum pulang, kok
amplopnya sudah dibuka.”
Namun, hal itu sangat ampuh untuk menghindari terjadinya
tamu siluman yang datang tetapi hanya bermodal amplop kosong; tanpa isi, juga
tanpa nama. Ibarat kata, datang hanya bermodal pakaian batik; dapat suguhan makanan enak, sudah begitu diberi pula souvenir saat balik. Memang yang begitu itu ada?
“Iya, ada,” kata seorang ibu pemilik toko di gang sebelah. “Waktu
Pak Man hajatan tempo hari, tak sedikit ditemukan amplop kosong saat shohibul hajjat itu membuka kotak buwuhan.”
SEKIAN belas
tahun yang lalu, saat menikah, saya juga mendapat satu amplop kosong, sekaligus
tanpa nama. Tak terlalu menduga-duga lebih jauh, itu saya anggap kelakuan
sindikat teman kost saya dulu yang juga menghadiahi saya sebungkus kado
pernikahan berisi sarung lama yang pernah dipakai menyumpal bawah pintu saat
kamar kos kebanjiran sekian bulan sebelumnya. “Tolong segera dicuci,” begitu
bunyi secarik kertas yang menyertainya, lengkap dengan setengah sachet bubuk ditergent.
Maka, sebuah ampop kosong itu segera saya singkirkan.
Tetapi, hari berikutnya, malam-malam ada tamu datang mengetuk pintu. Ah,
perasaan teman yang satu ini kemarin pas resepsi sudah datang. Jadi untuk apa
dia malam ini datang lagi? Sudah begitu, tak mau pula ia saya suruh masuk
rumah.
“Maaf,” katanya sambil merogoh saku celana. “Saya sebentar
saja kok,” teman yang satu ini memang
pendiam dan agak pemalu.
“Kok sepertinya
penting amat, ada apa?” tanya saya.
Ia menggenggamkan amplop ke tangan saya, “Anu, kemarin itu amplopnya keliru, masih
kosong. Ini saya mengantar yang ada isinya...” *****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar