“KALAU pas gak punya uang,naik motor berdua dengan teman,dari Surabaya ke Sidoarjo yang dilihat cuma leher melulu,”cerita seorang kenalan.Intonasinya biasa saja.Seakan yang dilakukannya bukan kejahatan;padahal ia jambret kalung.”Orang itu,kalau kena jambret,jarang yang langsung teriak.Paling sering cuma tertegun,syok dulu.Beberapa saat kemudian baru sadar,dan baru teriak.Dan,aku sudah mak wusss kabur...”lanjutnya.Sungguh tega.Sungguh berbanding terbalik dengan namanya yang kalau di-Indonesiakan berarti penyayang.
Hal senada juga pernah diungkapkan kenalan saya yang lain.Ia spesialis ponsel.Tekniknya sama.Pengalamannya pun nyaris sama..”Padahal,kadang,kalau 'dapat' barang,dijual harganya gak akan sebanding dengan,misalnya,kalau ketangkap dan digebukin massa,”katanya.”Naik motor sambil SMS-an itu 'sasaran' empuk.Ngambilnya gampang.Pernah ini,Ponsel tak kira BB,langsung tak saut,dibawa kabur .Begitu di tempat aman tak lihat cuma ponsel Tiongkok yang murahan.Apes.”lanjutnya yang pernah jatuh sampai patah tulang lengan.
Satu hal lagi,tindakannya sungguh tak berbudi walau ia bernama Budi.
Saya jadi ingat bang Napi yang selalu berpesan,”Waspadalah,waspadalah,”setiap mengakhiri program berita kriminal di sebuah stasiun tivi.Benarlah adanya,bahwa kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat,tapi juga karena ada kesempatan.Makanya jangan beri kesempatan.dan waspadalah selalu.
Kewaspadaan itu pula yang selalu dipesankan emak (alm) kepada saya.Lebih-lebih ketika saya bali dari atau pulang ke Lamongan agak malam.Dengan rute yang melewati beberapa jalan yang lumayan sepi.Pesan itu ditegaskan bukan tanpa alasan.Karena,menurut cerita emak,di jalan yang sering saya lalui itu termasuk jalan rawan kejahatan.Dan sudah pernah terjadi perampasan motor.
“Hati-hati,ini sudah agak malam,”pesan emak ketika saya berdua dengan istri.,kali ini dalam perjalanan balik ke Surabaya.
Dari rumah berangkat selepas maghrib.
Meluncur ketimur.Lewat Palangan.Mentok 'tangkis' belok kanan.Sepi.Jalan makadam membujur dibawah tanggul bengawan mati.Mentok lagi,belok kanan lagi.Tetap sepi.Tetap bermotor sendiri bareng istri.Eh,tetapi tidak.Dibelakang ada motor lain.Membuntuti.Motor laki,dengan dua penumpang berjaket hitam.
Sampai Sambo lumayan terang,banyak rumah dikiri-kanan jalan.Tetapi,lepas itu sepi menyapa lagi.kanan-kiri hanya tambak membentang.Saya jadi ingat pesan emak.Dilokasi sepi macam ini,tentu sangat ideal sebagai tempat perampasan motor..Tetapi saya santai saja.Karena ada pengendara motor lain selain saya.Masih ada teman.Teman?Betulkan ia teman?
Jalan masih saja sepi.Masih saja diapit tambak kanan-kiri.Dan masih saja pengendara motor laki berjaket hitam ber-helm teropong itu membuntuti.Padahal,kalau mau,si Astrea tua saya ini bisa saja dibalap habis.Tetapi tidak.Malah ia ikut banter saat saya bawa motor tua saya ini membanter.Saat pelan,ia turut pula memelan.Ah,apa maunya ini?Jangan-jangan?
Saya rasakan tangan istri saya mendingin.Oleh udara malam bercampur rasa setengah takut.Buktinya,”Kita diikuti orang,mas,”ucapnya.
Selepas Blawi belok kiri.Sepi lagi.Saya tetap diikuti.Istri saya,dan juga saya,merasa mulai diikuti rasa was-was.Pengendara motor laki berjaket hitam ber-helm teropong,mungkin sedang mencari tempat yang tepat untuk merampas Astrea tua saya.Karena beberapa kilometer ke depan masih saja sepi,saya harus cari cara untuk menghindari perampasan.Harus waspada,seperti pesan emak.
Dan,itu dia.Didepan ada terlihat lampu lima belas watt berpendar dari kios bensin yang merangkap jabatan juga sebagai tempat tambal ban.Ini tempat pas untuk upaya penghindaran perampasan.Saya berhenti disitu.Pura-pura mau nambah angin.Pura-pura saja.Agar si penguntit saya segera menyalip saya.Tapi sial.Pengendara berjaket hitam itu juga ikutan berhenti.Dan salah satunya malah turun mendekati saya.Istri saya pasti makin dingin tubuhnya.Saya juga.Penjahat kadang memang main kasar.Tak peduli tempat untuk merampas mangsa.Dan,saya kira,saya sedang pada posisi tak berdaya.
Tetapi tidak.Kejahatan,apapun bentuknya itu,harus dilawan.Lebih-lebih saya laki-laki.yang tak mau kehilangan harga diri didepan istri.Maka,pikir saya,apapun caranya si Astrea tua harus dipertahankan.Mati-matian.Bahkan,kalau perlu,sampai mati sungguhan.
Rasa takut harus dilempar jauh-jauh.Seperti kata pepatah; berani karena benar,takut karena tidak berani.
Saya melirik langkah kaki yang mendekati saya.Menghitung jaraknya.Mempersiapkan pukulan atau tendangan macam apa yang bisa sekali sikat langsung mengena titik mematikan.Ini sedikit ilmu silat yang sempat diajarkan mbah Kung.
“Mau apa sampeyan?,”tanya saya dengan suara saya tegar-tegarkan walau dada hebat bergetar.
Istri saya malah diam.Takut setengah mati,membayangkan duel maut yang akan terjadi di depan matanya sebentar lagi.
“Bapak mau ke Surabaya?”
“Iya,”jawab saya.
“Saya nunut jalan ,pak.Saya mau balik ke Surabaya gak tahu jalan.Bingung,baru hari ini ke Lamongan,”katanya.
Oh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar