Senin, 28 Oktober 2013

Sedekah Sampah



KAMI sekeluarga mungkin termasuk dalam kategori keluarga penyayang dalam tanda petik. Apa-apa yang kami miliki begitu kami sayangi. Walau sudah tidak kami gunakan, seringkali sesuatu itu  teramat sayang untuk dibuang. Saking banyaknya macam barang yang kami simpan, sampai-sampai tanpa kami sadari seakan semua sudut rumah kami menjadi gudang.

Lemari menjadi penuh sesak oleh baju-baju lama yang sekarang sudah tidak muat lagi di badan. Berkardus-kardus bekas kemasan mie instan yang di dalamnya berjejalan mainan-mainan si kecil yang tak pernah lagi dipakai bermain. Sandal-sepatu si kecil yang sudah kekecilan. Di dekat dapur, teronggok bertumpuk-tumpuk wadah plastik aneka bentuk hasil dari seringnya saya mendapat kondangan tahlilan. Termasuk aneka macam piring dan mangkok hadiah setiap istri saya membeli ditergen.

Pada saat tertentu,
saat kami tak menghiraukannya, kami merasa tak memilikinya. Artinya, kalau pun barang-barang itu tak ada di rumah, sebenarnya hidup kami akan tetap baik-baik saja. Ia baru menjadi perhatian, manakala kami sedang bersih-bersih rumah dan risi mendapati aneka ‘sampah’ itu menjejali sudut-sudut rumah. Namun, sekali lagi, kami begitu sayang untuk membuangnya.

Ada memang iklan sebuah toko online, yang menawarkan diri untuk menjual barang-barang bekas lewat situsnya. Tetapi, saya kira, ia bukan tempat tepat untuk menjual sepatu dan baju-baju bekas kami yang secara merek tidak terlalu jelas. Siapa yang mau beli barang berkelas kaki lima?

Hidup adalah pilihan. Membuangnya atau memberikannya kepada yang masih berkenan menerima adalah opsi yang ada. Karena, toh, tanpa barang-barang itu di rumah, kami tak apa-apa. Syukurlah di Surabaya ini ada sebuah yayasan yang punya program BarBeKu (Barang Bekas Berkualitas). Namun untuk mengusung sepatu dan baju kesitu saya merasa terlalu tidak pantas. Saya lebih memilih barang elektronik yang sudah rewel untuk saya sedekahkan.

Barang elektronik rewel diamalkan? Bukankah itu adalah juga sampah?

“Tidak apa-apa, Pak,” petugas penerima barang itu ramah berkata, “kami punya teknisi yang bertugas membetulkan barang-barang yang kami terima. Setelah kondisinya normal, baru barang elketronik ini kami jual dan uangnya kami putar lagi untuk modal usaha dan menambah aset yayasan kami.”

Aneka barang, mulai kulkas, televisi, radio-tape, kamera digital, handphone dan sebagainya tertata rapi di sebuah ruangan yang menjadi seolah terlalu kecil oleh karena banyaknya barang.

Begitulah, ternyata ‘sampah’ pun bisa menjadi modal untuk bersedekah. *****


1 komentar:

  1. Mohon infonya untuk yayasan yg mnerima barang bekas elektronik sbagai sedekah di Surabaya. Terima kasih

    BalasHapus