Rabu, 21 Desember 2011

Mantera Madura

SEKALIPUN bukan bernama Karib, saya punya sahabat karib. Anto namanya. Lengkapnya; Anto Baruna. Sebuah nama yang tentu tidak mencerminkan bahwa ia berasal dari pedalaman Trenggalek sana.

Sebagai sahabat, sering saya pergi kemana-mana bersama dia. Suatu Minggu, dia mengajak saya pergi keluar pulau. Sekadar tamasya. Tujuannya, sekalipun luar pulau, tidak jauh-jauh amat; Madura. Kala itu Suramadu belum dibangun.

Ke Tanjung Perak kami naik bus kota. Menyeberang ke pulau garam kami ikut kapal Potre Koneng. Sesampainya di Kamal, blank. Tak tahu tujuan. Tetapi saya lihat ia lega. Hasrat menginjakkan kaki di Madura tunai sudah. Tetapi lalu ngapain?

Itu dia. Untuk beberapa saat kami hanya berjalan-jalan putar-putar pelabuhan Kamal. Lalu langkah kami menuju para pedagang didekat pelabuhan. Salak mengunung-gunung dilapak setiap pedagang buah. Rupanya saat itu lagi musim salak di Madura. Disitu tentu juga ada penjual souvenir khas Madura; odeng, miniatur celurit, juga pecut.

Kami tak membeli, baik salak maupun souvenir.
Tetapi sebagai wisatawan, kami terus saja berjalan-jalan. Dan, tibalah kami ke (kalau tidak salah ingat) terminal angkot di Kamal. Segera saja kami menjadi rebutan para makelar angkot. Saya, yang sedikit bisa bahasa Madura, tentu mudah saja menolak tawaran makelar yang terus saja memaksa (paling tidak) kami menjawab kemana tujuannya. Tetapi tidak demikian dengan si Anto. Ia tampak kewalahan menghadapi para makelar yang sebagian besar masih menggunakan bahasa Madura itu.

"Kamu kok tidak dipaksa sih. Kulihat kamu hanya mengucap dua kata, para makelar itu sudah pergi. Apa yang kamu ucapkan?" tanay Anto.

Tentu saja saya ketawa. "Ada manteranya, To," kata saya.

"Ajarin dong," pintanya memelas.

Maka, karena ini sebuah mantera, saya larang ia menuliskannya. Tak ada mantera yang ditulis. Harus dihapal diluar kepala. Dan, mantera Madura ini toh hanya dua kata. Tak sulitlah untuk menghapalnya. Bunyinya; "Bunten semak," kata saya kepada Anto.

Beres.
Saya lihat, setelah ia merasa hapal dengan manteranya, ia dengan pede meninggalkan saya yang minum es teh disebuah kedai di terminal Kamal itu. Saya lihat, ketika ia didatangi makelar, mulutnya komat-kamit merapal manteranya. Dan, ampuh. Makelar itu segera menjauh. Begitu berulang-ulang. Sampai kemudian, karena kekagumannya akan keampuhan mantera yang saya ajarkan, ia bertanya apa maknanya.

"Makna apa?" saya balik nanya.

"Ya makna 'bunten semak' itu. Kok ampuh amat," kata Anto.

Saya menyeringai. Sampeyan  tahu, yang saya ajarkan itu sebenarnya bukan mantera. Ia adalah bahasa Madura. Sebagai kalimat penolak ajakan para makelar. Artinya, lebih kurang, "Tidak, dekat (saja kok tujuan saya)."


2 komentar: