Kamis, 19 Mei 2016

H A H

CUACA yang mendung ditambah pepohonan yang rimbun di area bermain anak-anak di pantai itu, membuat suasana nyaman sekali. Lebih menyenangkan karena saya lihat si kecil saya senang sekali berada di situ. Sebuah acara liiburan yang murah meriah sekaligus tak perlu jauh dari rumah. Dalam arti berikutnya; kantong tak akan terlalu bolong karenanya.

Jajanan yang ada pun tak mahal-mahal amat, permainan ayunan dan sebangsanya malah gratis belaka, sudah jadi satu dengan karcis masuk. Di antara waktu menemani anak bermain, saya lihat seorang lelaki mengais rejeki atas bantuan monyet. Tak hanya seorang, saya lihat ada beberapa lelaki berlaku begitu; kesana-kemari menggelar tontonan topeng monyet.

Tidak seperti yang pernah saya lihat di kampung, yang tontonan topeng monyet masih menggunakan gamelan asli, yang ini lebih simpel, cukup pakai speaker kecil bersuara nyaring tetapi cemplang bertenaga accu kecil dan tak perlu berbagi penghasilan dengan penabuh gamelan. Untuk si aktor utama, ya si Sarimin atau entah siapa nama monyet itu, cukuplah dibelikan pisang.

Tetapi siang itu, si Sarimin sedang mogok kerja. Entah karena sedang tidak mood oleh suatu sebab, ia tak mau menuruti kemauan tuannya untuk melakukan sebuah atraksi. Musik gamelan terus diputar, dan lewat tali tambang yang terhubung ke rantai yang melingkari leher Sarimin, si tuan membuat aba-aba tertentu agar si Sarimin beraksi. Nihil, tiada hasil. Sebuah tindakan yang lantas membuat tarikan kuat rantai di lehernya bukan lagi sebagai aba-aba, tetapi lebih kepada amarah si tuan. Saya membayangkan, duh betapa sakit leher si Sarimin diperlakukan begitu.

Hewan tak mau beratraksi sesuai aba-aba pernah pula saya saksikan saat menonton sirkus lumba-lumba. Ya walau kesitu demi menuruti keinginan anak, saya toh kemudian merasa bersalah telah ikut menonton pertunjukan yang ternyata konon amat menyiksa si pemeran utama itu.

Tentu menyenangkan melihat binatang bisa pintar; pandai berhitung, meloncat dan menari bersama. Dua lumba-lumba itu, kalau tidak salah ingat, namanya Brama dan Kumbara.

Exploitasi lumba-lumba: untuk bisa foto dengan Brama-Kumbara begini,
penonton harus membayar melebihi harga karcis masuk. (foto: ewe)
Sebelum si Brama dan Kumbara beraksi, kami para pengunjung disuguhi pertunjukan pembuka oleh berang-berang, beruang madu juga burung beo. Semua tampil memesona. Dan selalu, setiap hewan-hewan itu selesai melakukan atraksi, si pelatih memberinya makan. Sebagai hadiah? Sebentar; apakah juga bisa dibilang hadiah bila hewan-hewan itu dilaparkan dulu supaya mau menuruti aba-aba pelatih, dan baru diberi makan sedikit demi sedikit bila berhasil beratraksi.

Entah karena sudah kenyang atau kelelahan (saya menonton pada jam pertunjukan terakhir; 19.00 s/d. 21. 00 WIB, padahal pertunjukan digelar beberapa kali mulai siang hari) si lumba-luma Brama dan Kumbara berkali-kali tak mau beratraksi sesuai permintaan pelatih.

Dari beberapa artikel yang saya baca, ternyata negara kita termasuk sedikit negara di dunia ini yang masih mengizinkan digelarnya pertunjukan lumba-lumba. Ada beberapa alasan mengapa sirkus lumba-lumba dilarang. Antara lain, perlakuan terhadap si mamalia laut yang menggunakan sistem sonar dalam berkomunikasi dengan sesama lumba-lumba itu terbilang menyiksa. Beratraksi di kolam sempit dan dangkal dengan air PAM yang diasinkan (bukan air laut murni), pemindahan ke antar kota tempat digelarnya pertunjukan sirkus itu dengan hanya diangkut kendaraan dengan sedikit air dan demi menjaga kelembaban kulitnya si lumba-lumba dilumuri body lotion yang sebenarnya dibuat untuk kulit manusia, dll, dll.

Begitulah ternyata; kalau kepada sesama manusia saja, untuk memenuhi kehendaknya, orang kadang tega melanggar HAM, apalagi kepada hewan. Demi pundi-pundi rupiiah, para penyelenggara sirkus lumba-lumba yang berkedok konservasi itu, juga pengamen topeng monyet yang saya ceritakan di awal tulisan ini, tentu akan lebih enteng dalam melanggar HAH (Hak Azazi Hewan). *****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar