Rabu, 30 Oktober 2013

Ketika Buruh Menuntut



“WAH, musim hujan akan segera tiba ini, Kang,” demi melihat langit tak secerah kemarin, dan matahari tak seterik kemarin, Mas Bendo berkata.

“Hampir bareng ya datangnya dengan musim demo para buruh,” setelah menyeruput kopi, Kang Karib melanjutkan membaca koran terbitan kemarin.

“Iya, ya, Kang,” mulut Mas Bendo berdwi fungsi; sambil mengunyah pisang goreng sekaligus sambil mengamini sahutan Kang Karib tadi. “Tetapi, aku kira buruh menuntut gaji naik demi meningkatkan taraf hidupnya itu hal yang wajar, Kang. Karena suksesnya pengusaha, tak terlepas dari cucuran keringat para buruhnya.”

“Betul katamu, nDo. Namun akan menjadi kurang wajar manakala buruh menuntutnya keterlaluan.”

“Keterlaluan piye to, Kang?” dari nada bicaranya, sepertinya Mas Bendo ini ada di pihak yang pro buruh.

“Lha iya, menuntut upah naik sekian puluh persen itu bagaimana nalarnya?”

“Lho, nalarnya jelas, Kang,” makin semangat Mas Bendo berargumen. “Jangan sampai buruh hanya dijadikan sapi perah, dijadikan tumbal demi mengeruk keuntungan setinggi gunung. Tetapi nasib buruh sendiri tetap sengsara, tetap nelangsa...”

“Pada dasarnya menuntut itu hal yang lumrah, nDo. Tetapi tentu akan lebih elok kalau dilakukan dengan santun, dengan tata krama.”

“Kalau si pengusaha tetap ndablek dan tutup kuping serta tutup hati, mogok kerja adalah pilihan yang rasional, Kang.”

“Tapi kalau dengan mogok kerja itu malah merugikan perusahaan piye, nDo?”

“Ya memang itu tujuannya,” mantap Mas Bendo menjawab. “Pengusaha biar tahu rasa. Bahwa tanpa buruh yang bekerja mereka bakalan rugi.”

“Dan tanpa adanya pengusaha, makin tak tentu pula nasib si buruh,” timpal Kang Karib.

Walau masih kurang sependapat dengan Kang Karib, Mas Bendo seakan kehabisan amunisi mendengar kalimat Kang Karib barusan.

“Pengusaha harus menyadari bagaimana susahnya kehidupan buruh,” kata Kang Karib kemudian.

“Nah, setuju itu aku, Kang,” semangat Mas Bendo tersulut lagi.

“Tetapi,” lanjut Kang Karib, “sesekali buruh juga harus menyadari bagaimana susahnya pengusaha. Bagaimana mereka harus berusaha bertahan untuk survive di tengah iklim ekonomi global dan di antara serbuan para kompetitor. Lagian, kalau gaji buruh dinaikkan, apa menjamin kinerja mereka bakalan naik? Iya sih, tentu mereka akan semakin giat dalam bekerja. Tetapi itu bertahan dalam berapa lama? Paling-paling dua-tiga bulan berikutnya sudah ngglembosi, sudah asal-asalan lagi. Dan tabiat begitu itu di mana-mana sudah umum, nDo. Lalu, tahun berikutnya mereka-mereka ini menuntut kenaikan gaji lagi. Mengancam mogok kerja lagi. Kadang sikap mentang-mentang itu memang tidak melulu dimiliki orang-orang yang sudah mapan, misalnya para pengusaha. Buruh pun sering memakainya; mentang-mentang buruh, mentang-mentang jumlahnya banyak. Menuntut kenaikan upah dua kali lipat. Memangnya ini perusahaan nenek moyangmu.....”

“Wah, mbelgedhes Sampeyan ini, Kang!” sembur Mas Bendo. “aku perhatikan, dari tadi Sampeyan selalu membela pengusaha. Jangan begitu, Kang. Kita harus kompak. Sampeyan jangan menggembosi sebuah perjuangan...”

Mendengar kalimat Mas Bendo barusan Kang Karib malah cekikikan.

Sampeyan kok malah tertawa ini bagaimana, to?”

“Lha kamu itu, lucu...”

“Lucu?! Apanya yang lucu?!”

“Lha bagaimana tidak lucu, wong kita ini sama-sama pengangguran,” jawab Kang Karib. “Biarpun upah buruh naik setinggi langit, ya kita tetap saja nganggur...” *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar